Sebuah suara menggelegarlah yang menuntun kembalinya kesadaran Anisa. Sinyal sudah selesai diperbaiki dan kereta sebentar lagi bisa beroperasi kembali, begitu gelegar pengumuman yang membawa Anisa kembali ke alam nyata.
Karena sudah dipersilakan untuk menaiki kereta, Setengah berlari Anisa menuju rangkaian gerbong di jalur 8. Rasa takut yang mencapai ubun-ubun membuat Anisa tergesa-gesa. Matanya hanya sempat menangkap si ibu setengah baya sudah siuman dan sedang membereskan bawaannya. Juga pemuda itu sudah berdiri sembari mengusap-usap kedua matanya yang masih mengeluarkan sorot tak percaya.
Sedangkan perempuan cantik itu juga sudah terlihat berjalan menuju gerbong kereta. Anisa memilih duduk di gerbong nomor 2 dari belakang. Gerbong campuran dipikirnya akan lebih aman dan ramai nantinya.
Anisa menjatuhkan dirinya duduk di kursi tengah gerbong yang masih sepi. Sambil menata nafasnya yang ngos-ngosan, Anisa melihat perempuan cantik itu naik gerbong yang sama dengan dirinya, disusul oleh pemuda dan ibu setengah baya. Mereka duduk di deretan kursi di hadapan Anisa meski agak berjauhan.
Anisa menghela nafas lega. Setidaknya ada teman penumpang bernasib sama dengan dirinya yang sama-sama disuguhi pemandangan mengerikan di peron stasiun tadi. Hiiihhh! Anisa masih bergidik.
Sampai pintu tertutup dan kereta mulai beringsut meninggalkan stasiun kota, tidak ada lagi penumpang yang naik. Anisa merasakan jantungnya mulai berdegup normal kembali. Paling tidak gerbong ini terang benderang dan Anisa yakin di stasiun berikutnya gerbong ini terisi banyak penumpang.
Anisa berniat membuka percakapan dengan tiga orang di depannya tentang apa yang terjadi di peron tadi. Adrenalinnya masih mengalir kencang. Dia tidak mau menyimpan semua pertanyaan untuk dirinya sendiri. Anisa yakin ketiga orang di depannya yang sekarang juga nampak berkali-kali menarik nafas panjang, ingin juga berbagi cerita.
"Saat Ibu pingsan tak sadarkan diri tadi, saya sebenarnya ingin menolong Bu. Tapi tubuh saya sama sekali tidak bisa digerakkan," Anisa memaksakan sebuah senyum kepada wanita setengah baya itu. Si Ibu tidak menjawab. Hanya membalas dengan anggukan dan senyum tipis.
Anisa ganti memandang pemuda yang dilihatnya mencoba melarikan rasa takut dan traumatik ke game di gawainya," Mas tadi sesungguhnya lihat apa? Sampai pingsan begitu?" Kembali Anisa mencoba beramah-ramah dengan tersenyum getir.
Pemuda itu menatap Anisa lalu mengangkat bahu dan bergidik.
Uh, orang-orang ini rupanya masih trauma dan enggan berbagi cerita, Anisa menggerutu dalam hati. Dialihkan pandangan ke perempuan cantik yang membuka bolak balik halaman buku di tangannya dengan gelisah.