Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Peron Stasiun Kota

25 Januari 2020   08:01 Diperbarui: 25 Januari 2020   07:59 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Kembali Anisa memperhatikan sekitarnya. Barangkali tidak lebih dari 5 orang belum termasuk dirinya yang masih bertahan menunggu kereta.

Seorang ibu setengah baya yang terkantuk-kantuk sambil memangku tas plastik yang menggembung sarat. Seorang bapak yang kacamatanya hampir terjatuh dari hidungnya karena memaksakan diri membaca di layar gawainya yang kecil. Dua orang gadis muda yang sepertinya kakak beradik sedang berbincang-bincang setengah berbisik. Dan seorang pemuda yang begitu asik dengan permainan gamenya.

Eh, ada 2 orang lagi di sudut peron sana. Seorang lelaki yang selalu menunduk sehingga wajahnya sama sekali tak terlihat karena tertutup oleh topinya yang lebar. Juga seorang wanita cantik yang begitu asik dengan buku bacaannya.

Darimana datangnya 2 orang itu ya? Anisa membatin. Bukankah sudut sebelah sana tadi kosong? Dia duduk paling dekat dengan pintu masuk sehingga setiap kali ada orang baru datang dia pasti mengetahuinya. Anisa menggeleng-gelengkan kepala diliputi rasa bingung. Dan tentu saja semakin cemas!

Anisa beberapa kali pernah mendengar cerita menakutkan stasiun ini dari beberapa teman dan juga internet. Meskipun Anisa memutuskan untuk tidak percaya terhadap semua cerita tersebut, namun suasana saat ini di peron paling tidak membuat dirinya kembali teringat semua kisahnya.

Kata temannya, stasiun ini juga adalah stasiun dimensi lain yang mengantar penumpang tak kasat mata bepergian ke mana-mana. Sama, menggunakan kereta juga. Tidak semua orang pernah melihat, lanjut teman Anisa. Hanya orang-orang tertentu dalam kondisi tertentu saja yang beruntung bisa melihat.

Beruntung? Anisa saat itu tertawa terpingkal-pingkal.

Dia bukan gadis penakut. Tapi keremangan dan aura peron stasiun ini akan membuat yang paling pemberani sekalipun akan terjebak dalam situasi horror. Apalagi hujan badai membuat lampu-lampu gantung bergoyang dengan konstan. Menciptakan bayangan-bayangan aneh yang cukup mengerikan.

Anisa merapatkan jaket. Sudah setengah jam berlalu tapi belum terdengar pengumuman bahwa gangguan sinyal sudah bisa diatasi. Sampai kapan dia mendapatkan kepastian? Anisa mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka gawainya.

Tiba-tiba Anisa merasakan tengkuknya ditiup angin yang sangat dingin. Duh! Apalagi ini? Ditambah pula sekujur bulu tubuhnya mendadak meremang. Satpam-satpam yang biasanya berjaga di seputaran stasiun juga sama sekali tak terlihat sedari tadi. Gusti, apa yang sedang terjadi?

Anisa sudah nyaris memutuskan keluar dari peron stasiun. Setidaknya di luar tentu masih banyak orang berjualan. Atau dia akan menunggu di warung waralaba yang tentu masih buka jam begini. Di dalam sini, semua toko dan warung sudah tutup sejak jam 21.00 tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun