Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Cinta Abadi Air dan Api

16 April 2019   06:48 Diperbarui: 16 April 2019   07:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab IV-1

Bab IV-2

Mereka lalu duduk melingkari meja pertemuan.  Putri Anjani menjelaskan semua rencananya.  Panglima Kelelawar mendengarnya dengan tekun. Rupanya pemimpin persekutuan ini sudah mempersiapkan segalanya dengan rapi dan terencana.  Pantas saja di dapur istana tadi dia banyak menemukan orang-orang berilmu tinggi.

"Baiklah Putri.  Aku memahami rencanamu.  Aku mendukungnya.  Itu rencana yang bagus dan rapi.  Aku sendiri bersama pasukanku akan menjadi unsur kejutan seperti yang aku katakan tadi."

Panglima Kelelawar melanjutkan.

"Pasukanku akan tetap bermarkas di hutan larangan.  Begitu gerakan dimulai, kami akan masuk untuk mengejutkan pasukan Majapahit sekaligus melihat situasi karena aku menduga mereka akan mengepung Istana Timur dari segala sisi.  Panglima-panglima Majapahit bukan orang-orang bodoh yang mudah masuk dalam perangkap."

Semua yang mendengarkan kagum dengan kejelian raja aneh ini.  Merekapun sebenarnya sudah menduga akan hal tersebut.  Namun tentu saja tidak tahu persis apa yang sebenarnya dipersiapkan oleh pasukan Majapahit.

"Dengan tanda apa aku harus memberitahu paduka raja bila saatnya tiba?"  Putri Anjani bertanya gamblang.

"Lepaskan suar berwarna merah ke angkasa.  Dalam sekejap kami akan tiba membantu kalian," Panglima Kelelawar menjawab lugas.

Putri Anjani mengangguk.  Semua rencana sudah matang.  Orang-orang persekutuan telah disebar di antara para pelayan, peladen dan prajurit jaga istana.  Besok adalah puncak acara sekaligus saat yang paling menentukan.  Putri Anjani berdebar.  Seandainya Gendewa Bernyawa masih di tangannya tentu semua akan lebih mudah.

Di mana Arya Dahana sekarang berada?  Pemuda itu pasti menepati janjinya tentang hutang nyawa.  Dia pasti datang.  Tapi dimana?  Dengan cara apa?

Jika pemuda itu berhasil ditemuinya sekarang, dia akan meminta Gendewa Bernyawa itu.  Huh!  Pemuda itu terlalu sakti untuk dipaksa dengan kekerasan.

Pertemuan diakhiri dengan sekali lagi membeberkan semua rencana sampai sekecil-kecilnya.

Panglima Kelelawar mohon diri.  Putri Anjani mengantarnya hingga ke pintu keluar rahasia yang lain.  Ternyata lorong keluar ini lebih jauh lagi!  Dan menembus sampai ke hutan larangan!

Panglima Kelelawar takjub.  Begitu pula Putri Anjani yang baru tahu bahwa pintu keluar lain ini sampai di sebuah hutan.

"Putri, kita harus lebih berhati-hati.  Aku tadi melihat pemuda sakti yang dulu bersamamu itu ada di antara para peladen istana.  Aku sempat hendak mengejar dan menangkapnya tapi dia keburu menghilang."

Panglima Kelelawar sempat memberitahu informasi penting itu kepada Putri Anjani sebelum keluar dari pintu rahasia.

Putri Anjani terbelalak.  Jadi Arya Dahana malah sudah ada di dalam istana ini?

-----

Arya Dahana membenahi baju peladennya yang agak kusut setelah dia tergesa-gesa melarikan diri dari serangan Panglima Kelelawar tadi.  Kenapa dia kurang berhati-hati sampai raja sakti itu bisa mengenalinya?

Pemuda ini menambahkan ikat kepala agar tidak mudah dikenali.  Dia harus tetap berada dalam istana ini untuk menuntaskan misinya melindungi Putri Anjani.

Selanjutnya pemuda ini keluar dari persembunyiannya di belakang ruang hajat istana.  Membaur kembali bersama para peladen lainnya.

Kali ini dia lebih waspada.  Begitu dilihatnya ada orang yang memperhatikannya lama-lama, dia segera menyelinap pergi.  Arya Dahana memutar otak bagaimana caranya dia tidak menarik perhatian.  Dia tahu bahwa sebagian besar dari pelayan dan peladen adalah orang-orang dari dunia persilatan. Entah darimana.  Mereka bukan pelayan dan peladen yang sesungguhnya.

Arya Dahana melirik sekeliling saat dia membawa satu baki penuh jajanan untuk esok hari dan menyimpannya di ruangan khusus dapur istana. Matanya menangkap seorang prajurit yang berjaga di ruangan dalam istana.  Itu sepertinya juga bukan prajurit biasa.  Pemuda ini tersenyum senang. Rupanya menyamar jadi prajurit tidak akan menimbulkan banyak perhatian karena tidak harus mondar mandir kesana kemari.  Dia menemukan jalan!

Seorang prajurit yang sedang terkantuk-kantuk kelelahan karena berdiri lama sementara teman lainnya sedang berpatroli di ruangan lainnya tiba-tiba dikejutkan dengan kegelapan yang tiba-tiba menyelubungi matanya.  Dia tertidur. Dilumpuhkan dengan totokan Arya Dahana. Tidak terasa ketika badannya dipapah Arya Dahana ke sebuah ruangan kecil tempat istirahat para dayang dan abdi dalem.  Disembunyikan.  Tentu saja setelah Arya Dahana mempreteli semua baju prajuritnya.

Sekarang Arya Dahana yakin tidak akan begitu mudah ketahuan.  Seragam prajurit istana bagian dalam cukup ringkas namun nampak misterius. Termasuk sebuah saputangan yang dipakai menutupi leher, mulut dan hidung.  Mungkin karena mereka prajurit penjaga pilihan sehingga seragamnya terlihat berbeda. 

Pemuda ini berdiri menggantikan penjaga yang telah dia lumpuhkan.  Dari tempat Arya Dahana berdiri, sangat leluasa untuk melihat sekitar istana. Pemuda ini juga sudah mempelajari bagaimana pergerakan dan pergantian antar prajurit jaga dari satu pos ke pos lainnya.  Sehingga lebih mudah baginya menyesuaikan diri.

Saatnya berganti pos jaga.  Arya Dahana dengan tegap berpindah ke pos berikutnya.  Tidak di dalam istana lagi tapi dari tempat ini malah semua terlihat dengan lebih jelas karena ada di atas. 

Istana ini sangat luas.  Bangunannya banyak dan besar-besar.  Ratusan penjaga bersliweran di mana-mana.  Arya Dahana memperhatikan bahwa sebagian besar para penjaga di dalam istana ini terlihat tangguh.  Langkah kaki mereka sangat ringan.  Hanya saja tinggi badan para penjaga itu tidak terlalu seragam.  Ada yang tinggi sekali.  Ada yang pendek sekali.  Bahkan ada yang sangat cebol.

Awalnya Arya Dahana geli kenapa ada prajurit yang begitu pendek tubuhnya.  Namun kemudian pemuda itu menyadari sesuatu.  Mereka ini orang-orang yang juga sedang menyamar.  Pemuda ini harus mengakui betapa cerdiknya si pengatur rencana.  Dia yakin semua ini dikendalikan oleh Putri Anjani.  Orang-orang yang menyamar menjadi penjaga itu pastilah anggota persekutuan yang dipimpin Putri Anjani.  Tapi dimana gadis itu? 

Arya Dahana mengira-ngira besok seperti apa upacara perayaan diadakan ketika dia berganti tempat lagi berjaga di depan balairung istana.  Di depan balairung terdapat sebuah lapangan besar yang sudah dihias dengan umbul-umbul dan panggung upacara.  Lapangan itu dihias dengan sangat mewah.  Orang-orang masih belum selesai mempersiapkan semuanya.  Sekarangpun dilihatnya masih sibuk bekerja.

Arya Dahana meneliti dengan matanya setiap sudut lapangan yang luas sekali itu.  Jauh lebih luas dibandingkan lapangan bubat sekalipun.  Pemuda ini sedih sekali saat berpikir besok akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di sini.  Semoga itu tidak terjadi, Arya Dahana membatin dengan miris.

Dia teringat betapa gemparnya peperangan Bubat dulu.  Kacau, berantakan dan mengharu biru.  Teringat betapa gagahnya para prajurit Galuh Pakuan dalam mempertahankan harga diri.  Terutama sang Maharaja dan Putrinya yang cantik jelita.  Arya Dahana merinding begitu membayangkan saat itu langit dan cuaca berubah penuh amarah saat pertempuran usai.  Pemuda ini membayangkan juga seperti apa cuaca esok hari.  Pastilah akan mendung dan murung.

Satu hal yang menjadi pertanyaan secara terus menerus di benak Arya Dahana adalah dimanakah semua tokoh-tokoh sakti penyokong Istana Timur berada.  Belum nampak satupun yang dikenal oleh Arya Dahana.  Di mana mereka menyembunyikan diri?

Sore ini Maharaja Majapahit direncanakan tiba di Istana Timur.  Sekarang sudah menjelang tengah hari.  Arya Dahana melihat betapa sibuknya orang-orang bersiap-siap.  Para dayang dan abdi dalem terbirit-birit kesana kemari mempersiapkan segala sesuatunya.  Suasana begitu gaduh dan mencekam.  Akan terjadi suatu peristiwa besar.  Arya Dahana bisa merasakan semuanya dari hawa yang melingkupi istana ini.

Seruan dari komandan pasukan penjaga istana memutuskan lamunan Arya Dahana.  Semua pasukan penjaga agar bersiap.  Sang Maharaja akan segera tiba.  Tidak lama lagi.  Arya Dahana yang sekarang kebagian tugas jaga di sudut istana melihat orang-orang berlarian membentuk barisan.  Di depan istana berdiri beberapa orang penting.  Salah satunya adalah Bhre Wirabumi.  Arya Dahana menduga begitu saat melihat pakaian kebesarannya yang wah. 

Seorang pria kecil dan gagah berdiri di sampingnya.  Berpakaian panglima.  Di sebelahnya lagi terlihat seorang putri cantik jelita yang diiringi seorang dayang di belakangnya.  Itu pasti putri Raja Istana Timur pikir Arya Dahana.

Suara tambur terdengar sayup-sayup di kejauhan.  Terbawa oleh angin yang bertiup pelan.  Terdengar begitu gagah dan menyeramkan.  Bukan pukulan tambur peperangan namun tetap saja yang mendengar jantungnya ikut berdegup kencang. 

Suara sayup tambur itu semakin mendekat.  Pasukan penjaga istana berjajar rapi.  Arya Dahana masih di tempat jaganya semula.  Dari sini semua nampak jelas.  Arya Dahana berdebar.  Jangan-jangan peristiwa besar terjadi hari ini.  Apakah mungkin perang terbuka dilakukan sore hari?  Rasanya sedikit tidak masuk akal.

"Pasukaaaaannn bersiaaaappppp.... beri hormat!"

Suara lantang komandan pasukan penjaga istana berkumandang.  Suara gemuruh tambur semakin bergemuruh.  Pasukan penjaga di luar istana berbaris panjang dan mengangkat tombak di depan dada.  Dari ujung jalan terlihat rombongan pasukan berkuda datang mengawal kedatangan Maharaja paling terkenal dalam sejarah.  Pasukan pengawal berkuda di depan kemudian menyisih mengambil tempat di kanan kiri gerbang istana.

Regu pengawal yang berjalan kaki berlari membentuk barisan di dalam istana.  Berdiri di depan dan belakang para pasukan penjaga Istana Timur. Arya Dahana berdecak kagum.  Pasukan pengawal Majapahit itu begitu sigap.  Mereka sengaja berdiri di depan dan belakang penjaga istana timur untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.

Berbeda sekali tingkat kesigapan antara pasukan Istana Barat dan Istana Timur.  Arya Dahana yakin jika pertempuran dilakukan antar pasukan saja tanpa campur tangan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, pasukan Istana Timur tidak akan lama bisa dilibas.

Sebelum iring-iringan kereta kencana Maharaja memasuki gerbang istana.  Berkelebatanlah bayangan orang-orang Sayap Sima ke dalam istana. Tidak membentuk barisan namun menyebar di sekeliling istana.  Puluhan orang berseragam hitam dan emas itu menempati sudut-sudut istana dengan waspada.  Kembali Arya Dahana berdecak kagum.

Akhirnya, iring-iringan kereta kebesaran itu tiba.  Memasuki gerbang istana dengan anggun dan gagah.  Ada tiga kereta kencana.  Paling depan dan belakang lebih kecil dibandingkan yang di tengah.  Ketiga kereta kencana itu berhenti di halaman istana.  Sepasukan kecil pengawal berkuda di belakang tetap tegak di atas kudanya.  Berjaga-jaga. 

Beberapa orang turun dari kereta pertama dan ketiga.  Para panglima kerajaan dan tokoh-tokoh pimpinan Sayap Sima.  Ki Tunggal Jiwo ada di antaranya.  Mereka berjajar rapi sejajar dengan pintu kereta kencana di tengah yang masih tertutup.  Bhre Wirabumi berlari kecil ke depan pintu kereta.  Berlutut dan menyembah terlebih dahulu sebelum membuka pintu kereta dengan takzim.

Sang Maharaja turun dengan gagah.  Mahkotanya berkilauan ditimpa sinar matahari sore.  Berdiri di pintu kereta sejenak.  Tatap matanya yang berwibawa menyapu sekeliling.  Semua orang sedang berlutut.  Suasana khidmat dan hening.  Sang Maharaja bertepuk tangan dengan lembut.  Semua serentak berdiri.  Tetap dalam sikap hormat. 

Maharaja Majapahit melangkah perlahan menyusuri jalanan berbatu rapi menuju balairung istana.  Bhre Wirabumi mengikuti dari belakang sambil menundukkan muka.  Arya Dahana sembari menunduk melihat pasukan Sayap Sima tetap bersiaga penuh.  Ki Tunggal Jiwo berjalan persis di belakang Maharaja.  Matanya berkeliaran kemana-mana.  Sangat waspada.

Apabila dihitung berdasarkan jumlah, pasukan pengawal Maharaja tidaklah sangat banyak.  Namun semua yang hadir mengawal adalah orang-orang pilihan Sayap Sima. Dari semua pimpinannya, Arya Dahana hanya melihat Ki Tunggal Jiwo dan Bledug Awu-awu yang hadir di sini. 

Tidak mengherankan sebetulnya.  Selain Ki Tunggal Jiwo adalah seorang yang sakti, juga karena Arya Dahana yakin tokoh-tokoh tingkat tinggi lainnya disebar di sekeliling Istana Timur.

Sang Maharaja Wirakramawardana sampai di undakan istana.  Sebelum memasuki balairung utama, raja ini memberi isyarat pendek kepada Bhre Wirabumi untuk mendekat.  Raja Istana Timur itu mendekatkan telinga kepada Maharaja yang berbisik kepadanya.  Mengangguk-angguk lalu memanggil putrinya untuk memperkenalkannya secara resmi sesuai adat istiadat kerajaan.

Arya Dahana membelalakkan matanya lebar-lebar.  Dayang yang berada di belakang putri Bhre Wirabumi memang masih bersimpuh dalam-dalam. Namun Arya Dahana mengenali dengan pasti bahwa dayang itu adalah Putri Anjani!  Ini berbahaya! Arya Dahana bersiaga.   

Arya Dahana tidak mau terjadi penyerangan secara licik terhadap Maharaja.  Jika itu terjadi dalam peperangan terbuka, dia tidak akan keberatan dan tidak akan membela siapa-siapa.  Tapi apabila itu terjadi karena tipu daya dan kecurangan, maka dia akan turun tangan.  Seluruh urat syaraf Arya Dahana menegang.

Di lain pihak, Putri Anjani juga mengalami hal yang sama.  Seluruh syaraf di tubuhnya bersiaga.  Jika ada kesempatan baik membunuh Maharaja maka itu akan dilakukannya.  Gadis ini teringat dengan kematian ayahnya di tangan orang-orang Majapahit.  Dia dengan idu geninya.  Putri Anjani memusatkan perhatian.  Menunggu kesempatan.

Tapi urat syarafnya mengendur dengan cepat.  Putri Anjani melihat Ki Tunggal Jiwo berdiri tidak jauh dari Sang Maharaja.  Dengan kemampuan sesakti tokoh tua itu, mudah saja baginya menangkal serangan secepat apapun dari Putri Anjani.  Gadis itu segera mengurungkan niatnya.  Dari jauh Arya Dahana yang melihat gelagat itu, menghela nafas lega.

Sang Maharaja meneruskan langkah setelah menyapa yang hadir.  Menuju singgasana khusus yang memang hanya disediakan untuknya.  Sampai Sang Maharaja duduk semua orang di balairung tetap berlutut. 

Begitu Maharaja duduk di singgasana semua lalu duduk bersila.  Bhre Wirabumi duduk di singgasana yang lebih kecil di samping Sang Maharaja.

Arya Dahana terus memandangi dengan seksama.  Matanya tak pernah lepas mengawasi gerak-gerik Putri Anjani.  Gadis itu bersimpuh tak jauh dari putri Bhre Wirabumi.  Tidak terlalu jauh dari Maharaja. 

Pemuda ini memberi isyarat kepada prajurit penjaga istana yang lebih dekat darinya ke arah balairung untuk bertukar tempat.  Awalnya prajurit itu mengrenyitkan bertanya-tanya.  Namun akhirnya bersedia juga setelah Arya Dahana memperlihatkan tanda pangkatnya yang lebih tinggi.

Dari tempatnya yang baru, Arya Dahana bisa lebih teliti mengamati semua orang.  Pemuda ini tetap memusatkan perhatian kepada Putri Anjani.  Gadis yang berubah total semenjak mengeluarkan idu geni itu sangat berbahaya.  Selain berilmu sangat tinggi, tekad hatinya yang diselimuti dendam berlebihan kepada Majapahit, bisa membuatnya melakukan tindakan yang di luar nalar.

Putri Anjani duduk bersimpuh dengan tenang.  Dia bisa mendinginkan hatinya sekarang.  Sekali dia bertindak ceroboh, semua rencana bisa hancur berantakan. Gadis ini tahu bahwa pengawalan Maharaja yang tipis ini bukanlah yang sebenarnya.  Pasti banyak tokoh-tokoh sakti Majapahit yang sengaja menyembunyikan diri namun tetap dengan misi melindungi Sang Maharaja.

Malam nanti setelah acara perjamuan kerajaan, dia harus menemui gurunya dan beberapa orang persekutuan di ruang rahasia.  Menyempurnakan semua rencana.  Terutama karena hari ini sudah bisa berhitung dan menimbang-nimbang kekuatan.  Dia akan menyuruh beberapa orang yang berkepandaian tinggi untuk menyelidiki dimana saja pasukan Sayap Sima bersembunyi.

Putri Anjani jauh lebih tenang lagi sekarang.  Hanya satu hal yang masih membebani pikirannya.  Di mana Arya Dahana berada.  Pemuda itu adalah salah satu kunci baginya.  Gendewa Bernyawa ada padanya.  Dia harus bisa mengambilnya.  Entah dengan cara apa.  Kalau perlu dia akan menyerahkan tubuhnya supaya gendewa sakti itu bisa didapatkannya kembali.

****
Bersambung Bab V

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun