Akhirnya, iring-iringan kereta kebesaran itu tiba. Â Memasuki gerbang istana dengan anggun dan gagah. Â Ada tiga kereta kencana. Â Paling depan dan belakang lebih kecil dibandingkan yang di tengah. Â Ketiga kereta kencana itu berhenti di halaman istana. Â Sepasukan kecil pengawal berkuda di belakang tetap tegak di atas kudanya. Â Berjaga-jaga.Â
Beberapa orang turun dari kereta pertama dan ketiga. Â Para panglima kerajaan dan tokoh-tokoh pimpinan Sayap Sima. Â Ki Tunggal Jiwo ada di antaranya. Â Mereka berjajar rapi sejajar dengan pintu kereta kencana di tengah yang masih tertutup. Â Bhre Wirabumi berlari kecil ke depan pintu kereta. Â Berlutut dan menyembah terlebih dahulu sebelum membuka pintu kereta dengan takzim.
Sang Maharaja turun dengan gagah. Â Mahkotanya berkilauan ditimpa sinar matahari sore. Â Berdiri di pintu kereta sejenak. Â Tatap matanya yang berwibawa menyapu sekeliling. Â Semua orang sedang berlutut. Â Suasana khidmat dan hening. Â Sang Maharaja bertepuk tangan dengan lembut. Â Semua serentak berdiri. Â Tetap dalam sikap hormat.Â
Maharaja Majapahit melangkah perlahan menyusuri jalanan berbatu rapi menuju balairung istana. Â Bhre Wirabumi mengikuti dari belakang sambil menundukkan muka. Â Arya Dahana sembari menunduk melihat pasukan Sayap Sima tetap bersiaga penuh. Â Ki Tunggal Jiwo berjalan persis di belakang Maharaja. Â Matanya berkeliaran kemana-mana. Â Sangat waspada.
Apabila dihitung berdasarkan jumlah, pasukan pengawal Maharaja tidaklah sangat banyak. Â Namun semua yang hadir mengawal adalah orang-orang pilihan Sayap Sima. Dari semua pimpinannya, Arya Dahana hanya melihat Ki Tunggal Jiwo dan Bledug Awu-awu yang hadir di sini.Â
Tidak mengherankan sebetulnya. Â Selain Ki Tunggal Jiwo adalah seorang yang sakti, juga karena Arya Dahana yakin tokoh-tokoh tingkat tinggi lainnya disebar di sekeliling Istana Timur.
Sang Maharaja Wirakramawardana sampai di undakan istana. Â Sebelum memasuki balairung utama, raja ini memberi isyarat pendek kepada Bhre Wirabumi untuk mendekat. Â Raja Istana Timur itu mendekatkan telinga kepada Maharaja yang berbisik kepadanya. Â Mengangguk-angguk lalu memanggil putrinya untuk memperkenalkannya secara resmi sesuai adat istiadat kerajaan.
Arya Dahana membelalakkan matanya lebar-lebar. Â Dayang yang berada di belakang putri Bhre Wirabumi memang masih bersimpuh dalam-dalam. Namun Arya Dahana mengenali dengan pasti bahwa dayang itu adalah Putri Anjani! Â Ini berbahaya! Arya Dahana bersiaga. Â Â
Arya Dahana tidak mau terjadi penyerangan secara licik terhadap Maharaja. Â Jika itu terjadi dalam peperangan terbuka, dia tidak akan keberatan dan tidak akan membela siapa-siapa. Â Tapi apabila itu terjadi karena tipu daya dan kecurangan, maka dia akan turun tangan. Â Seluruh urat syaraf Arya Dahana menegang.
Di lain pihak, Putri Anjani juga mengalami hal yang sama. Â Seluruh syaraf di tubuhnya bersiaga. Â Jika ada kesempatan baik membunuh Maharaja maka itu akan dilakukannya. Â Gadis ini teringat dengan kematian ayahnya di tangan orang-orang Majapahit. Â Dia dengan idu geninya. Â Putri Anjani memusatkan perhatian. Â Menunggu kesempatan.
Tapi urat syarafnya mengendur dengan cepat. Â Putri Anjani melihat Ki Tunggal Jiwo berdiri tidak jauh dari Sang Maharaja. Â Dengan kemampuan sesakti tokoh tua itu, mudah saja baginya menangkal serangan secepat apapun dari Putri Anjani. Â Gadis itu segera mengurungkan niatnya. Â Dari jauh Arya Dahana yang melihat gelagat itu, menghela nafas lega.