Bab XIII-2
"Heeeiii! Â Nenek sihir!....untuk apa kau ikut-ikut masalah ini?...kau tidak punya wewenang di sini...pulanglah! Â Atau pergilah ke Pesanggrahan Bubat! Â Uruslah makam kekasihmu itu di sana!"
Putri Anjani sengaja memancing kemarahan Dewi Mulia Ratri. Â Dia tahu, menyebut-nyebut nama mendiang Andika Sinatria akan membuat amarah menggelegak dahsyat di hati gadis itu.
Benar saja. Â Dewi Mulia Ratri mendelik marah bukan main. Â Gadis ini tanpa ba bi bu lagi langsung menyerang Putri Anjani dengan hebat. Â Yang diserang tersenyum-senyum mengejek sambil menghindar dan balas menyerang dengan tak kalah hebat.Â
Terjadilah pertempuran yang luar biasa dan mencengangkan semua orang. Â Kedua tubuh gadis itu seperti dua bayangan yang menari nari di tengah tengah badai. Â Dewi Mulia Ratri mengerahkan ajian Lembu Sakethi dan jurus-jurus Pena Menggores Awan, sementara Putri Anjani langsung saja memainkan jurus-jurus Badai Laut Utara.
Ini bukan sebuah pertarungan biasa. Â Kedua gadis ini sudah tergolong tokoh tokoh kelas atas dunia persilatan. Â Panglima Candraloka dan Bimala Calya yang tadi datang bersama Dewi Mulia Ratri sampai harus jauh-jauh menepi dari gelanggang pertarungan. Â Angin yang ditimbulkan oleh pertarungan ini menderu deru tidak hanya di seputaran gelanggang, namun sampai juga puluhan depa di sekitaran gelanggang.Â
Sepuluh jurus berlalu. Â Tidak nampak ada yang terdesak. Â Senjata pena yang dipegang Dewi Mulia Ratri menulis-nulis udara dengan garang. Â Mengarah ke titik-titik terlemah di tubuh Putri Anjani. Â Sedangkan jurus-jurus Badai Laut Utara menimbulkan badai kecil sungguhan yang membuat debu dan daun-daun beterbangan ke udara.Â
Luar biasa! Â Pertarungan yang seimbang. Â Kedua gadis yang sama-sama keras hati ini mengerahkan segala upaya untuk menjatuhkan lawan. Â Putri Anjani berpikiran untuk mengeluarkan ilmu terbarunya, Sihir Tanah Seberang, untuk membarengi pukulan Badai Laut Utaranya yang ganas. Â
Namun gadis ini lalu teringat bahwa Dewi Mulia Ratri adalah seorang ahli sihir yang luar biasa. Â Pewaris tunggal kitab sakti Ranu Kumbolo yang berisi sihir sihir tingkat tinggi. Â Dia tidak mungkin mengerahkan ilmu sihir terhadap gadis dari Sanggabuana ini.
Putri Anjani menjadi tidak sabaran lagi. Â Ini harus segera diakhiri. Â Jika masih terus begini, ratusan jurus berlalupun mereka tidak akan bisa saling mengalahkan. Â Putri Anjani mulai mengerahkan ilmu pukulan Gora Waja yang dahsyat. Â Gerakan-gerakannya berubah agak kaku. Â Namun jauh lebih mengerikan. Â Kulit tubuhnya berubah mengkilat-kilat dan lengannya bahkan kaku sekeras baja. Â
Sempat tadi Dewi Mulia Ratri menyarangkan beberapa pukulan Lembu Sakethi ke tubuh Putri Anjani. Â Hanya untuk mendapati tangannya tergetar keras dan terasa kesakitan. Â Kekebalan dan daya tahan tubuh Putri Anjani bahkan bisa menahan ilmu pukulan sedahsyat Lembu Sakethi.
Menyadari bahwa dia bisa celaka, Dewi Mulia Ratri lalu mengerahkan pukulan Gempa Pralaya. Â Dan pertarungan pun menjadi seimbang lagi. Â Gerakan kedua gadis muda yang sakti ini sangat berlawanan. Â Putri Anjani dengan gerakan yang kaku namun penuh dengan tenaga mematikan, melawan Dewi Mulia Ratri dengan gerakan yang gemulai seperti bumi yang sedang dilanda gempa.
Pada puncaknya, Dewi Mulia Ratri mengerahkan kekuatan di kedua tangannya, lalu serentak menghantamkan kedua telapak tangannya ke tanah. Getaran maha hebat mengguncang gelanggang pertarungan.  Getaran itu mengalir di dalam tanah mengarah kepada Putri Anjani yang langsung saja mengerahkan  Gora Waja sekuatnya karena tahu pukulan Dewi Mulia Ratri yang satu ini dahsyat luar biasa.Â
Begitu guncangan usai, tubuh Putri Anjani hanya bergoyang goyang namun tetap tegak di tempatnya. Â Hanya saja, dari sudut mulutnya mengalir sedikit darah tanda dia terluka dalam. Â Tidak parah namun cukup membuat gadis ini terguncang jiwanya karena Gora Waja yang dikuasainya ternyata belumlah sempurna. Â Jika telah sempurna, tidak mungkin dia sampai terluka.Â
Namun gadis ini bukanlah gadis yang mudah menyerah. Â Diraihnya Gendewa Bernyawa dari balik punggungnya. Â Dewi Mulia Ratri terkesiap. Â Ini berbahaya! Â Dia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi pusaka sakti itu.
Sebelum Putri Anjani membidikkan gendewa sakti itu ke Dewi Mulia Ratri, terdengar suara melengking tinggi luar biasa yang menyakitkan telinga. Suara itu berubah tinggi rendah lalu mendayu-dayu lalu melengking tinggi sekali. Â
Terdengar suara gemuruh kepak sayap dari hulu sungai Cipamali mengarah ke gelanggang. Â Sebuah bayangan besar pekat menghitam nampak di atas langit. Â Bayangan besar itu bergerak cepat menuju Putri Anjani.Â
Putri Anjani menajamkan penglihatannya. Â Hatinya tercekat. Â Bayangan hitam besar yang berniat menyerang dirinya itu kelelawar! Â Ribuan kelelawar! Bukan, itu ratusan ribu kelelawar! Â Tengkuk Putri Anjani merinding. Â Namun gadis yang dipenuhi dendam ini tidak mau menyerah begitu saja. Dipentangnya Gendewa Bernyawa ke arah ratusan ribu kelelawar itu.
Bimala Calya sengaja memanggil bantuan kelelawar kelelawar di hutan sekitar Cipamali karena dia tahu nyawa Dewi Mulia Ratri sedang dalam bahaya besar. Â Dia tahu bahwa bala bantuan kelelawar itupun hanya mengulur-ulur waktu saja. Â Gendewa itu sangat bertuah dan sakti. Â
Pasti bisa menanggulangi serangan ratusan ribu kelelawar itu. Â Benar saja. Â Saat Putri Anjani menarik tali busur Gendewa Bernyawa, ribuan anak panah berapi meluncur deras ke angkasa mengarah ratusan ribu kelelawar yang bergemuruh menyerang Putri Anjani.Â
Terdengar decit-decit kesakitan dan bau hangus daging terbakar saat ribuan kelelawar terjatuh dalam keadaan gosong. Â Beberapa kali Putri Anjani melakukan tindakan yang sama. Â Beberapa kali juga ribuan kelelawar mati terbakar saat jatuh ke tanah. Â Puluhan ribu bangkai kelelawar bertumpuk di depan markas dan jalanan menuju sungai Cipamali. Â Mengerikan!
Tentu saja sehebat-hebatnya Gendewa Bernyawa, kecepatan Putri Anjani tetap masih kalah dengan beruntunnya serangan yang datang dari ratusan ribu kelelawar yang dipanggil Bimala Calya. Â Ribuan kelelawar sudah sangat dekat saat Putri Anjani masih sibuk mementangkan lagi Gendewa Bernyawa. Â Gadis ini tidak sempat lagi mempergunakan gendewa sakti itu. Â Ribuan kelelawar mengerubuti tubuhnya. Â
Gadis ini mengerahkan Gora Waja sepenuhnya sehingga gigitan kelelawar beracun tidak bisa menembus kulitnya. Â Namun tetap saja hal ini membuatnya kerepotan bukan main. Â
Jika terus dikerubuti oleh ribuan kelelawar seperti ini. Â Bukan hal yang mustahi jika lambat laun dia akan kehabisan nafas dan tewas.
Situasi sangat genting bagi hidup Putri Anjani. Â Tumpukan kelelawar sudah menimbun dirinya hingga ke bagian leher. Â Jika tidak ada yang menolong, sebentar lagi bisa dipastikan gadis itu akan tewas tercekik kehabisan udara. Â
Dewi Mulia Ratri sendiri hanya bengong tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian ini begitu mengerikan. Â Selain itu Dewi Mulia Ratri sudah membuat keputusan dalam hatinya. Â Mendadak...
"Blaaaar... Blaaaar... Blaaaar..."
Tumpukan kelelawar itu berhamburan diterjang angin pukulan dahsyat. Â Putri Anjani terbebas dari bahaya kematian. Â Namun puluhan ribu kelelawar masih berdatangan dari langit. Â Sebentar saja lagi tubuhnya yang kaku sekeras baja itu akan ditimbuni lagi oleh ribuan kelelawar yang terus berdatangan seperti air hujan.
Sebuah larikan besar sinar berwarna keperakan menghantam ke arah gerombolan kelelawar yang terjun dari langit ke arah Putri Anjani. Â Larikan sinar perak itu tidak hanya membuat tubuh ribuan kelelawar mati, namun menghancurkannya menjadi abu. Â Sehingga tidak ada lagi yang menimbuni tubuh Putri Anjani. Â Begitu terjadi berkali kali sampai akhirnya semua kelelawar menghilang habis dari langit.Â
Putri Anjani mengambil nafas panjang. Dia tidak peduli siapa yang telah menyelamatkannya dengan membasmi ratusan ribu kelelawar tadi.  Yang penting  dirinya terbebas dari bahaya maut.  Kemarahannya bangkit lagi.  Ini semua pasti gara-gara Bimala Calya.Â
Tidak ada siapa lagi yang mempunyai kemampuan seperti ini kalau bukan gadis dari Lawa Agung itu. Â Sambil tetap memegang Gendewa Bernyawa, mata Putri Anjani mencari cari. Â Ketemu!
Bimala Calya sedang berdiri di samping Dewi Mulia Ratri dan menatapnya dengan penuh selidik. Â Melihat gadis itu menatapnya penuh amarah, Putri Anjani semakin tersulut kemarahannya. Â Dipentangnya gendewa sakti itu ke arah dua gadis yang sama sama melotot ke arahnya. Â Untuk berjaga-jaga dari serangan dahsyat Gempa Pralaya Dewi Mulia Ratri, Putri Anjani mengerahkan Gora Waja untuk melindungi tubuhnya.
Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya sadar betapa berbahayanya gendewa di tangan Putri Anjani. Â Mereka yang tadinya terheran-heran dengan orang yang belum menampakkan diri namun sudah membantu Putri Anjani tadi, tidak bisa lagi berpikir atau menduga-duga. Â Keadaan berbalik sekarang. Â
Bimala Calya tidak bisa memanggil bala bantuan kelelawar. Â Karena nampaknya kelelawar di sekitar hutan Cipamali sudah tidak bersisa lagi. Â ingin sebenarnya Bimala Calya memanggil ular ular berbisa untuk membantu. Â Namun itu tidak akan banyak gunanya. Â Gadis itu tidak mempan racun jika sedang dilindungi oleh ilmu Gora Waja. Bisa bisa malah ular-ular di sekitar Cipamali akan juga habis tak bersisa.
Satu-satunya jalan adalah menghadapi kehebatan gendewa itu dengan tangan mereka sendiri. Â Dewi Mulia Ratri mengerahkan sepenuhnya Gempa Pralaya. Â Jika Putri Anjani melepaskan panah panah berapi, dia akan membiarkannya walaupun itu akan merenggut nyawanya.Â
Tapi dia akan membawa serta gadis itu bersamanya. Â Dia akan menyerang sepenuhnya menggunakan Gempa Pralaya. Â Dia yakin, meskipun dilindungi oleh Gora Waja, Gempa Pralaya pasti akan melukai gadis itu dengan parah jika dia mengerahkan seluruh kekuatannya. Â Itu tekadnya.
Bimala Calya juga bersiap-siap. Â Dia mencabut pedang pendek yang selalu disimpan di buntalan pakaiannya. Â Paling tidak senjata ini bisa menangkis panah-panah yang mengarah ke mereka.Â
Suasana menegangkan itu terasa hingga ke benteng Galuh Pakuan.  Panglima Candraloka dan pasukannya sedari tadi hanya terbengong-bengong  saja menyaksikan kejadian-kejadian yang luar biasa di depan mata mereka.  Mereka sadar tidak bisa banyak membantu Dewi Mulia Ratri dan temannya. Â
Karena itu Panglima Candraloka hanya memerintahkan mereka untuk menyiapkan gendewa dan anak panah sebanyak-banyaknya. Â Paling tidak mereka akan mencoba mengganggu dan menghambat gadis sakti dari Laut Utara yang sedang kalap itu.
Putri Anjani belum juga memulai serangannya. Â Gadis ini sedang mempelajari situasi. Â Dia melihat pasukan pemanah di atas benteng sedang bersiap siap menghujaninya dengan anak panah. Â Gadis ini berhitung. Â Apakah dia bisa cukup cepat menyerang Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya, lalu berpindah membidik hujan anak panah dari atas? Â Hatinya sebetulnya cukup tenang. Â
Dia dilindungi oleh Gora Waja. Â Hujan anak panah itu pasti tidak akan melukainya. Â Namun ada satu hal yang dikhawatirkannya. Â Bagaimana dia melindungi mata yang sudah pasti tidak termasuk bisa dilindungi oleh Gora Waja?
Pikiran Putri Anjani berputar putar. Â Matanya bergantian memperhatikan Dewi Mulia Ratri, Bimala Calya, dan atas benteng. Â Saat matanya bersirobok dengan mata Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya, kemarahannya tak terbendung lagi. Â Rasa marah yang menguasai hatinya mengalahkan pikiran jernih dan cerdik yang tadi memenuhi pikirannya. Â
Diangkatnya Gendewa Bernyawa mengarah pada Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya. Â Ditariknya busur gendewa ajaib itu, dilepaskan, dan meluncurlah puluhan anak panah berapi menerjang kedua gadis yang sudah bersiap siap sedari tadi.
Secepat itu pula, Putri Anjani menarik busur gendewa sakti dan mengarahkan ke atas benteng untuk menangkis ratusan anak panah yang secara berbarengan dengan serangannya tadi, dilepaskan oleh pasukan pemanah Galuh Pakuan. Â Meluncurlah ratusan anak panah berapi ke atas menyambut ratusan anak panah pasukan Galuh Pakuan.
Begitu melepas anak panah untuk menangkis serangan dari atas, Putri Anjani langsung memindahkan perhatiannya kepada Dewi Mulia Ratri. Â Gadis itu bisa saja secepat kilat menghantamnya dengan Gempa Pralaya.Â
Mata Putri Anjani terbelalak lebar melihat apa yang sedang dilihatnya. Â Puluhan anak panah berapi yang ditujukan kepada Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya tertahan oleh sesuatu yang aneh. Â Seperti sebuah dinding es tebal. Â Semua anak panah menancap di situ. Â
Dinding es itu sekaligus memadamkan api yang menyala di mata puluhan anak panah. Â Dinding es tebal itu runtuh. Membawa puluhan anak panah itu runtuh ke tanah.
Putri Anjani penasaran bukan main. Â Diangkatnya lagi Gendewa Bernyawa. Â Ditariknya busur hingga dua kali. Â Meluncurlah puluhan anak panah berapi hingga dua kali. Â Sebuah bayangan berkelebat. Â Mengangkat tangan dan memutarnya di udara di depannya. Â Terciptalah sebuah tameng terbuat dari es tebal sehingga kembali puluhan anak panah itu mentah dan menancap ke dinding es tebal itu.
Putri Anjani menunggu sampai es tebal itu runtuh untuk melihat siapa gerangan yang telah membantu Dewi Mulia Ratri. Â Begitu dinding es itu runtuh. Tidak ada siapapun di sana kecuali Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang berdiri mematung dengan wajah pucat seperti habis melihat hantu.
Putri Anjani sangat penasaran. Kali ini ditariknya busur Gendewa Bernyawa berkali kali. Â Meluncurlah puluhan anak panah berapi bergantian menuju Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang masih bengong tanpa berbuat apa apa.Â
Kembali sebuah bayangan berkelebat menghadang puluhan anak panah berapi yang datang bergelombang dan bertubi tubi. Â Bayangan itu tidak lagi bisa berkelebat pergi begitu dinding es sudah dibuat, karena anak panah berapi terus berdatangan. Â Kali ini yang diperbuatnya lebih hebat lagi. Â
Bayangan itu menghantamkan tangannya ke tanah. Â Sebongkah besar tanah melayang ke atas tapi tidak terlepas dari bumi. Â Seperti sebuah dinding besar dari tanah yang dasarnya tetap terpaku ke tanah.Â
Bayangan yang sebenarnya Arya Dahana itu kembali membuat keajaiban dengan menyalurkan ilmu pukulan Danu Cayapata ke dinding tanah besar itu. Â Dinding tanah raksasa itu berubah seketika menjadi dinding es yang tertancap dalam tanah. Â Sehingga tidak mungkin lagi roboh jika ditinggalkan olehnya. Â
Tidak seperti tadi. Â Pemuda ini membuat dinding es yang bisa melindungi Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya tanpa harus berulang-ulang membuat dinding es dari udara kosong. Â Setelah membuat dinding es yang sangat kokoh itu, Arya Dahana membalikkan badan berniat menyapa dua gadis yang tadi masih melihatnya seperti melihat hantu.
"Plaakkk..Plakkkk..."
Kedua pipi pemuda itu memerah terkena tamparan Dewi Mulia Ratri yang memandangnya dengan pandangan rindu, gemas, marah dan sebal. Â
Sementara Bimala Calya hanya bergeser mendekat sambil menatapnya lekat-lekat seolah-olah dia adalah sebuah patung perunggu yang dibuat oleh pemahat terkenal dan sekarang sedang diamati dengan ketelitian tingkat tinggi.
Arya Dahana tersenyum tengil sambil meletakkan jari di mulut. Â Menyuruh mereka tidak mengeluarkan suara karena takut terdengar oleh Putri Anjani.
Putri Anjani menghentikan serangannya menggunakan Gendewa Bernyawa. Â Ini sangat aneh. Â Ada orang yang turun tangan membantu mereka. Â Tapi orang itu tidak mau menampakkan wajahnya. Â Sama persis dengan orang yang tadi membantunya membasmi pasukan kelelawar beracun. Â Sama persis? Â Hmmmm berarti ini orang yang sama.
Putri dari Laut Utara ini makin penasaran. Â Apalagi dinding es yang terakhir tadi sama sekali tidak luruh dan hancur. Â Seperti terpatri ke bumi. Â Dia tidak bisa melihat lagi keberadaan Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya. Â Gadis ini menjadi curiga. Â Tidak ada suara apapun terdengar dari balik dinding es besar yang terbuat dari tanah itu. Â
Jangan-jangan mereka sudah melarikan diri. Â Dia melihat ke atas. Â Pasukan panah Galuh Pakuan masih bersiaga dengan gendewa-gendewanya. Semua serangan panah ke arahnya tadi berhasil ditangkis dan dipatahkan semua oleh anak panah berapi yang dilontarkan Gendewa Bernyawa.
Lalu terdengar suara seperti orang yang sedang menggumam marah sambil melepaskan tamparan dua kali. Â Putri Anjani menggerakkan tubuhnya melingkari dinding es sembari bersiaga siapa tahu ada serangan mendadak menunggu dari baliknya.
Gadis dari Laut Utara ini yang gantian bengong sekarang. Â Dilihatnya pemandangan aneh yang sama sekali tidak menakjubkan baginya. Â Arya Dahana sedang berdiri sambil mengusap-usap pipinya. Â Didepannya berdiri Dewi Mulia Ratri yang sedang meneteskan airmata namun matanya berkerjap kerjap sebal. Â Di samping Dewi Mulia Ratri, Bimala Calya mematung sambil memandang Arya Dahana tanpa berkedip.
Hmmm...jadi pemuda inilah yang tadi menolong mereka menahan serangan Gendewa Bernyawa. Â Pemuda ini jugalah yang telah menolongnya dari serangan ribuan kelelawar yang hampir menewaskannya tadi. Â Putri Anjani yang telah mengalami perubahan hebat semenjak berlatih Sihir Tanah Seberang dan menjalani banyak ritual mengerikan, merasa kemarahannya memuncak kembali.
"Arya! Â Ternyata kaulah yang telah membantu gadis-gadis sihir ini! Â Kau pemuda tak ingat budi! Â Aku telah mempertaruhkan nyawaku untuk menolongmu di laut Ngobaran, dan sekarang kau malah menghalangi aku!"
Arya Dahana menoleh. Â Sejenak terkejut dengan perubahan penampilan Putri Anjani. Lalu pemuda ini meringis menyebalkan ke arah Putri Anjani.
"Putri... kamu tahu aku tidak akan membiarkan siapapun kau lukai menggunakan gendewa sakti itu. Â Kamu juga tahu aku akan selalu teringat budi baikmu yang telah menyelamatkan nyawaku saat itu."
Putri Anjani mengedikkan kepalanya dengan pongah.
"Aku tidak peduli! Â Aku menagih hutangmu sekarang! Â Kau bantu aku membunuh mereka...dan hutangmu aku anggap lunas."
Arya Dahana terperangah kaget. Â Bukan hanya wajah dan penampilannya saja yang berubah. Â Watak dan sikap gadis ini juga jauh berubah. Â Â
Pemuda ini memalingkan wajah ke arah Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang juga sedang memandangnya. Â Tatapan kedua gadis itu mudah sekali diartikan. Â Nampak sekali kelegaan dan kerinduan memancar keluar dari sana. Â Ada juga terlihat rasa ingin tahu yang besar apa yang akan dilakukannya terhadap permintaan Putri Anjani.
Arya Dahana menghela nafas panjang.
"Putri, aku akan memenuhi permintaan apapun untuk melunasi hutang nyawaku. Kecuali permintaan seperti ini...aku akan menolaknya dengan tegas! Â Aku tidak bisa memenuhinya .....kau boleh ambil nyawaku jika kau mau sebagai gantinya...."
Putri Anjani melotot. Â Ehh tapi...semua permintaan? Hmmm...
"Baiklah Arya...aku menarik kembali kata-kataku...aku memintamu untuk menemaniku menemui Panglima Kelelawar di Pulau Kabut...kamu juga harus mencegah mereka menghalangiku pergi dari sini...kamu juga harus melindungiku selama perjalanan dan di Pulau Kabut...lalu kamu juga harus ikut aku pergi ke Istana Timur untuk menemui beberapa orang di sana...barulah hutangmu aku anggap lunas!"
Dewi Mulia Ratri mendelik mendengar rentetan permintaan yang tidak masuk akal itu. Â Gadis ini bertolak pinggang menghadap Arya Dahana yang masih bengong mendengar permintaan Putri Anjani.
"Dahana!...ingat! Â Aku juga mempunyai janji terhadap mendiang Dyah Puspita!...kamu dititipkan olehnya kepadaku...kamu harus meminta ijin kepadaku mengenai hal-hal seperti ini...karena aku yakin seyakin-yakinnya, Dyah Puspita tak akan pernah menyetujui perjanjian konyol seperti ini..."
Arya Dahana kebingungan bukan main. Dia berada di tengah-tengah permainan kata-kata dua gadis yang sama-sama keras hati ini. Â Bisa-bisa akan pecah kembali pertarungan. Â Dia harus mencegahnya. Â Pemuda ini tersenyum memohon kepada Dewi Mulia Ratri sembari berkata lembut.
"Ratri, aku mohon percayalah kepadaku...aku berjanji tidak akan melanggar norma kemanusiaan apapun dalam melunasi janjiku ini...percayalah. setelah melunasi hutang nyawa ini, aku akan datang menemuimu...ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu dan ini hanya menyangkut kita berdua saja..."
Dewi Mulia Ratri sudah hampir menyemprotkan kata-kata pedas lagi ketika dia melihat sinar mata penuh permohonan dari pemuda itu benar-benar dalam. Â Ditambah lagi kalimat terakhir yang diucapkan Arya Dahana membuatnya terperangah kaget. Â Hal penting? Hanya mereka berdua? Â Hatinya dipenuhi oleh rasa penasaran yang teramat sangat.
Gadis ini menahan hatinya. Â Jika dia berkeras, Putri Anjani bahkan mungkin akan meminta Arya Dahana melakukan hal-hal yang lebih aneh lagi. Â
Menemani putri cumi-cumi itu bertemu Panglima Kelelawar mungkin tidaklah aneh. Â Dia yakin Arya Dahana sama sekali tidak suka mencampuri urusan kerajaan dan tidak meletakkan kakinya di satu pihak. Â Menemani ke Istana Timur? Â Ini yang agak memberatkan hatinya. Â Perjalanan ke Istana Timur sangatlah jauh. Â Mereka akan menempuh perjalanan bersama sama selama berhari hari. Â Berdua saja. Â Hhhhhhhhh menyebalkan!
Dewi Mulia Ratri sama sekali tidak menyadari bahwa semua mata tertuju kepadanya. Â Gadis ini masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Â Raut mukanya sangat mudah ditebak. Â Penuh dengan rasa jengkel dan marah. Â Arya Dahana berdehem untuk menggugah kesadaran Dewi Mulia Ratri. Â Gadis itu terperanjat. Â Pipinya bersemu merah.
"Dahana, aku... atas nama Dyah Puspita yang telah menitipkan dirimu padaku...mengijinkanmu membayar lunas semua hutang nyawamu kepada gadis ini. Â Tapi ada syarat yang harus kau penuhi...kau harus berjanji untuk memenuhi syarat ini...jika tidak, maka aku tidak akan mengijinkanmu. Â Aku tidak peduli putri cumi cumi ini mempunyai gendewa sakti. Â Aku tidak peduli jika kau malah membantunya melawan kami....kita akan perang bubatkan semua di sini!"
Dewi Mulia Ratri berkata berapi-api kepada Arya Dahana sambil melirik Putri Anjani yang masih saja tersenyum mengejek.
Arya Dahana tersenyum maklum.
"Baiklah Ratri, Â sebutkan apa syaratmu?"
Gantian sekarang Dewi Mulia Ratri yang tersenyum mengejek ke arah Putri Anjani.
"Kau boleh temani gadis ini ke Pulau Kabut. Â Syaratnya kau tidak boleh membantunya dalam bentuk apapun untuk bersekutu dengan Panglima Kelelawar melawan Galuh Pakuan. Â Kau boleh temani gadis ini ke Istana Timur. Â Syaratnya kau harus singgah ke sini untuk menyampaikan kepadaku apa hasil kunjunganmu ke Lawa Agung. Â
Syarat ketiga, di Istana Timur kau juga tidak boleh ikut-ikutan jika ada niatan untuk melawan Galuh Pakuan. Syarat terakhir, kau harus kembali lagi kesini untuk menyampaikan apa hasil kunjunganmu ke Istana Timur. Â Aku harus memastikan semua ini tidak merugikan Lawa Agung. Â Itu empat syarat yang harus kau penuhi..."
Putri Anjani mengerutkan kening mendengar persyaratan yang diajukan Dewi Mulia Ratri. Â Syarat yang mengada-ada! Gadis ini membuka mulutnya hendak menyanggah keras. Â Namun Arya Dahana mengangkat tangannya mencegah.
"Baiklah Ratri...aku akan penuhi semua persyaratanmu...jangan khawatir...sepulang dari Pulau Kabut, aku akan menemuimu di sini. Â Sepulang dari Istana Timur, aku juga akan menemuimu di sini. Â Aku pastikan tidak akan mencampuri urusan apapun tentang peperangan antar kerajaan."
Putri Anjani mendengus kesal sambil mengomel pendek.
"Huh! Â Syarat yang mengada ada....!"
Dewi Mulia Ratri tersenyum samar. Â Hatinya sebenarnya agak malu mengakui. Â Syarat yang disampaikannya tadi memang mengada-ada. Â Syarat itu semuanya bermuara pada Arya Dahana harus selalu menemuinya. Â Entah mengapa, dia senang dan bahagia bisa berpikir sehebat ini agar selalu bisa bertemu Arya Dahana.
Putri Anjani sepertinya sudah tidak sabar lagi. Â Ditariknya lengan Arya Dahana untuk segera berlalu. Â Namun pemuda itu menepiskan tangannya sambil berkata untuk menunggu.
"Mala, aku senang bisa berjumpa lagi denganmu di sini. Â Ingatlah apa yang pernah aku katakan dulu tentang cahaya pelita. Â Selalu bersinarlah pada saat kegelapan datang. Â Matikan pada saat sudah terang."
Pemuda ini tersenyum manis kepada Bimala Calya yang sedari tadi hanya menatapnya tanpa berkata-kata.
Bimala Calya menundukkan kepalanya. Â Dia jatuh cinta kepada pemuda ini. Â Itu jelas. Dulu dia bahkan bersedia menjadi apa saja asal diperbolehkan ikut kemana saja oleh Arya Dahana dan Dyah Puspita. Â Saat ini dia tidak tahu harus berbicara apa. Â Dia juga menyadari bahwa sahabat baiknya sekarang, Dewi Mulia Ratri, juga ada rasa kepada Arya Dahana. Â Meski gadis itu berusaha keras menutupinya rapat rapat.
Yang sebenarnya, Bimala Calya merasa patah hati. Â Dia merasa bahwa cintanya tidak akan kesampaian. Â Ini menyedihkan. Â Tapi huru hara kehidupan yang dilaluinya sejak kecil menempa dirinya dengan kuat. Â Apalagi dia banyak bertemu dengan sahabat-sahabat yang sangat baik tanpa memperdulikan seperti apa latar belakangnya. Â
Mendiang Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri adalah dua orang yang paling peduli dengannya. Â Dia tidak mungkin merusak persahabatan demi sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Â
Tidak! Â Dia akan mempertahankan persahabatan ini selamanya. Â Dia akan memberi nomor kedua bagi cinta. Â Bimala Calya perlahan-lahan menemukan kembali senyumnya.
"Arya, aku akan menemani Dewi Mulia Ratri di sini. Â Aku menemukan seorang sahabat yang mengerti aku. Â Aku menemukan kebahagiaanku. Â Pergilah, aku akan selalu ingat kata-katamu..."
Arya Dahana menarik nafas lega. Â Gadis ini tidak boleh dibiarkan patah hati dan terlunta-lunta. Â Gadis ini adalah mutiara yang sebelumnya terpendam dalam lumpur. Â Jangan sampai jatuh lagi dalam lumpur yang lain.
Pemuda ini menatap Dewi Mulia Ratri sekali lagi. Â Ada sebuah kilatan cahaya di matanya. Â Kilatan cahaya yang hanya bisa dilihat oleh Dewi Mulia Ratri. Gadis ini sedikit tersipu. Â Dia mengenal kilatan itu semenjak perang besar Blambangan dulu. Â Kilatan yang sama juga saat puncak peristiwa naga Merapi. Â Lalu kilatan yang terlihat lagi saat dia secara membabi buta menyerang pemuda itu di Ngobaran sebelum pemuda itu terjatuh ke jurang laut.Â
Itu kilatan penuh rindu. Â Kilatan yang pertama kali dulu merajam hatinya. Â Dan setelah itu berkali-kali menusuk jantungnya. Â Ingin rasanya dia menubruk pemuda itu dan meletakkan kepala di bahunya sambil menangis sejadi jadinya. Â Selama ini dia merasa selalu berteman dengan sunyi. Â
Pemuda ini adalah keramaian yang dia inginkan. Â Tapi dia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan. Â Dia merasa tak berdaya. Â Ada sesuatu yang selalu mencegahnya. Â Sesuatu yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Â Harga diri.
Tanpa berkata apa apa lagi, Arya Dahana memberi isyarat kepada Putri Anjani untuk meninggalkan tempat itu segera. Â Gadis dari laut utara itu melemparkan senyuman yang lagi-lagi mengejek kepada dua gadis di hadapannya sambil berlalu mengikuti langkah Arya Dahana.
Dewi Mulia Ratri mengikuti dengan ekor matanya kepergian pemuda yang membuatnya ditelikung huru hara cinta itu. Â Di sisi lain, dia geram pada Putri Anjani. Â Gadis itu sangat berbahaya. Â Gendewa sakti di tangannya sangat luar biasa. Â
Dewi Mulia Ratri bergidik. Â Bagaimana jika gadis yang dikuasai nafsu amarah itu berhasil membujuk Panglima Kelelawar untuk bergabung atau bersekutu. Â Itu seperti kekuatan tanpa batas. Â Galuh Pakuan akan berada dalam bahaya besar. Â Jumlah dan kekuatan pasukan tidak menjamin jika harus berhadapan dalam perang melawan orang-orang seperti Putri Anjani atau Panglima Kelelawar. Â
Keduanya mempunyai senjata pemusnah yang luar biasa. Â Putri Anjani dengan gendewanya dan Panglima Kelelawar dengan pasukan hewan berbisanya.
Untung tadi Arya Dahana membantu mereka tepat waktu. Â Jika tidak, mereka berdua, bahkan seluruh pasukan perbatasan Galuh Pakuan, bisa musnah tanpa sisa. Â Pemuda itu mempunyai kelihaian yang luar biasa. Â Sanggup membuat dinding es dari tanah, bahkan dari udara. Â
Dia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu lagi. Â Dia memutuskan untuk tinggal di perbatasan sambil berunding dengan Panglima Candraloka bagaimana cara memperkuat pasukan di pesisir selatan. Â Bimala Calya akan diajaknya terus kemana-mana. Â Gadis itu sebatangkara. Â Dia tidak akan tega untuk meninggalkannya.
*************
Bersambung Bab XIV
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H