Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

30 Januari 2019   09:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   09:41 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendadak seperti kilat, Arya Dahana mendorong tubuh Putri Anjani dan Ayu Wulan yang masih ada di depannya ke samping.  Lalu membalikkan tubuh dan mengarahkan tangannya ke depan menyambut pukulan Raja Iblis Nusakambangan yang mencoba secara curang menyerangnya dari belakang.

"Duuuukkk...duuukkk...desssssss!"

Tubuh Raja Iblis Nusakambangan terpental ke belakang disertai raungannya yang dipenuhi kemarahan.  Namun seketika itu juga raungannya berhenti.  Terlihat darah mengalir dari mulut dan hidungnya.  Si Raja Iblis ini lalu jatuh terduduk tak bisa melanjutkan serangan lagi.

Arya Dahana kembali merasa sakit meruyak lagi di dadanya.  Serangan curang tadi membuatnya tidak sempat mempersiapkan diri dan tenaganya sehingga dia hanya sebisanya saja menahan pukulan si Raja Iblis.  Namun kembali aliran tenaga aneh mengalir dari leher ke dadanya yang sakit dan dia sudah merasa pulih kembali dengan cepat. 

Pemuda ini melangkah cepat diikuti oleh Putri Anjani, Nyai Genduk Roban dan Ayu Wulan mendatangi Panglima Kelelawar yang sudah bisa berdiri tegak meski masih harus dipapah oleh para hulubalangnya.  Tabib istana rupanya sudah datang dan mengobati luka dalam hebat yang diderita oleh Raja Lawa Agung ini.

Arya Dahana membungkukkan badan memberi hormat di hadapan Panglima Kelelawar.  Bagaimanapun jahatnya, orang ini adalah seorang raja dan pemuda itu menghargainya.

"Terimakasih atas pelajaran yang telah panglima berikan hari ini.  Apakah kami sudah bisa meninggalkan tempat ini sekarang?"

Panglima Kelelawar mendelikkan matanya penuh amarah.  Namun tidak ada satu katapun yang terucap karena dia sadar bahwa berkata kata akan kembali menumpahkan darah segar dari mulutnya.  Raja Lawa Agung ini hanya memberi isyarat kepada para hulubalangnya untuk menyiapkan kapal dan mengantar empat orang ini pergi ke daratan Jawa.  Yang diperintah segera berjalan ke pelabuhan, diikuti oleh Arya Dahana dan teman temannya.

Sesampai di pelabuhan, Arya Dahana dan rombongan dipersilahkan naik sebuah kapal kecil yang terbaik.  Kapal itu segera melepas tali tambatan dan berangkat meninggalkan pelabuhan Pulau Kabut yang misterius menuju daratan Jawa.

******
Bersambung Bab VII

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun