Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Idu Geni

30 Januari 2019   09:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   09:41 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab V

Perbedaan bisa menimbulkan pertikaian
Perbedaan bahkan bisa mengakibatkan peperangan
Tapi perbedaan juga adalah sebuah tali
Untuk mengikat yang berbeda menjadi satu kesatuan.
Selalu sama belum tentu menjadikan semua baik
Selalu sama kadangkala malah hanya melahirkan rasa pasrah
Dan tidak ada kata perjuangan
Dan tidak ada kata gairah.
Selalulah berbeda untuk memperjuangkan kesamaan.

Bab VI

Pulau Kabut-Ibukota Lawa Agung.  Arya Dahana dan Putri Anjani duduk di meja perjamuan panjang itu dengan tenang namun waspada.  Dikelilingi oleh para pejabat dan tokoh tokoh penting Lawa Agung.  Sepertinya sebuah kebetulan yang disengaja jika di samping Arya Dahana duduk Nyai Genduk Roban dan di samping Putri Anjani duduk Ayu Wulan.

Nyai Genduk Roban sengaja menyuap petugas yang biasa mengatur tempat duduk dalam perjamuan kerajaan agar dia bisa duduk di samping Arya Dahana.  Nenek ini juga memohon ijin dengan sangat kepada Nini Cucara agar cucunya Ayu Wulan diperbolehkan ikut dalam perjamuan tersebut dan didudukkan berdampingan dengan sesama gadis yaitu Putri Anjani.

Perjamuan belum dimulai karena menunggu Panglima Kelelawar datang.  Para peserta perjamuan saling bicara dengan sebelahnya secara berbisik bisik.  Kesempatan yang ditunggu tunggu oleh Nyai Genduk Roban.  Dicondongkannya kepala ke arah telinga Arya Dahana sambil berbisik lirih.

"Arya Dahana, aku mohon selamatkan dan keluarkan cucuku dari tempat terkutuk ini. Aku titipkan dia kepadamu.  Entah bagaimana caramu.  Yang pasti, jika ada apa apa terjadi, aku akan bertaruh nyawa untuk melindungi pelarian kalian."

Nenek ahli sihir itu melanjutkan,

"Di sisi barat pulau ini, pos penjagaan dan para penjaga, paling lemah sepertinya.  Karena sisi tersebut tebingnya sangat tegak lurus dan paling aman dari penyusup.  Di bawah tebing itu sudah tertambat sebuah perahu kecil yang bisa kau gunakan pergi bersama Putri Anjani dan Ayu Wulan."

"Tempat ini, pulau ini, dikelilingi oleh sihir luar biasa hebat yang dirapal sendiri oleh Ratu Laut Selatan.  Kamulah satu satunya orang dari luar yang bisa masuk dan selamat tiba di pulau ini.  Waktu yang paling tepat saat sihir itu melemah adalah ketika matahari mulai terbit atau ketika mau tenggelam."

Nyai Denok Roban menutup kalimat panjangnya dengan mata penuh permohonan.

"Selamatkanlah cucuku dari sini.  Carikan dia guru yang tepat untuk berlatih ilmu kanuragan.  Aku mohon kepadamu nak.. selamatkan Ayu Wulan."

Arya Dahana mencatat dalam hati hal hal penting yang dikatakan oleh nenek ahli sihir tadi.  Dia mengangguk secara tegas kepada Nyai Genduk Roban. Menyatakan lewat pandangan matanya tentang kesediaannya.  

Nyai Genduk Roban tersenyum bahagia lalu memalingkan muka dan memberi perhatian penuh terhadap semua yang dihidangkan.  Dia akan menguji setiap makanan yang diletakkan di depan Arya Dahana dengan sihirnya.  Apakah berbahaya atau tidak.

Tepat pada saat semua makanan telah tersedia dan dihidangkan di atas meja, Panglima Kelelawar tiba bersama sejumlah pengawal istana.  Semua orang berdiri lalu membungkukkan badan.  Arya Dahana termasuk salah satu yang melakukan pemberian hormat kepada sang Raja itu.  Akan tetapi, Putri Anjani tidak beranjak sama sekali dari kursinya.  Gadis ini sama sekali tidak mau memberi hormat.  Pendiriannya sangat teguh.  Mereka berdua saat ini adalah tawanan yang tidak kentara tawanannya karena masih diberikan kebebasan untuk mengenal lebih jauh kerajaan Lawa Agung selama beberapa hari ke depan. 

Panglima Kelelawar bertepuk tangan dua kali agar semua bisa mulai menikmati hidangan yang ada.  Tepukan tangan itu ternyata bukan tepukan biasa.  Sebuah hawa pukulan yang tajam berdesir mengarah kepada Arya Dahana. 

Pemuda ini merasakan hawa dingin dari pukulan itu mengarah ke dadanya.  Panglima sakti ini sedang menguji dirinya.  Hmmmm.. siapa takut? Pemuda ini merangkapkan kedua tangan  di dada.  Sebuah hawa pukulan panas menyambut pukulan Panglima Kelelawar. 

Ruang perjamuan bergetar seperti sedang terjadi gempa.  Terdengar ledakan kecil saat kedua pukulan itu saling bertemu.  Beberapa piring terlempar keluar dari meja perjamuan.  Namun dengan secepat kilat dan tidak bisa diikuti mata biasa, Arya Dahana berkelebatan mencoba menahan dan menangkap piring  yang terlontar akibat getaran pertemuan pukulan tadi.  Dan piring piring yang berisi beraneka makanan tadi sudah tertata kembali di atas meja begitu bayangan Arya Dahana kembali duduk. 

Semua yang hadir menahan nafas dengan kagum melihat pertunjukkan adu lihai tadi.  Jelas bahwa pemuda yang terlihat sederhana dan tengil itu mampu mengimbangi junjungan mereka yang sangat sakti.  Panglima Kelelawar sendiri juga berdecak kagum dalam hati.  Pemuda ini tidak bisa dibuat main main.  Dulu dia pernah beradu tangan sebentar dengan pemuda ini saat Perang Bubat.  Namun itu hanya sebentar dan sama sekali belum menggambarkan apa apa.  Kini dia yakin bahwa pemuda ini memang sangat lihai dan tangguh.

Putri Anjani bahkan bertepuk tangan karena tidak bisa menahan diri lagi saking kagumnya kepada Arya Dahana.  Gadis dari laut utara ini tahu bahwa pemuda ini tangguh.  Namun sama sekali tidak menyangka ternyata setangguh ini. 

Kembali mata tajam Panglima Kelelawar menatap Arya Dahana.  Tangannya diayunkan ke depan.  Segumpal asap berbentuk naga terbang kencang menuju Arya Dahana.  Kali ini Panglima Kelelawar menguji pemuda itu lewat serangan sihir.  Bayangan naga itu terlihat sangat mengerikan.  Matanya memerah saga dan api berkobar kobar keluar dari mulutnya yang besar dan bertaring tajam.  

Ilmu sihir tingkat tinggi di dunia persilatan akan menjadikan sebuah serangan sihir sama seperti serangan yang sebenarnya.  Bisa melukai dan membunuh.  Dan sekarang bayangan naga itu mendekat dengan cepat ke Arya Dahana, siap menelan bulat bulat pemuda yang berdiri dengan tenang itu.

Arya Dahana yang sudah mempersiapkan diri dengan Geni Sewindu menghantamkan telapak tangannya ke arah naga mengerikan itu.  Terdengar lagi ledakan keras yang memekakkan telinga saat naga itu hancur berantakan dan lenyap seketika.  Ilmu sihir seperti yang dipunyai oleh Panglima Kelelawar tidak bisa dilawan dengan sembarangan ilmu kanuragan.  Geni Sewindu adalah ilmu kanuragan, namun mempunyai sebuah kelebihan anti sihir yang luar biasa.  Inilah salah satu kelebihan Geni Sewindu.

Begitu naga ciptaannya dilenyapkan pukulan Arya Dahana, Panglima Kelelawar sebetulnya sudah gatal untuk menerjang pemuda itu habis habisan. Tapi Raja Lawa Agung ini teringat akan rencananya.  Pemuda ini sangat tangguh dan bisa mengimbanginya.  Akan butuh waktu lama untuk mengalahkan lawan yang satu ini. Dia akan menaklukkan dengan cara halus saja sesuai dengan rencana semula.

Panglima Kelelawar bertepuk tangan berkali kali sambil tersenyum lebar.

"Luar biasa! Luar biasa!...ini adalah pertunjukan pembuka perjamuan yang luar biasa!  Ayo ayo silahkan dinikmati hidangannya."

Semua orang bernafas lega.  Tidak ada satupun dari mereka yang bisa membayangkan betapa dahsyatnya pertarungan antara Panglima Kelelawar dan Arya Dahana jika itu terjadi di tempat ini.  Semua orang mulai menikmati hidangan hidangan lezat yang terlihat membangkitkan selera.  

Putri Anjani  yang memang lapar bukan main, mengambil seekor ikan yang dibakar dengan bumbu kuning untuk dicicipinya.  Sebelum makanan itu masuk mulutnya, mendadak tangan Arya Dahana menahan tangannya.  Pemuda itu mengambil potongan ikan di tangan Putri Anjani dan memasukkan ke mulutnya sendiri.

Putri Anjani terbelalak kaget.  Lalu berbisik lirih setengah merengek.

"Arya, kalau kamu mau aku ambilkan makanan katakan saja.  Atau mau disuapin pun aku bersedia.  Untuk apa kamu ambil makanan di tanganku.  Aku sudah lapar sekali..."

Arya Dahana tersenyum sedikit namun penuh arti.  Dia tidak menjawab kalimat Putri Anjani.  Dia sedang memusatkan perhatian pada rasa lain di makanan ini.  

Rasanya adalah rasa ikan yang sesungguhnya.  Tapi ada rasa enak yang aneh di lidahnya.  Seperti rasa harum dan manis bunga kanthil.  Arya Dahana menelan makanan itu masuk ke dalam perutnya.  Perutnya bergolak dan memberontak sesaat.  Setelah itu tenang lagi.  Hmmm.. makanan ini beracun luar biasa.  Untunglah dia punya kekebalan terhadap segala macam racun dan sihir.

Putri Anjani terbengong bengong melihat cara Arya Dahana memakan makanannya tadi.  Demikian juga Nyai Genduk Roban.  Nenek ini bernafas lega.  

Pemuda ini bisa merasakan bahwa makanan yang disajikan ke mereka adalah makanan yang dibubuhi racun mematikan.  Ayu Wulan yang sejak tadi selalu memperhatikan tingkah polah Arya Dahana menjadi geli.  Merebut makanan yang dipegang Putri Anjani, memakannya lalu mengrenyit ngrenyit seolah olah makanan itu terlalu asin atau bagaimana.

Arya Dahana memberi isyarat kepada Putri Anjani agar tidak memakan makanan di depannya.  Dia sendiri kemudian mengambil makanan di piring yang tersedia di hadapannya dan memakannya dengan lahap.  Putri Anjani mendengus jengkel.  Dia tidak boleh makan makanan lezat di piringnya, sementara pemuda tengil itu seenaknya melahap makanan di depannya.  Keadilan macam apa ini?

Putri Anjani dengan nekat mengambil sepotong daging yang sedari tadi membangkitkan seleranya.  Perutnya sangat keroncongan.  Sudah berhari hari mereka hanya makan buah maja dan ikan yang tidak karuan rasanya.  Masak makanan selezat ini harus dilewatkan begitu saja.  

Wah, jangan jangan pemuda tengil itu sedang mempermainkannya.  Lagi lagi sebelum makanan itu berhasil disuapkan ke mulutnya, Arya Dahana memegang tangannya lagi dan menepis daging itu sehingga jatuh lagi ke piring.

"Putri...kamu bandel sekali.  Makanan ini beracun.  Bahkan mungkin juga ada teluh di dalamnya. Kalau kamu masih nekat memakannya, aku tidak jamin setelah makan kamu masih manusia cantik atau bukan.  Mungkin kamu bisa berubah menjadi kodok atau kepiting."

Desis Arya Dahana yang juga jengkel melihat kebandelan gadis ini.

Putri Anjani melotot marah kepada Arya Dahana.  Pemuda ini keterlaluan! Dia tidak boleh makan karena katanya ini makanan beracun.  Tapi kenapa dia makan dengan lahap?  Ah kalau begitu aku ikut makan makanan yang ada di hadapan pemuda itu saja. Begitu pikir Putri Anjani sambil menggerakkan tangannya meraih sepotong ayam di piring Arya Dahana.

Arya Dahana menahan nafas saking jengkelnya melihat gadis ini ngeyel untuk makan.  Jelas jelas dia diberitahu bahwa makanan ini beracun.  Tapi kasihan juga melihat gadis yang sedang kelaparan ini, sebuah pikiran nakal mampir di benak Arya Dahana.  Dengan seenaknya pemuda ini menekan meja.  Piring makanan di depan Raja Iblis Nusakambangan yang berisi kepiting dan udang bergerak dan bergeser ke hadapan Putri Anjani. 

"Nah makanlah yang ini Putri.  Lebih sehat, lebih enak dan tidak beracun.."

Putri Anjani menjadi cerah lagi mukanya.  Dengan buru buru gadis yang sangat kelaparan ini mencomot udang dan kepiting di depannya lalu makan dengan lahap.  Sementara Raja Iblis Nusakambangan yang sedari tadi memperhatikan bagaimana Arya Dahana makan makanan di piringnya dengan lahap, mendelik marah saat piring makanannya berpindah tempat di depan Putri Anjani. 

Raja Iblis ini menggebrak meja dengan tenaga dalam agar piringnya kembali bergeser ke arahnya.  Namun piring makanan itu seperti menempel di meja depan Putri Anjani.  Dilihatnya Arya Dahana tetap menekan sisi meja mempertahankan piring makanan tersebut.  Raja Iblis menambah tenaga sekuatnya.  Lagi lagi piring itu sama sekali tidak bergerak.  Rupanya biang sesat ini kalah tenaga dibanding Arya Dahana.  Baru setelah Putri Anjani menyelesaikan kepiting dan udang yang terakhir, piring kosong itu seperti terbang berpindah ke hadapan Raja Iblis Nusakambangan lagi.

Raja Iblis yang merasa dipermainkan ini berdiri dan menghantamkan pukulan mematikan ke Arya Dahana.  Angin menghentak hentak mengikuti pukulan yang sangat ganas ini.  Arya Dahana berdiri dan mendorongkan tangannya ke depan beradu tangan dengan si Raja Iblis menggunakan pukulan Busur Bintang.

Akibatnya, Raja Iblis terpental ke belakang dengan keras sampai menabrak kursi dan meja di belakangnya.  Arya Dahana duduk kembali dengan tenangnya.  Raja Iblis tadi mengeluarkan pukulan maut yang tujuannya membunuh.  Karena itu dia memberi pelajaran tokoh sesat itu dengan mengeluarkan pukulan Busur Bintang yang sakti dan akhirnya membuat si Raja Iblis kehilangan muka.

Panglima Kelelawar mengangkat tangannya mencegah Raja Iblis yang kembali hendak menyerang.  Panglima yang gagah ini tadi sebelum perjamuan makan menyuruh tukang masak untuk membubuhkan racun khusus yang dicampur dengan teluh dan guna guna untuk membuat kedua orang itu takluk dan menyerah.  

Namun rupanya si pemuda sableng itu tidak mempan sihir dan racun sehingga terhindarlah mereka berdua dari tipu muslihat yang dirancang halus. Racun itu sangatlah tidak kentara.  Seorang ahli racun sekalipun belum tentu bisa membaui dan merasakan bahwa makanan itu dibubuhi racun yang dibuat oleh Nini Cucara.  

Tapi pemuda itu bisa menangkalnya dengan mudah.  Tidak ada cara lain selain kekerasan rupanya.  Sebelum panglima ini memerintahkan untuk menyerang, Arya Dahana telah berdiri terlebih dahulu dan berkata nyaring.

"Kalian tidak mempunyai niat yang baik kisanak Lawa Agung!...begini saja.  Bagaimana kalau kita selesaikan ini semua secara jantan.  Panglima Kelelawar, aku menantangmu untuk adu tanding ilmu kesaktian selama lima puluh jurus.  Taruhannya adalah, siapapun yang kalah harus mengikuti apa yang diminta oleh pemenangnya....bagaimana?  berani?"

Arya Dahana sengaja menekankan kata berani untuk mengusik harga diri sang panglima.  Dia tidak punya cara yang lebih baik lagi untuk lolos dari tempat ini dan menyelamatkan Putri Anjani, Nyai Genduk Roban dan Ayu Wulan selain cara ini.

Benar saja, Panglima Kelelawar terperangah kaget mendengar tantangan terang terangan ini.  Apalagi pemuda lusuh itu menyebut kata berani dengan begitu keras di hadapan semua anak buahnya.  

Amarahnya tersulut dengan hebat.  Dia tahu pemuda itu punya kemampuan tinggi.  Dia penasaran seberapa tinggi dia bisa mengimbangi dirinya yang sudah malang melintang begitu lama di dunia persilatan.  Panglima tinggi besar ini maju melompat keluar ruangan perjamuan menuju pekarangan istana yang sangat luas dan indah.  Arya Dahana mengikuti keluar disertai semua orang yang ada di ruangan itu.

"Pemuda konyol!  Aku layani tantanganmu.  Sekarang sebutkan apa yang kau minta jika aku kalah dalam pertarungan ini?!"

Panglima Kelelawar berdiri dengan gagah di tengah lapangan.

Arya Dahana tersenyum getir karena dia sendiri tidak yakin apakah bisa memenangkan pertarungan ini atau tidak.  Tapi kata takut tidak ada dalam dirinya.

"Panglima Kelelawar, permintaanku sederhana.  Jika aku memenangkan pertaruhan ini, maka aku minta Putri Anjani, Nyai Genduk Roban, Ayu Wulan dan diriku, kau ijinkan untuk pergi dari tempat ini.  Kau harus menyediakan kapal dan awak yang terbaik dan kau harus perintahkan anak buahmu untuk tidak mengganggu kami sampai kami tiba di daratan Jawa."

Panglima Kelelawar mengerutkan keningnya mendengar ini.  Tapi rasa pongah sudah menguasai Raja Lawa Agung ini.

"Baiklah!  Aku turuti permintaanmu jika kau menang dalam pertarungan ini.  Sebaliknya, jika aku yang menang maka kau dan semua yang telah kau sebutkan namanya tadi harus bersumpah darah dan tunduk kepada perintahku seumur hidup!"

Arya Dahana cukup terperanjat mendengar taruhan ini.  Dia akan menyambutnya.  Tapi karena ini juga menyangkut nama nama yang lain, dia harus meminta persetujuan mereka satu persatu.  Pemuda itu segera memandang Nyai Genduk Roban yang mengangguk tegas.  Lalu Ayu Wulan, gadis itu tersenyum manis kepadanya dengan rasa percaya yang penuh dan tulus.  Terakhir Putri Anjani.  Gadis itu memandang kepadanya dengan mata yang susah ditebak artinya namun gadis itu juga mengangguk tegas sambil mengepalkan tangannya ke atas memberi semangat.

"Baiklah panglima.  Kami semua sepakat untuk taruhan ini.  Mari kita mulai."

Arya Dahana bersiap siap dan bersiaga penuh.  Panglima Kelelawar adalah satu dari sedikit tokoh yang lebih tinggi kemampuannya dari delapan tokoh penjuru mata angin dan bahkan mungkin mengimbangi atau mengalahkan Datuk Rajo Bumi.  dia juga mendengar panglima ini mempunyai pukulan yang sama dengan yang dimilikinya yaitu pukulan Bayangan Matahari.  

Dia belum sempurna menguasai pukulan yang satu ini, jadi hal terbaik yang harus dilakukannya adalah menghadapi pukulan ajaib itu dengan pukulan Busur Bintang atau Geni Sewindu.  Dia harus mengerahkan semua kemampuannya kali ini.  Lawan yang dihadapinya adalah jajaran tokoh nomor satu yang susah dicari tandingannya.

Panglima Kelelawar sebenarnya bukan termasuk orang yang berangasan.  Namun kali ini dia sama sekali tidak sabar untuk segera menaklukkan pemuda ini.  Banyak sekali keuntungan yang bisa Lawa Agung dapatkan  jika dia menang.  Mereka adalah orang orang lihai yang bisa memperkuat kekuatan Lawa Agung.  Gendewa Bernyawa juga bisa membantu Lawa Agung pada saat perang besar nanti.  Dia harus mengalahkan pemuda ini. Harus!

Raja Lawa Agung ini tidak membuang waktu.  Tubuhnya yang tinggi besar berkelebat ke depan menyerang Arya Dahana.  Panglima ini menyerang dengan ilmu aneh yang didapatkannya saat berkelana di negeri Kali.  Jurus jurus yang bersandar pada perpaduan gerakan berbagai macam binatang dan mengandalkan kelebihannya, seperti kelincahan kera, bisa maut ular kobra, kekuatan harimau, kekebalan buaya dan ringannya gerakan elang.

Arya Dahana langsung saja terdesak hebat diserang oleh juru jurus aneh ini.  Namun pemuda ini adalah pemuda yang ditempa oleh berbagai macam ujian dan kesulitan sejak kecil.  Mempelajari ilmu ilmu hebat hanya melalui kitab dan buku tanpa seorangpun guru.  Ilmu ilmu langka dan ajaib sudah mendarah daging di tubuhnya.  

Bahkan mustika naga api mengalir di dalam darahnya.  Pemuda ini mempunyai kekuatan aneh dan luar biasa berkat hal hal ajaib.  Terkena senjata rahasia beracun dingin dan pukulan panas secara bersamaan membuat hawa murni dalam tubuhnya menyimpan kekuatan yang luar biasa dahsyat. Ditambah kekuatan api yang diperolehnya ketika menelan mustika naga api, membuat kekuatan hebat tenaga dalamnya menjadi berlipat lipat.

Perlahan namun pasti, Arya Dahana bisa mengimbangi serangan serangan Panglima Kelelawar dengan mempergunakan ilmu pukulan Geni Sewindu.  

Semua orang yang menyaksikan pertarungan harus minggir jauh jauh.  Angin pukulan yang keluar dari pertarungan ini sanggup melukai siapa saja yang terlalu dekat dengan pertarungan.  Dua bayangan berkelebat kesana kemari, saling serang dengan hebat.  Angin menderu deru di sekitar mereka.  
Daun daun yang berserakan di tanah beterbangan tak tentu arah di udara.  Tubuh kedua orang ini tidak terlihat lagi.  Hanya sesekali terdengar ledakan ledakan hebat saat pukulan mereka tidak mengenai sasaran dan menghantam batu atau pohon di sekeliling arena pertarungan. 

Dua puluh jurus tanpa terasa telah berlalu.  Belum ada tanda tanda siapa yang akan kalah atau terdesak dalam pertarungan maha dahsyat ini.  Kini pertarungan berubah total.  Tidak lagi mengandalkan kecepatan, namun lebih banyak mengerahkan kekuatan dan kesaktian pukulan.  

Gerakan mereka berubah lambat namun jauh lebih mengerikan akibatnya.  Sudah lima pohon besar tumbang terkena hantaman Panglima Kelelawar dan Arya Dahana.  Taman di sekitar lapangan yang luas, porak poranda dilanda angin badai yang ditimbulkan oleh pukulan mereka.  Malah di satu waktu, hantaman pukulan Geni Sewindu yang dilepaskan Arya Dahana dan bisa dielakkan oleh Panglima Kelelawar, menghantam pendopo istana yang langsung saja hancur berantakan dan terbakar.  Kontan saja hal ini membuat sibuk pasukan Lawa Agung yang segera memadamkan api.

Selain penasaran, Panglima Kelelawar juga kagum bukan main.  Pemuda ini lawan yang setimpal untuknya.  Jarang dia mendapatkan lawan yang setanding.  Kecuali di puncak Merapi dulu saat bertarung melawan Datuk Rajo Bumi.  Ini sudah empat puluh jurus lebih dan dia belum mampu mendesak lawannya yang masih muda ini.

Putri Anjani, Nyai Genduk Roban dan Ayu Wulan yang menonton dari kejauhan menjadi deg degan bukan main melihat pertarungan yang luar biasa hebat itu.  Mereka sebetulnya sudah pasrah akan nasib jika harus menjadi bagian dari Lawa Agung jika Arya Dahana tidak mampu mengalahkan Panglima Kelelawar.  

Namun melihat jalannya pertarungan, mereka justru menjadi was was dan khawatir terhadap nyawa pemuda itu.  Jika saat mendekati lima puluh jurus dan Arya Dahana belum juga menyerah,  Panglima Kelelawar pasti akan mengeluarkan pukulan pamungkasnya dan itu bisa berakibat mengerikan terhadap Arya Dahana.

Benar saja dugaan mereka.  Memasuki jurus keempat puluh sembilan, Panglima Kelelawar melompat mundur ke belakang.  Arya Dahana menghentikan serangannya.  Sesuai dugaannya juga, pasti panglima itu akan mengeluarkan pukulan Bayangan Matahari yang dahsyat dan mematikan.  

Panglima ini berdiri tegak.  Kedua tangannya terangkat tinggi ke atas seperti sedang menangkap sinar matahari yang sedang terik teriknya.  Saat turun ke bawah, kedua tangannya terkepal dan luar biasa!  Kedua kepalan tangan itu bersinar sinar perak keemasan, dipenuhi oleh kilau emas keperakan yang menyilaukan mata.  Bahkan sekujur tubuhnya juga diselimuti oleh cahaya keperakan.  Saking panasnya, pengaruh pukulan Bayangan Matahari membuat rerumputan sekitar Raja Lawa Agung berdiri mulai terbakar hebat.

Arya Dahana tidak mau gegabah.  Ini adalah saat saat penentuan.  Pemuda ini tubuhnya berubah warna menjadi sangat pucat kehijauan.  Wajahnya seperti kehilangan darah saking pucatnya.  Saking hebatnya pukulan Busur Bintang yang sedang disiapkannya,  rerumputan sekitar kakinya menginjak langsung saja membeku seketika.  Hawa dingin sangat menusuk tulang terasa hingga jauh ke para penonton di sekitar arena.

Pemandangan luar biasa berlawanan ini seperti kisah dalam dongeng saja.  Semuanya menanti dengan ngeri apa yang terjadi selanjutnya.  Pukulan sepanas matahari akan bertemu dengan pukulan sedingin es kutub.  Putri Anjani dan Ayu Wulan bahkan sampai menutup mata dengan kedua tangan mereka.  Tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi pada Arya Dahana.

Panglima Kelelawar melompat tinggi ke atas sambil berteriak luar biasa nyaring, lalu mendorongkan kedua kepalannya yang dibuka menghantam Arya Dahana menggunakan Pukulan Bayangan Matahari tingkat tertinggi yang dia miliki.  Arya Dahana tidak mau kalah.  Pemuda ini seperti terbang menyambut pukulan lawannya dengan mengerahkan sepenuhnya Pukulan Busur Bintang miliknya yang hampir sempurna.

"Blaaaaaarrrrr.....Blaaaaarrrr....Blaaaaaarrr.....Blaaaaaarrrr!!!!"

Suara ledakan berkali kali terjadi saat kedua pukulan itu beradu.  Bunga api berhamburan kemana mana disertai pecahan pecahan es yang berjatuhan ke segala arah.

Disertai jeritan penuh kecemasan Putri Anjani dan Ayu Wulan secara bersamaan, tubuh Arya Dahana terpelanting keras dan berguling guling jauh sebelum akhirnya berhenti setelah menabrak rumpun perdu bunga melati jauh di pinggir lapangan.  Pemuda ini bangkit perlahan lahan sambil menyeka setitik darah yang melompat dari sudut bibirnya.  Dia terluka dalam.

Semua anak buah Lawa Agung bersorak bergemuruh.  Semua melihat junjungan mereka hanya terhuyung huyung lima langkah ke belakang namun masih tegak berdiri di tempatnya.  Semua mata memandang ke arah Raja Lawa Agung ini. 

Panglima Kelelawar membuka matanya yang tadi terpejam.  Terlihat sekali mata yang sangat kesakitan di sana.  Panglima ini berniat membuka mulutnya untuk berbicara, namun.....hoeeekkk hoekkkk...yang keluar adalah muntahan darah segar berkali kali.  Panglima ini tidak kuat lagi berdiri. Tubuhnya terjungkal jatuh dengan masih memegang dadanya yang luar biasa kesakitan. 

Sorakan yang membahana dari pasukan dan tokoh tokoh Lawa Agung seketika terhenti.  Suasana sunyi dan senyap dipecahkan dengan berlarinya Nini Cucara ke tengah lapangan dengan tergesa gesa diikuti oleh Raja Iblis Nusakambangan dan para hulubalang pengawal.  Nenek sakti ahli sihir hitam ini sangat khawatir melihat kondisi junjungannya.  Benar saja.  Raja Lawa Agung ini berusaha duduk dengan susah payah dan dengan nafas tersengal sengal.  Nini Cucara sampai harus menahan bagian belakang tubuhnya agar tidak terguling lagi ke belakang.

Arya Dahana mencoba mengambil nafas dalam dalam.  Ada sedikit rasa sakit di dadanya.  Namun itu tidak begitu mengganggunya.  Ada sebuah aliran aneh dari lehernya menuju dada tanpa dikendalikannya.  Aliran aneh itu seperti menjahit luka dalam yang dideritanya dengan cepat.  Pemuda ini tidak tahu.  Kalau saja dia tidak menelan mustika naga, lukanya pasti akan sama parahnya dengan Panglima Kelelawar.

Pemuda ini membuka matanya dengan kaget karena ada dua lengan yang memeluknya erat erat.  Dilihatnya sepasang mata cantik menatapnya penuh kekaguman.  Mata Putri Anjani.  Gadis ini melepaskan pelukannya ketika dua sosok lain mendekati.  Ayu Wulan tersenyum manis sambil memegang tangan Arya Dahana penuh terimakasih.  Nyai Genduk Roban juga memandang Arya Dahana dengan tatapan terimakasih sambil memeluk cucunya.  

Nenek ini sudah merasa sangat putus asa bagaimana cara dia dan cucunya bisa lepas dari kungkungan Lawa Agung.  Dan kinilah tiba saatnya.

Mendadak seperti kilat, Arya Dahana mendorong tubuh Putri Anjani dan Ayu Wulan yang masih ada di depannya ke samping.  Lalu membalikkan tubuh dan mengarahkan tangannya ke depan menyambut pukulan Raja Iblis Nusakambangan yang mencoba secara curang menyerangnya dari belakang.

"Duuuukkk...duuukkk...desssssss!"

Tubuh Raja Iblis Nusakambangan terpental ke belakang disertai raungannya yang dipenuhi kemarahan.  Namun seketika itu juga raungannya berhenti.  Terlihat darah mengalir dari mulut dan hidungnya.  Si Raja Iblis ini lalu jatuh terduduk tak bisa melanjutkan serangan lagi.

Arya Dahana kembali merasa sakit meruyak lagi di dadanya.  Serangan curang tadi membuatnya tidak sempat mempersiapkan diri dan tenaganya sehingga dia hanya sebisanya saja menahan pukulan si Raja Iblis.  Namun kembali aliran tenaga aneh mengalir dari leher ke dadanya yang sakit dan dia sudah merasa pulih kembali dengan cepat. 

Pemuda ini melangkah cepat diikuti oleh Putri Anjani, Nyai Genduk Roban dan Ayu Wulan mendatangi Panglima Kelelawar yang sudah bisa berdiri tegak meski masih harus dipapah oleh para hulubalangnya.  Tabib istana rupanya sudah datang dan mengobati luka dalam hebat yang diderita oleh Raja Lawa Agung ini.

Arya Dahana membungkukkan badan memberi hormat di hadapan Panglima Kelelawar.  Bagaimanapun jahatnya, orang ini adalah seorang raja dan pemuda itu menghargainya.

"Terimakasih atas pelajaran yang telah panglima berikan hari ini.  Apakah kami sudah bisa meninggalkan tempat ini sekarang?"

Panglima Kelelawar mendelikkan matanya penuh amarah.  Namun tidak ada satu katapun yang terucap karena dia sadar bahwa berkata kata akan kembali menumpahkan darah segar dari mulutnya.  Raja Lawa Agung ini hanya memberi isyarat kepada para hulubalangnya untuk menyiapkan kapal dan mengantar empat orang ini pergi ke daratan Jawa.  Yang diperintah segera berjalan ke pelabuhan, diikuti oleh Arya Dahana dan teman temannya.

Sesampai di pelabuhan, Arya Dahana dan rombongan dipersilahkan naik sebuah kapal kecil yang terbaik.  Kapal itu segera melepas tali tambatan dan berangkat meninggalkan pelabuhan Pulau Kabut yang misterius menuju daratan Jawa.

******
Bersambung Bab VII

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun