Raja masih tidak mempercayai penglihatannya. Â Gadis di depannya ini persis sama dengan lukisan yang tadi dilihatnya di museum. Â Dalam versi masa kini tentu saja.
"Raja..." suara itu lagi! Â Raja sadar bahwa bisikan itu bukan berasal dari gadis cantik di depannya yang sedang memandang melotot ke arahnya.
"Sekali lagi maaf ya mbak. Â Saya tidak sengaja. Â Apakah mbak ada yang terluka?" Â Raja mencoba menghilangkan shock-nya dengan bertanya sopan.
Gadis itu melengos. Â Bibirnya cemberut. Â Raja semakin tak karuan hatinya. Â Bibir itu juga sama seperti lukisan aneh itu tadi. Â Raja menggerak-gerakkan bibirnya tanpa suara.
Suasana mendadak hening. Â Pemuda dan pemudi itu berdiam diri. Â Raja berusaha memecah kebuntuan dengan mengulurkan tangan, "Namaku Raja...."
Meskipun dengan sedikit ogah-ogahan, gadis itu menerima uluran tangan Raja," Citra...."
Raja tersenyum kikuk. Â Merasa bersalah tapi lega. Â Citra ikut tersenyum. Â Merasa bersalah juga telah bersikap terlalu keras kepada Raja yang ternyata pemuda yang sangat santun.
Untuk kesekian kalinya Raja terbelalak. Â Senyum itu! Senyum itu tidak ada bedanya dengan senyum wanita cantik dalam lukisan di museum. Â Senyum manis Putri Dyah Pitaloka. Â Oh Tuhan!
-------
Akhirnya Raja berhasil mengajak berbincang Citra dengan nyaman di sebuah kedai kopi tidak jauh dari museum. Â Seolah kebetulan saja ternyata keduanya mempunyai hobi yang tidak jauh berbeda. Â Sejarah dan benda-benda purbakala. Â Citra sendiri adalah seorang mahasiswi jurusan Sejarah di universitas ternama di Jakarta.Â
Raja yang masih penasaran lalu bercerita kepada Citra tentang apa yang dialaminya tadi di museum. Â Namun pemuda ini sama sekali tidak menyinggung tentang betapa miripnya Citra dengan sang putri dalam lukisan.