Di sebuah museum tua yang masih terawat dengan sempurna, Raja memperhatikan lukisan itu lekat-lekat. Â Ada yang menarik perhatiannya. Â Lukisan itu seolah hidup dan menatapnya sambil tersenyum. Â Sesosok tubuh perempuan cantik luar biasa yang berpakaian putri raja. Â Sosok lukisan sang putri legenda, Putri Dyah Pitaloka.
Raja melayangkan ingatan pada buku sejarah, hikayat dan dongeng yang telah habis dilalapnya sejak SMP. Â Ada dua wanita yang selalu mampir dalam ingatannya. Â Bahkan seperti hidup dan tergambar jelas di ruang otaknya. Â Putri Dyah Pitaloka dan Ratu Laut Selatan.
Buku-buku yang dibacanya tidak ada yang mengilustrasikan secara jelas seperti apa dua sosok itu. Â Tapi Raja mengolahnya dalam kepala dengan begitu detail. Â Terutama Putri Dyah Pitaloka. Â Karena menciptakan sosok utuh Ratu Laut Selatan di otaknya selalu terhalang oleh sesuatu yang Raja juga tidak paham.
------
Raja memalingkan muka ketika sebuah suara menyapa telinganya. Â Lirih tapi terdengar sangat jelas sekali,
"Raja..."Â
Raja menoleh kesana kemari. Â Tidak ada siapa-siapa. Â Kebetulan museum memang sedang sepi karena bukan hari libur. Â Beberapa pengunjung sedang asyik di ruang sebelah. Â Menikmati cerita dari pemandu yang bersemangat bercerita tentang kerajaan Pajajaran.
"Raja..." kembali bisikan lirih itu memanggil. Â Raja merinding. Â Suara itu begitu jelas seolah yang berbicara ada di sampingnya. Â Buru-buru pemuda ini hendak beralih ke ruang sebelah yang masih ramai. Â Sambil berjalan pergi, Raja melirik lukisan itu sekali lagi.Â
Ya Tuhan! Â Senyum yang tadi tersungging begitu manis lenyap! Wajah cantik dalam lukisan itu cemberut!
Duh, wajah Raja memucat seketika. Â Dia memberanikan diri mendekati lukisan itu lagi untuk memastikan penglihatannya. Â Bibir merah delima di lukisan itu membentuk senyuman lagi!Â
"Raja..." Â Bisikan itu lagi.
Raja tak sanggup lagi berkata-kata. Â Namun sebagai pemuda masa kini yang tidak percaya begitu saja dengan takhyul, Raja memastikan sekali lagi. Â Dia berlari keluar ruangan dan di pintu menengok untuk memastikan. Â Senyuman itu sudah lenyap. Â Raja kabur secepatnya.
"Raja..."
------
Sembari menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti, Raja menelusuri trotoar depan museum. Â Pantas saja dia bisa menggambar dengan sempurna seperti apa sosok Putri Dyah Pitaloka di benaknya? Â Ternyata ada kaitan metafisika yang tidak bisa dicerna oleh logikanya sebagai mahasiswa S2 Arkeologi. Raja tersenyum di antara ketidakmengertiannya.
"Bruukkk...uuuhhhh.....kurang ajar...plakk...plakkkk....." Lamunan Raja buyar seketika. Â Kakinya tersandung sesuatu. Â Menimpa sesuatu sekaligus juga pipinya menerima sesuatu. Panas dan menyakitkan. Â Beberapa kali tamparan. Fiuuuhh!
Raja membuka matanya. Ternyata dia tersandung, terjatuh, lalu menimpa tubuh seseorang yang sedang duduk di bangku pinggiran trotoar. Â Orang itu menamparnya karena dia menimpa tubuhnya persis seperti orang yang sedang berusaha memeluk. Â Orang itu seorang gadis. Â Sekarang sedang membelalakkan matanya yang indah dengan penuh kemarahan.
Raja tergesa-gesa menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil berkata gugup,
"Maaf...maaf...aku tak sengaja...maaf."
"Makanya kalau jalan jangan meleng tuh mata! Â Lihat-lihat sekitar!" Â bentak gadis itu masih dengan kemarahan yang sama.
Raja memperhatikan gadis yang sedang marah itu. Â Terbengong-bengong. Â Mengucek-ucek matanya. Â Lalu tanpa sadar menempeleng pipinya agak keras. Â Plakkk!
Gantian gadis itu sekarang yang terpana. Â Ih, pemuda sableng! Ditegur malah menampar dirinya sendiri. Â Jangan-jangan pemuda ini agak miring otaknya? Â Pikir gadis cantik ini.
Raja masih tidak mempercayai penglihatannya. Â Gadis di depannya ini persis sama dengan lukisan yang tadi dilihatnya di museum. Â Dalam versi masa kini tentu saja.
"Raja..." suara itu lagi! Â Raja sadar bahwa bisikan itu bukan berasal dari gadis cantik di depannya yang sedang memandang melotot ke arahnya.
"Sekali lagi maaf ya mbak. Â Saya tidak sengaja. Â Apakah mbak ada yang terluka?" Â Raja mencoba menghilangkan shock-nya dengan bertanya sopan.
Gadis itu melengos. Â Bibirnya cemberut. Â Raja semakin tak karuan hatinya. Â Bibir itu juga sama seperti lukisan aneh itu tadi. Â Raja menggerak-gerakkan bibirnya tanpa suara.
Suasana mendadak hening. Â Pemuda dan pemudi itu berdiam diri. Â Raja berusaha memecah kebuntuan dengan mengulurkan tangan, "Namaku Raja...."
Meskipun dengan sedikit ogah-ogahan, gadis itu menerima uluran tangan Raja," Citra...."
Raja tersenyum kikuk. Â Merasa bersalah tapi lega. Â Citra ikut tersenyum. Â Merasa bersalah juga telah bersikap terlalu keras kepada Raja yang ternyata pemuda yang sangat santun.
Untuk kesekian kalinya Raja terbelalak. Â Senyum itu! Senyum itu tidak ada bedanya dengan senyum wanita cantik dalam lukisan di museum. Â Senyum manis Putri Dyah Pitaloka. Â Oh Tuhan!
-------
Akhirnya Raja berhasil mengajak berbincang Citra dengan nyaman di sebuah kedai kopi tidak jauh dari museum. Â Seolah kebetulan saja ternyata keduanya mempunyai hobi yang tidak jauh berbeda. Â Sejarah dan benda-benda purbakala. Â Citra sendiri adalah seorang mahasiswi jurusan Sejarah di universitas ternama di Jakarta.Â
Raja yang masih penasaran lalu bercerita kepada Citra tentang apa yang dialaminya tadi di museum. Â Namun pemuda ini sama sekali tidak menyinggung tentang betapa miripnya Citra dengan sang putri dalam lukisan.
Tanpa diduga, Citra sangat tertarik. Â Gadis ini bahkan mengajak Raja untuk kembali ke museum membuktikan ceritanya. Â Tentu saja Raja setuju. Â Di dalam hati, ingin sekali pemuda itu membandingkan langsung lukisan sang putri dengan gadis di depannya. Â Pucuk dicinta ulampun tiba!
-------
Raja dan Citra berendeng memasuki ruang sejarah kerajaan Galuh Pakuan. Â Hanya untuk menemui kegaduhan di sana.
"Aneh! Â Benar-benar aneh!" seorang tua botak menggunakan baju putih bersih nampak terpekur sambil berbicara dengan orang di sebelahnya yang berbaju polisi.
"Tidak mungkin ini pencurian. Â Saya sudah periksa langsung CCTV di ruang keamanan. Â Tidak ada siapapun yang memasuki ruangan ini dan mengambil lukisan itu. Â Apalagi menggantinya dengan kanvas yang kosong seperti ini..." Â lanjut si bapak sambil merenung tak habis pikir. Â Tanpa peduli kepada polisi yang siap mendengar keterangan dengan catatan di tangan.
Raja terjengit. Â Buru-buru digandengnya Citra ke depan lukisan yang tadi tertutup karena ada pak polisi di depannya.
Raja melotot. Â Lukisan itu lenyap. Â Yang tersisa hanya kanvas lukisan putih polos. Â Dengan pigura yang sama.
Raja menoleh ingin mengatakan bahwa dia tidak berbohong mengenai ceritanya kepada Citra. Â Gadis itu menatap Raja dengan tatapan mesra, tersenyum manis sambil berbisik lirih,"Raja...namamu Rajasanagara bukan? Â Aku Dyah Pitaloka Citra Resmi..."
Rajasanagara terpaku diam.....
-------
Jakarta, 20 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H