Mohon tunggu...
Milatunnajiah
Milatunnajiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tertarik dengan menulis, travelling, dan menyukai menonton film di cinema

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dialektika dan Modernitas: Membedah Novel "Bila Malam Bertambah Malam" Karya Putu Wijaya

22 Juli 2024   22:13 Diperbarui: 22 Juli 2024   22:47 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a) Bahasa:

   - Penggunaan bahasa Bali untuk menunjukkan latar dan status sosial

   - Bahasa kasar dan sarkasme untuk membangun ketegangan: "Pergi leak! Aku sama sekali tidak menyesal!"

b) Struktur dramatik:

   - Alur maju dengan flashback melalui pengungkapan rahasia

   - Ketegangan dibangun secara bertahap hingga klimaks

c) Simbolisme:

   - Penggunaan simbol seperti "bedil" (senjata) yang melambangkan kekuasaan dan status

   - Malam sebagai simbol kegelapan dan kebohongan yang akhirnya terungkap

6. Relevansi dengan Konteks Sosial

Meskipun novel "Bila Malam Bertambah Malam" berlatar belakang masyarakat Bali, tema-tema yang diangkat memiliki resonansi yang kuat dengan konteks sosial Indonesia secara luas. Kritik terhadap feodalisme modern yang disampaikan Putu Wijaya masih sangat relevan, mengingat meskipun sistem kasta formal telah dihapus, mentalitas feodal masih mengakar dalam berbagai aspek kehidupan sosial Indonesia. Isu ketimpangan sosial yang digambarkan melalui hubungan antara Gusti Biang dan Nyoman mencerminkan kesenjangan antara elit dan masyarakat biasa yang masih menjadi masalah krusial di negeri ini. Konflik generasi antara Gusti Biang yang mewakili nilai-nilai tradisional dan Ngurah yang membawa pandangan modern adalah gambaran nyata dari dinamika sosial yang terus bergulir di Indonesia kontemporer. Lebih jauh lagi, dekonstruksi mitos kepahlawanan yang dilakukan Putu Wijaya melalui pengungkapan rahasia masa lalu suami Gusti Biang mengajak pembaca untuk bersikap kritis terhadap narasi sejarah resmi, sebuah isu yang masih relevan dengan perdebatan revisionisme sejarah di Indonesia. Akhirnya, perjuangan Nyoman dan Ngurah untuk cinta mereka yang melampaui batas kasta merefleksikan perjuangan yang lebih luas untuk kesetaraan gender dan kelas yang masih berlangsung hingga saat ini. Dengan demikian, drama ini tidak hanya berhasil menangkap zeitgeist masanya, tetapi juga menawarkan refleksi yang mendalam dan tetap aktual bagi masyarakat Indonesia modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun