[caption caption="Badut Badut Rasialis dan Syahwat Berkuasa. jakaselimut.blogspot.co.id"][/caption]Ketika rasa haus akan berkuasa sudah membuncah ke ubun ubun, sering membuat orang lupa akan segalanya. Lupa akan diri, lupa akan nurani, lupa akan sejarah dan lupa akan kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu kebersamaan dan persatuan bangsa.
Para pendiri bangsa sudah bersusah payah membuat Pancasila sebagai alat untuk mempersatukan segala perbedaan yang ada di bumi Nusantara ini.
Namun sekarang, Burung Garuda dan Pancasila nya tak ubahnya hanya sekedar logo pemanis yang dipajang di gedung gedung saja.
Garuda bertengger di gedung tanpa makna, tanpa arti dan tanpa ada lagi yang mau bersusah payah mengenal lebih dalam arti Pancasila.
Tulisan Bhinneka Tunggal Ika hanya dianggap sebagai alas kaki Garuda saja.
Maka tak heran jika seorang artis dengan alasan (maaf) hanya berpendidikan SD tidak tahu lambang sila kelima dari Pancasila. Dan tak tahu bahwa menggantinya dengan bebek nungging adalah pelanggaran yang akan berujung dengan penjara.
Maka tak heran jika lambang Garuda di uang kertas pun dicoret coret. Seakan tidak ada hukumnya jika merusak uang dan lambang negara kita.
Kita, masyarakat pada umumnya sejak dulu kala, sudah berbaur menjadi satu bangsa Indonesia. Benar, pernah terjadi gesekan, tapi itu sudah berlangsung puluhan tahun silam. Dan itu merupakan pelajaran paling pahit bagi negeri ini, sejarah kelam bangsa ini.
Sekarang, dalam kehidupan sehari hari tidak ada perbedaan sama sekali. Dari pergaulan, relasi, rekan sejawat bahkan sampai ke perkawinan antar suku terjadi di Indonesia. Itu bukti nyata bahwa pada umumnya semua suku di Indonesia bisa menerima perbedaan dan keragaman.
Tapi herannya masih ada saja pihak yang berupaya memecah belah persatuan bangsa ini. Masih ada saja pihak yang tidak malu malu lagi menunjukan rasa bencinya terhadap suku tertentu. Seakan hanya dirinya sendiri yang benar, hanya diri sendiri nya yang boleh bersuara, sedangkan yang lain pasti salah dan tidak layak di dengar suaranya.
Sebelumnya melanjutkan, saya ucapkan terima kasih buat Mahaguru Jati yang yang sudah mengingatkan saya lewat tulisannya Bule, Negro dan Cino itu Ungkapan Kata Rasis dan tulisan yang sangat bermanfaat Adika Ranggala yang berjudul "Admin Kompasiana Warga Keturunan Tionghoa ya?", Judul Tersebut Rasis Tidak?
***
Sejak Ahok mengajukan diri ingin menjadi calon Gubernur, serangan bertubi tubi ke arah Ahok sudah dilancarkan.
Terlebih ketika Ahok mengajukan diri dari jalur independen (sebuah langkah aneh yang sangat rentan akan kegagalan), maka lebih banyak lagi pihak yang menyerangnya.
Jika saja Ahok maju lewat jalur partai, maka sudah pasti ada partai yang akan membela Ahok ketika diserang. Nah sekarang, titik pusat kekuatan Ahok hanya ada di Teman Ahok saja, sedangkan orang partai ramai ramai menghajarnya.
Belum lagi mulai kampanye saja sudah panas seperti ini, bagaimana jika sudah kampanye. Jadi ini bakalan seru dan panas.
Mudah mudahan semua pihak bisa menahan diri dan tidak terlibat aksi anarkis, sehingga tidak menambah beban aparat penegak hukum. Begitu juga dengan Admin Kompasiana, siap siap aja kerja keras, jangan tidur waktu tugas, supaya artikel SARA, Rasis dan HOAX bisa cepat dibredel.
Dalam upaya perebutan kekuasaan, sah sah saja saling serang untuk menjatuhkan lawannya. Namun sangat tidak bijak jika cara menjatuhkan atau menyerang lawan menggunakan cara yang berakibat pada perpecahan bangsa ini.
Isu SARA dan Rasialis adalah isu yang paling sering dipakai untuk menjatuhkan lawan politik atau sebaliknya untuk meraih simpati publik. Bukan cuma di Indonesia saja isu ini sering digaungkan, bahkan di Amerika sekalipun sampai sekarang masih menggunakan isu SARA dan Rasialis dalam pemilihan.
Contoh :
Perempuan Muslim Diusir dari Kampanye Donald Trump
Donald Trump Larang Semua Orang Muslim Masuk AS
Di Indonesia ada beratus ratus suku dan budaya, namun jika ada pemilihan pemimpin yang paling sering mendapat terpaan SARA dan Rasialis adalah etnis Tionghoa. Padahal etnis Tionghhoa sudah bermukim di Indonesia sejak ribuan tahun lalu.
Etnis Tionghoa bermukim hampir diseluruh pelosok negeri dan sudah bercampur baur dengan berbagai suku, namun sampai saat ini masih ada sebagian orang yang menganggap orang Tionghoa adalah bangsa asing dengan kata lain bukan bagian dari Indonesia.
Seperti terjadi pada kampanye pilpres 2014 lalu, dimana Jokowi pun dituding sebagai keturunan Tionghoa. Saking kreatifnya serangan terhadap Jokowi bahkan sampai dibuat nama Tionghoanya... Hebat kan?
Silahkan dibaca Disini...
Isu Aseng, Asing, Asong, menjadi sangat akrab ditelinga kita dan menjadi diskusi hangat warung kopi. Menuduh Jokowi berkampanye dibantu oleh kekuatan dan dana asing. Lucunya sampai sekarang isu tersebut masih terus dihembuskan oleh beberapa pihak. Mereka menebarkan isu bahwa asing terutama China akan menguasai negeri ini.
Iki opo to rek? Memangnya Indonesia itu mainan atau cuma lahan parkir depan toko aja yang sembarangan bisa dikuasai preman. Apakah kami, orang Tionghoa di negeri ini akan diam saja jika negeri ini dikuasai bangsa asing?
Nah, semakin klop teori konspirasinya ketika Ahok maju sebagai calon independen.
Pihak ini lalu menebarkan ketakutan yang sebenarnya sangat lucu bahwa jika nantinya Ahok menjadi Gubernur DKI yang dianggap bakal menjadi pendamping Jokowi pada pilpres 2019.
Menjadi seorang Tionghoa Kristen bukanlah sebuah kejahatan atau pelanggaran hukum di tanah-air kita Indonesia ini.
Seperti tulisan bang Felix Tani...
[caption caption="twitter.com/AHMADDHANIPRAST"]
Untuk diketahui sebelumnya...
Ahmad Dhani dulunya merupakan salah satu pendukung capres sebelah. Dan beberapa waktu lalu ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI, lewat PKB. Namun, di satu sisi Ketua DPD PKB DKI Jakarta, Hasbiallah Ilyas, menyatakan tertarik mengusung Ahok dalam Pilkada DKI 2017.
Karena merasa “dicuekin” oleh PKB, akhirnya ia cuma bisa pasrah diri aja, "Ahmad Dhani jadi calon atau tidak, itu tidak penting lagi," kata Dhani di kediamannya, di Jalan Pinang Mas, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Senin (21/3/2016).
Terlihat ada nada geram dan panik jika melihat statement dari Ahmad Dhani sehingga menyerang siapapun yang dianggap berpihak pada Ahok.
Tudingan yang tanpa data valid pun dikeluarkan secara membabi buta.
"Ahok itu independen dari partai, tapi tidak independen dari konglomerat,"
Sekedar mencugai ya sah sah saja. Silahkan saja mencurigai siapapun tapi akan sangat miris menuding orang seakan sudah punya data valid.
"Nanti saja pelan-pelan. Saya berbicara berdasarkan data dan fakta," ucapnya.
Hmmm...Miris kan? Baru berasumsi (atau jangan jangan berhalusinasi) aja, koq berbicara seakan sudah punya data yang sudah teruji kebenarannya?
Saking gemesnya, Ahmad Dhani bahkan mengatakan partai yang mendukung Ahok adalah partai penjilat.
"Salah satunya nih ya yang saya tahu. Orang PKB nego dengan konglomerat tersebut. Saya mencurigai orang PKB sudah negosiasi, bukan dengan Ahok ya, tapi dengan pengusaha tersebut," kata dia.
Selengkapnya bisa baca disini : Dhani Bicara soal Jokowi, Ahok, dan PKB
Aiiihhhh...
Saya tidak habis pikir, kenapa Ahmad Dhani bisa bicara sembarangan seperti itu?
Ini bukan tipikal Ahmad Dhani yang saya tau. Setau saya, sebagai musisi Ahmad Dhani ini termasuk salah satu musisi yang punya karir hebat (terlepas dari beberapa lagunya yang dianggap menjiplak) tapi sudah terbukti bahwa banyak lagu lagu gubahan Ahmad Dhani yang digandrungi masyarakat.
Ahamd Dhani juga mempunyai beberapa pikiran yang saya anggap cocok. Diantaranya ketika ia berpendapat bahwa pendidikan bukan hanya di dapat dari sekolah saja.
Dalam konsepnya, Ahmad Dhani memberi pendidikan tidak melulu di sekolah. Banyak metode pendidikan yang bisa diterapkan di luar konsep pengajaran di sekolah.
"Karena orang biasanya kalau sudah kuliah jadi malas belajar, padahal belajar itu harus lebih banyak di luar kuliah," ucapnya.
Pemikiran ini gue banget gitu lho...
Sebagai contoh, saya belajar nulis pun dari Kompasiana. Jadi saya ini produk asli Kompasiana.
Namun sangat disayangkan jika dalam “kemarahannya” ia sampai menyerang Ahok, dengan membawa bawa keturunan atau leluhur yang bernada rasis. Tak urung Jokowi dan PKB pun ikut kena..
“Mereka sebagai warga negara yang tidak ingin tanah Nusantara dikuasai asing. Kamu ini kan turunan Majapahit, Mataram. Jadi, Indonesia ini tanah warisan Nusantara, warisan leluhur nenek moyang kita, bukan nenek moyang Ahok kan,"
Ahmad Dhani Serang Ahok dengan Isu SARA
Mungkin Ahmad Dhani hebat sebagai musisi yang terlalu fokus dengan musik, jadi lupa akan sejarah panjang Kerajaan Majapahit. Atau bisa juga, Ahmad Dhani lupa bahwa Prabu Brawijaya V menikah dengan seorang muslim Campa, yang akhirnya mempunyai keturunan Raden Patah.
Mungkin dalam “kemarahannya” ia juga lupa pada ujar ujar orang tua. Ketika satu jari telunjuk menujuk kedepan, ada empat jari lain yang menunjuk dirinya sendiri.
Ketika menunjuk nenek moyang Ahok, Apakah Ahmad Dhani tidak sadar akan ibunya sendiri, yaitu Joyce Theresia Pamela Kohler, yang merupakan putri dari Jan Pieter Friederich Kohler?
“Selama ini, Ahmad Dhani memang membanggakan dirinya sebagai keturunan Jan Pieter Friederich Kohler. Nama belakang Kohler bahkan sudah mendarah daging dalam diri anak-anak Dhani, salah satunya Al, yang menggunakannya sebagai nama di akun Instagram.”
Begitulah...
Nafsu berkuasa telah membuat sebagian orang tidak berpikir secara logis. Demi memenuhi keingingan pribadi, mau menuding sana sini, mengalahkan kepentingan yang lebih besar yaitu kebersamaan bangsa ini.
Sejak jaman raja raja dulu sampai sekarang, setiap kali ada perebutan/peralihan kekuasaan tidak pernah berakhir dengan baik. Tetap saling curiga, saling kecam, saling tikam, saling sindir yang berujung kemacetan pembangunan negeri.
Para pemimpin dan calon pemimpin tidak pernah belajar dari sejarah, malah terus memberi contoh yang tidak baik, malah mempertontonkan sifat serakah, saling ganyang, saling hantam, saling melempar isu yang mengadu para pengingkutnya satu sama lainnya.
Rakyat diadu, diombang ambing dibuat bingung, rakyat dibuat takut, isu basi yang menjadi luka lama negeri ini, dilempar tinggi tinggi lagi.
Rakyat yang tidak tahu apa apa selalu menjadi korban.
Apakah perebutan kekuasaan antar pemimpin negeri harus seperti yang dilakukan di Kalijodo?
“Tuan-tuan penguasa Kalijodo berganti dari zaman ke zaman. Layaknya kudeta, kekuasaan acapkali berganti melalui pertumpahan darah.”
Tokoh yang satu membunuh tokoh yang lain demi mendapatkan kekuasaan di tempat itu. Parang, samurai, tombak, anak panah, menjadi mesin pembunuh. Puluhan nyawa melayang di sana.
Sedih...
Sampai kapan kita, bangsa ini, bisa menerapkan arti Pancasila sesungguhnya? Sampai kapan bangsa ini mau belajar tentang ke Bhinneka Tunggal Ika an?
***
Menghancurkan jauh lebih mudah daripada membangun.
Ketika haus kekuasaan, haus ketenaran, haus pengakuan, puja puji, membuat orang terlena dan lupa akan diri sendiri. Oleh sebab itu banyak orang yang tidak segan segan menggunakan cara cara tidak terpuji untuk meraihnya.
Pilkada DKI masih sekian lama. Masa kampanyepun belum juga dimulai. Namun negeri aman damai Kompasiana sudah mulai panas. Isu SARA, Rasialis, HOAX dan tudingan yang aneh aneh tanpa data mulai dimainkan oleh sekelompok orang.
Ada beberapa pihak yang terus menggoreng isu SARA dan Rasis, isu yang paling rentan memecah belah bangsa ini. Mereka tidak suka dengan perbedaan yang ada di kehidupan masyarakat sekarang.
Mereka ingin merusak tatanan kehidupan yang sudah harmonis di Indonesia tercinta ini.
Jangan jadikan pilkada DKI ini untuk menebarkan isu yang akibatnya bisa membuat perpecahan bangsa ini.
Jangan bangkitkan lagi isu basi yang bisa membuka luka lama.
Jangan lagi menoleh kebelakang, menataplah ke hari depan...
Marilah bersama sama membangun negeri ini tanpa mesti membedakan satu dengan yang lainnya. Kita ini adalah bangsa Indonesia yang besar, yang seharusnya sudah bisa lebih maju dari sekarang.
Mudah mudahan semua ini tidak terjadi pada diri saya sendiri.
Saya orang yang bodoh, lemah dan mudah terbawa emosi. Sehingga saya sering ikut nyemplung terbawa arus permainan politik praktis yang dimainkan oleh segelintir orang yang tidak suka akan perbedaan.
Oleh sebab itu, mohon dengan sangat kepada para sahabat Kompasianer yang saya sayangi dan saya kagumi semuanya.
Tolong ingatkan saya jika saya sampai terhipnotis oleh rayuan syahdu musik mereka. Sehingga secara tidak sadar saya ikut menari dengan iringan gendang mereka.
Catatan :
Cermin diri...
Bisakah Kita Hidup Berdampingan?
Saatnya Bersama Sama Membangun Negeri
Salam Damai...
BERSAMBUNG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H