(Hani jawab) "Oh ya ada suaminya". Mbak Hani lah yang telepon suaminya.
(Apakah karena panik jadi ga ngerti suami termasuk keluarga?)
Benar, dalam setiap kasus, polisi harus punya pendapat, perasaan atau naluri. Tapi, apakah ketika memeriksa saksi, polisi dibenarkan memasukan pendapat pribadinya? Apakah itu tidak dikatakan menggiring opini? Atau bolehkah ada orang lain yang ikut memasukan asumsinya?
Terakhir ada pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya, apakah saksi dari kafe sudah kenal dengan ketiga orang perempuan itu (Mirna, Jessica dan Hani). Kalau tidak kenal, apakah dibenarkan dalam pemeriksaan polisi, saksi menyebut nama (Mirna, Jessica dan Hani) bukan dengan sebutan Korban, Teman Korban?
***
Dari rekaman kesaksian diatas, bisa dilihat beberapa fakta serta keanehan yang menimbulkan banyak pertanyaan, yang “mungkin” terlupakan/terlewatkan oleh polisi.
1. Dalam rekaman CCTV keliatan bahwa gelas kopi sudah dipindahkan oleh Jessica. Hal itu yang membuat polisi yakin bahwa Jessica meletakan sesuatu ke dalam kopi Mirna.
Tapi apakah polisi lupa bahwa kopi bekas minuman Mirna sudah berpindah tempat? Dan bisa dibilang sudah tercemar untuk dijadikan sebagai barang bukti. Apakah mungkin barang bukti yang sudah tercemar bisa dijadikan barang bukti lagi di pengadilan?
2. Dari keterangan orang yang diduga saksi dari kafe, seakan akan bisa mendengar kejadian yang ada di TKP. Apakah itu bukan keanehan? Apakah itu yang disebut dengan mengkondisikan?
3. Kopi -yang dikatakan sisa kopi Mirna- yang dicicipi saksi dari kafe. Dari kesaksiannya, kopi itu berasa jamu, berbau kimia dan pahit.
Padahal senyatanya sianida tidak mempunyai rasa sama sekali. Walaupun berbau, bukan bau kimia. Tapi bau almond.