Pekarangan rumah, dipenuhi dengan bunga bunga yang indah, melebihi rumah yang ada di Kampung Kamposaina. Ketika Ben memasuki pekarangan rumah, suasana sejuk dan damai begitu kental menyeruak.
“Hallo, spada..” teriak Ben sambil mengetuk pintu rumah, yang terbuat dari kayu jati cokelat muda, dengan ukiran bunga mawar merah besar di tengahnya, dan daun daun hijau tua disekeliling bunganya.
Tak menunggu lama, pintu segera terbuka. Tampak sesosok perempuan setengah baya, berwajah oriental, bermata sipit, sedang tersenyum ramah ada dihadapan Ben.
“Mau cari siapa mas?” tanya perempuan berkulit kuning langsat dan berambut pendek sebatas leher itu.
“Em, em, anu bu, anu...”Ben gagap, melihat perempuan bersuara lembut di depannya.
Jauh dari perkiraan Ben, yang menyangka ibu Yerekim adalah sosok tua renta yang berjalan yang tertatih dengan tongkat ditangan.
Justru, yang ada dihadapan Ben, walau sudah setengah baya, ibu Yerekim masih keliatan jelas gurat kecantikannya. Apalagi wajah itu selalu dihiasi senyuman ramah. (uhuuuyyy...air laut siapa yang garem in sih...)
“Mohon maaf, saya sudah menggangu ketenangan ibu. Nama saya Ben, saya sedang mencari Putri Jempol, apakah ibu kenal atau tahu?” tanya Ben setelah menguasai perasaan gugupnya.
“Putri Jempol?” ibu Yerekim kembali menegaskan sambil tetap tersenyum manis.
Duh, melihat senyum itu, sukma Ben langsung terasa melayang ke awang awang. Hilang sudah bayangan Cinta sang gadis impiannya...
“Iiii... iya, iya Putri Jempol, bu...” saking gugupnya, membuat Ben hampir lupa menjawab.