Mohon tunggu...
Miftahus Sangadah
Miftahus Sangadah Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang novel

Alumni IAINU Kebumen. Pengarang novel Perempuan di Embun Pagi. Tertarik baca buku setelah menemukan buku bagus Islam Doktrin dan Peradaban, Nur Cholis Madjid.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Baru Mashud

29 Oktober 2024   05:30 Diperbarui: 29 Oktober 2024   07:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juni, 2002. Maftuh, pemuda dengan ciri fisik tinggi, berhidung mancung, kembali ke kampung halaman setelah 4 tahun merantau ke Negeri Jiran.

Wajahnya berbinar bahagia, cerah, ceria. Saatnya telah datang. Menepati janji bersama teman karibnya, Mashud.

Mereka berteman sejak kecil. Duduk sebangku dari SD, SMP, sampai SMK. Persahabatan mereka begitu lekat. Jika ke mana-mana selalu berdua. Sekolah, mengaji, menggembala sapi, main bola dan catur. Para tetangga selalu mengatakan, di mana ada Maftuh di sana ada Mashud. Atau sebaliknya. Orang-orang iseng menamai mereka berdua dengan singkatan 2 M. Maftuh Mashud.

Dua pemuda itu tidak memiliki hubungan darah, namun secara spirit kedekatan mereka melebihi saudara. Berdua memiliki semangat dan cita-cita yang sama. Ingin kuliah di perguruan tinggi yang sama, mengambil program studi yang sama pula. Sama-sama ingin menjadi insinyur, terinspirasi kisah Si Doel Anak Sekolahan. Betapa membanggakannya anak desa menjadi insinyur. Begitulah bayangan dua pemuda itu.

Sayangnya, baik Maftuh maupun Mashud sama-sama berasal dari keluarga pas-pasan. Keluarga mereka memutar otak untuk dapat membiayai sekolah selama 12 tahun. Jika ingin kuliah tentulah perlu mencari uang sendiri dan mengumpulkannya dulu.

Lalu setamat SMK Maftuh langsung bekerja di luar negeri disalurkan pihak sekolah. Sementara Mashud memilih kerja di Jakarta karena tak diizinkan Ibu bekerja di luar negeri. Dengan berat hati mereka berdua harus berpisah untuk pertama kali. Berdua akan merindukan masa-masa berangkat sekolah bareng, mengaji bareng, main bola dan catur, kangen menggembala juga. Sebelum berangkat merantau mereka berjanji akan daftar bareng ke perguruan tinggi yang telah mereka incar.

Pukul 08.00.

Maftuh sampai di rumah. Keluarganya menyambut gembira penuh haru. Ibu sampai berlinang air mata.

"Alhamdulillah, Nak, akhirnya kamu pulang setelah sekian lama merantau di negeri orang"

Anak dan Ibu berpelukan melepas rindu berat di saksikan Bapak, Kakak, Adik.

"Alhamdulillah, aku senang sekeluarga sehat" ucap Maftuh.

"Di sana kau makan tiga kali sehari, kan?" tanya Ibu begitu melepas pelukan.

"Ibu bisa melihat dari badanku" jawab Maftuh dengan karakternya yang santai, senang bercanda.

Semuanya tersenyum. Tampaknya dia tak kurang makan meski harus menabung untuk kuliah dan sebagian dikirim ke rumah.

"Lanjutkan cinta-cintamu, Nak" dukung Bapak, menepuk pundak putranya.

Maftuh mengangguk dengan wajah penuh senyum. Ia segera teringat satu orang yang amat dirindukan. Mashud. Ia tak sabar ingin segera menemuinya.

"Oh iya, Mashud sudah pulang dari Jakarta, kan?"

"Tidak tahu." Jawab si Adik. "Mashud dan kedua orangnya pindah ke kota. Mas tidak tahu?"

"Tiga bulan terakhir ini kita belum komunikasi lagi. Apa alasan mereka pindah ke kota?"

"Bapaknya Mashud dapat warisan sawah dari orang tuanya. Jadi rumah yang di sini dijual untuk beli rumah di sana."

Maftuh kecewa. Mashud meninggalkan tanah kelahiran, pergi begitu saja tanpa memberi kabar. Sungguh tak menyangka dia sedingin itu. Tetapi meski begitu Maftuh meminta alamat rumah baru Mashud.

Keesokan harinya ia menaiki motor melintasi jalan utama yang setiap orang di desa itu lewati untuk ke mana saja: sawah, sekolah, pasar. Terkenang dulu menapaki jalan sepanjang dua kilo meter ke sekolah SD dengan jalan kaki.

Saat motor itu sampai di sekolah SD, laki-laki berusia 21 tahun itu berhenti sejenak, bernostalgia. Tidak ada yang berubah kecuali renovasi gedung yang dulu retak-retak jadi lebih kokoh, tembok dicat lebih terang. Di halaman sekolah itu ia bersama Mashud serta teman-teman bermain sepak bola. Mereka berdua mulai senang bola setelah mengidolakan Zinedine Zidane. Sungguh menyenangkan mengenang kala itu.

Setelah berkilo-kilo meter Maftuh tempuh selama hampir lima puluh menit akhirnya sampai di jalan yang akan mengantarkan ke alamat rumah baru Mashud.

Di jalan setapak di tengah sawah ada sosok lelaki tengah duduk di atas batu di pinggir parit. Maftuh merasa tak asing meski tampak punggung saja. Ia hentikan laju kendaraannya. Lalu menyapa tanpa ragu.

"Hay, kawan!"

Sosok tinggi kecil duduk di atas batu itu menoleh. Segera mereka bertukar senyum. Maftuh bergegas meninggalkan motor, melangkah panjang menghampiri sahabat yang amat dirindukannya. Sementara Mashud berdiri menyambut langkah Maftuh. Kemudian berpelukan erat.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Maftuh sambil memandang wajah Mashud yang tampak kurang sehat.

Mashud tersenyum. Alih-alih menjawab ia balik tanya. "Kamu sehat kan?"

Maftuh mengangguk. "Aku sudah mendengar kenapa kamu sekeluarga pindah ke sini. Tapi kenapa kamu tidak mengabariku?"

Mashud memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. "Aku menyesal lupa mengabarimu."

"Tidak apa-apa. Toh akhirnya kita ketemu sekarang."

Mashud mengangguk lemah. Maftuh mengamati wajahnya.

Kamu sakit, Hud?"

Mashud tersenyum. Lalu memandang sang sahabat dengan tatapan sedikit kabur. "Jika aku sakit, itu karena merindukan masa-masa kita kecil dulu."

Maftuh tersenyum. Ia juga merindukan masa-masa itu.

"Kita akan daftar kuliah bareng kan. Kamu sudah siapkan berkas untuk mendaftar besok?" tanya Maftuh bersemangat.

Mashud menatap sedih lawan bicara. "Maftuh, aku sudah tidak bekerja lagi karena kontraknya sudah selesai. Tabungan kuliah sudah kuberikan keluarga."

"Aku yang bayar untuk pendaftarannya. Nanti kamu bisa sambil kerja untuk biaya kuliah. Aku bantu kamu cari pekerjaan sampai dapat. Ingat janji yang kita buat. Ayolah"

Mashud kembali menatap Maftuh. "Tidak bisa."

Maftuh kecewa berat.

"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu sampai berubah pikiran?"

Bukan menjawab pertanyaan sahabatnya, Mashud berkata. "Ayo ke rumahku"

Maftuh hanya menurut. Berdua berjalan meninggalkan parit. Di tengah langkah pelan mereka, Mashud berkata.

"Meski aku tidak bisa melanjutkan cita-cita seperti yang kita rencanakan dulu, aku harap kamu tetap melanjutkannya. Jika aku tidak bisa melanjutkan karena satu alasan, kamu dengan alasan lain bisa mencapainya. Maka perjuangkan. Apa pun yang terjadi jangan patah semangat. Aku akan selalu menemanimu."

Maftuh membisu. Hatinya amat sedih. Mashud seperti bersikeras meyakinkannya bahwa dia benar-benar tidak akan kuliah.

Motor meluncur melewati jalan setapak hingga tiba di rumah leter el.

Maftuh disambut kedua orang tua Mashud yang kebetulan sedang duduk di beranda rumah dengan senyum sendu.

"Sini, Maftuh" ucap perempuan paruh baya.

Maftuh yang masih duduk di atas motor tersenyum. "Ya, Bu"

Dia segera turun dari motor. Lalu kaget ketika tak ada Mashud di sisinya. Curiga jangan-jangan Mashud belum sempat naik motor, ia tak sengaja meninggalkannya. Kejadian seperti itu pernah beberapa kali terjadi sewaktu sekolah SMK.

"Sebentar, Bu, Pak, Mashud ketinggalan di belakang"

Kedua orang tua itu tertegun. Kemudian pria jangkung mengatakan.

"Sudah, tidak apa-apa. Masuk saja dulu. Kamu kan capek"

Maftuh segera beranjak menemui kedua orang tua sahabatnya sambil memperhitungkan jarak jalan setapak yang dilewati tadi kurang dari seratus meter jadi mungkin tidak lama Mashud akan sampai rumah dengan jalan kaki.

Sampai di ruang tamu Maftuh dan pria jangkung itu duduk di kursi kayu, sementara perempuan bergelung rambut menuju sebuah kamar.

Pria jangkung yang dari matanya terlihat lelah mengatakan.

"Kalian berdua sudah berjanji ingin kuliah bareng setelah mengumpulkan uang. Tapi Mashud tidak bisa kuliah." Ucap beliau dengan raut putus asa.

"Tadi Mashud juga mengatakan seperti itu." Ucap Maftuh menatap wajah lawan bicara penasaran. "Maaf, Pak, kalau boleh tahu, apa alasannya?"

Bukan jawaban didapat, Maftuh dibuat bingung dengan sikap beliau yang tiba-tiba seperti orang bisu. Hingga kemudian Ibu keluar dari kamar membawa dua buku tebal-tebal. Benda itu di taruh meja depan Maftuh. Anak muda itu semakin bingung.

"Nak. Mashud sudah meninggal tujuh hari yang lalu. Dia menderita sakit ginjal. Ucap Ibu dengan suara bergetar.

Betapa terkejut Maftuh mendengarnya. Tapi ia tak mau mempercayai itu. Karena masih terasa pelukan erat Mashud belum lama tadi. Suaranya, tatapannya, keberadaannya. Itu semua benar-benar nyata.

"Tidak mungkin, Bu. Dia masih hidup. Saya bertemu tadi"

Pria jangkung di sebelah Maftuh menutup mukanya dengan satu tangan, pundaknya berguncang. Sementara perempuan itu terisak.

"Benar, Nak. Dia sudah meninggal. Yang menemuimu tadi mungkin kerinduan dia yang mewujud sosoknya" jawab Bapak almarhum Mashud sambil menyeka air mata.

"Sebelum meninggal Mashud berpesan buku ini agar diberikan ke Maftuh, katanya ini Kana berguna saat kuliah." Sambung Ibu.

Tangis Maftuh pecah, terisak-isak. Amat sedih dan kehilangan. Tak pernah menyangka akan secepat ini mereka berpisah. Selama ini membayangkan ia dan Mashud akan berjuang dan sukses bareng. Menjalani persahabatan sampai kakek-kakek.

Tak lama setelah itu Maftuh pergi ke makan Mashud. Ia memandangi gundukan tanah yang masih basah dengan linangan air mata.

"Apakah ini maksudnya yang kau katakan kontrakmu sudah selesai dan kau tidak bisa melanjutkan kuliah karena suatu alasan?"

Usai tangis reda, mengirim doa untuk sang sahabat. Lalu berkata sebelum meninggalkan rumah baru Mashud.

"Mungkin ragamu telah tertanam di bumi. Tapi semangat dan cita-citamu selalu ada bersamaku. Selamat tidur, Kawan." "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun