Saat motor itu sampai di sekolah SD, laki-laki berusia 21 tahun itu berhenti sejenak, bernostalgia. Tidak ada yang berubah kecuali renovasi gedung yang dulu retak-retak jadi lebih kokoh, tembok dicat lebih terang. Di halaman sekolah itu ia bersama Mashud serta teman-teman bermain sepak bola. Mereka berdua mulai senang bola setelah mengidolakan Zinedine Zidane. Sungguh menyenangkan mengenang kala itu.
Setelah berkilo-kilo meter Maftuh tempuh selama hampir lima puluh menit akhirnya sampai di jalan yang akan mengantarkan ke alamat rumah baru Mashud.
Di jalan setapak di tengah sawah ada sosok lelaki tengah duduk di atas batu di pinggir parit. Maftuh merasa tak asing meski tampak punggung saja. Ia hentikan laju kendaraannya. Lalu menyapa tanpa ragu.
"Hay, kawan!"
Sosok tinggi kecil duduk di atas batu itu menoleh. Segera mereka bertukar senyum. Maftuh bergegas meninggalkan motor, melangkah panjang menghampiri sahabat yang amat dirindukannya. Sementara Mashud berdiri menyambut langkah Maftuh. Kemudian berpelukan erat.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Maftuh sambil memandang wajah Mashud yang tampak kurang sehat.
Mashud tersenyum. Alih-alih menjawab ia balik tanya. "Kamu sehat kan?"
Maftuh mengangguk. "Aku sudah mendengar kenapa kamu sekeluarga pindah ke sini. Tapi kenapa kamu tidak mengabariku?"
Mashud memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. "Aku menyesal lupa mengabarimu."
"Tidak apa-apa. Toh akhirnya kita ketemu sekarang."
Mashud mengangguk lemah. Maftuh mengamati wajahnya.