Sampai di ruang tamu Maftuh dan pria jangkung itu duduk di kursi kayu, sementara perempuan bergelung rambut menuju sebuah kamar.
Pria jangkung yang dari matanya terlihat lelah mengatakan.
"Kalian berdua sudah berjanji ingin kuliah bareng setelah mengumpulkan uang. Tapi Mashud tidak bisa kuliah." Ucap beliau dengan raut putus asa.
"Tadi Mashud juga mengatakan seperti itu." Ucap Maftuh menatap wajah lawan bicara penasaran. "Maaf, Pak, kalau boleh tahu, apa alasannya?"
Bukan jawaban didapat, Maftuh dibuat bingung dengan sikap beliau yang tiba-tiba seperti orang bisu. Hingga kemudian Ibu keluar dari kamar membawa dua buku tebal-tebal. Benda itu di taruh meja depan Maftuh. Anak muda itu semakin bingung.
"Nak. Mashud sudah meninggal tujuh hari yang lalu. Dia menderita sakit ginjal. Ucap Ibu dengan suara bergetar.
Betapa terkejut Maftuh mendengarnya. Tapi ia tak mau mempercayai itu. Karena masih terasa pelukan erat Mashud belum lama tadi. Suaranya, tatapannya, keberadaannya. Itu semua benar-benar nyata.
"Tidak mungkin, Bu. Dia masih hidup. Saya bertemu tadi"
Pria jangkung di sebelah Maftuh menutup mukanya dengan satu tangan, pundaknya berguncang. Sementara perempuan itu terisak.
"Benar, Nak. Dia sudah meninggal. Yang menemuimu tadi mungkin kerinduan dia yang mewujud sosoknya" jawab Bapak almarhum Mashud sambil menyeka air mata.
"Sebelum meninggal Mashud berpesan buku ini agar diberikan ke Maftuh, katanya ini Kana berguna saat kuliah." Sambung Ibu.