"Katanya tetap mau pakai pawon yang bahan bakarnya gratis? Cukup pakai kayu saja."
"Saya tetap pake pawon. Kompor dan gasnya nanti dijual juga laku to ya?"
"Bakalan tutup nih usaha pawonnya?"
"Saya gak tahu, Bu."
Dua bulan sejak warga menerima gas, selama itu pula Warni tak berhasil menjual sebiji pun pawonnya. Sugeng  yang kadang berjualan kayu bakar kini juga makin terdiam menganggur.
"Kita akan makan apa, Pak?"
"Makan nasi lah, Buk. Mosok mangan pawon."
Sugeng mencari cara agar pawonnya tetap ngebul. Ia bekerja sebagai buruh panen padi. Sedangkan Warni masih saja membuat pawon. Cemoohan tetangga tak dihiraukannya. Para tetangga menjulukinya perempuan yang kurang kerjaan. Siapa yang akan membeli pawonnya jika semua orang sudah menggunakan kompor gas? Dengan beberapa lembar ribu warga bisa beli gas isi ulang. Warga tak perlu repot-repot mencari kayu bakar. Mata mereka sekarang juga tak pedih tertabrak asap pembakaran. Waktu memasak juga lebih cepat dan santai. Setelah memasak mereka bisa berlama-lama menonton sinetron dan tayangan infotainment di televisi, sehabis lelah bekerja di sawah.
Juwarni masih mengeruk padas dan membuat pawon. Berpeluh ia sepanjang hari tanpa memikirkan omongan orang.
"Jenengku Juwarni. Aku dilahirkan menjadi pembuat pawon."
Ia tak habis pikir dengan kemauan pemerintah yang memaksakan rakyatnya memakai gas. Untuk daerah perkotaan mungkin kebijakan itu tepat, tapi kalau di pedesaan, apa itu namanya tidak termasuk pemaksaan?Â