Rabu 15 April itu sangat cerah. Alam menunaikan tugasnya seperti biasa, angin menghembuskan dahan-dahan, matahari menghangatkan sore, dan burung-burung cukup cerewet memberi pesan jika sebentar lagi langit menjemput senja.
Namun bunyi telepon di seberang sana seolah membuat kacau tugas-tugas alam. Sore malas merangkak menjadi malam, kicauan burung membuat bising dan meneror telinga, dan senja makin menampakkan kemurungannya.
"ibu harus dirujuk ke rumah sakit," bunyi dari seberang telepon itu menjadi perintah jika aku harus cepat menutup laptop dan mengakhiri pekerjaanku. Ingin rasanya aku meringkus jarak yang terbentang dari Surabaya menuju sebuah kota kecil di Jawa Tengah agar lekas sampai di kota di mana Kartini disemayamkan itu. Â
Kondisi jalan yang seperti kerumunan semut menyerbu bangkai cicak memperlambat laju jalan kendaraan umum yang saya tumpangi. Ingin rasanya turun dan memaki deretan mobil-mobil keluaran terbaru dengan satu-dua penumpang di dalamnya yang membuat sesak jalanan kota seribu pahlawan ini. Â
Ya, kota di mana saja tak segan menampakkan wajah aslinya, santun dan bengis dalam waktu bersamaan, dan itu bisa dilihat dari kondisi jalan rayanya. Lampu traffic light, jalur khusus roda dua, hingga garis lurus bercorak putih kadang tak ada artinya, semua ditrabas semua ditebas.
Ah, lamunanku tentang kota dan kehidupan yang mengikutinya sekilas membuyarkan ingatanku tentang ibu yang sedang dirawat di rumah sakit. Bus yang saya tumpangi akhirnya bisa keluar dari kota. Kendaraan melaju dengan tenang, sopir bebas bermanuver, kadang zigzag. Kondisi jalur pantura selepas pukul sembilan malam seketika menjadi sirkuit Monte Carlo. Semua kendaraan saling berpacu.
Empat jam perjalanan tak sedikit pun bisa terlelap, semua pikiran terbawa ke rumah sakit. Akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, saya tiba di rumah sakit. Layaknya kondisi rumah sakit milik pemerintah, sunyi dan murung banyak menghiasi setiap sudutnya.
Inilah waktu yang saya tunggu, bertemu dengan pujaan hati, belahan jiwa yang dari rahimnya aku besar dan bertumbuh: ibu. Pada sebuah ruang kamar kelas dua saya masuk, di depanku ibuku sedang terlelap dengan infus di tangan kanan, dan kipas di tangan kiri yang dengannya diusir hawa panas khas rumah sakit dengan kelas murah. Â
Sebelum mencium tangannya, saya pandangi wajahnya barang 1 menit. Wajahnya tenang tak tergesa, aura kesahajaannya makin tebal setelah 56 tahun banyak berkalang dengan urusan ketiga putra putrinya dan semua yang terkait rumah tangga.
Kehadiranku ternyata mampu membangunkannya, aku yakin ada ikatan emosional tak tertulis jika darah dagingnya menemuinya hingga membuat terbangun.
"lho sudah datang" sapa ibuku dengan suara agak serak.Â
"Jam berapa dari Surabaya" tambahnya membuka obrolan.Â
Obrolan hangat saling bersahutan, hingga akhirnya ibu menyuruhku tidur di sampingnya. Dengan kondisi kasur yang sempit aku menandaskan malam itu dengan nyeyak, seperti seorang bayi yang ditunggui ibunya.
Hari kedua dokter mengabarkan jika kondisi kurang stabil. Dan tepat pukul Sembilan malam peristiwa paling sentimental aku alami untuk pertama kalinya.
"Hasil test rapid pasien reaktif, dari hasil lab bisa saja virus karena demam berdarah, atau corona, jadi harus diisolasi" pukulan mematikan menghantam pikiranku bertubi-tubi.
Saya mencoba melobi jika tak perlu isolasi, pertama tentu hasil tes rapid tak bisa dijadikan alasan isolasi. Terlebih banyak kabar jika rapid test tak akurat, bukan penentu isolasi. Kenapa tak ada swab.
"ya ini antisipasi saja"
tapi tak ada alternatif lain.
Debat kecil terjadi antara saya dan dokter. Ibu adalah ibu rumah tangga, tak pernah keluar ke mana. Dan bertahun-tahun sebelumnya juga punya riwayat asma. Dokter bersikukuh, dan memaksa harus isolasi.
Segala yang aku tahu kukerahkan, tapi yang namanya rumah sakit punya otoritas memaksa sebagaimana negara, tak peduli kamu setuju atau tidak, tak peduli bagaimana kondisi psikologi pasien. Aturan ya aturan, titik.
Saya akhirnya tunduk aturan medis itu, tak kuasa menolak, namun saya mengajukan syarat:
"Saya harus ikut nemani ibu" sergah saya.
"Pasien tidak boleh ditemani" bantah dokter.
"Saya tak mungkin tega membiarkan ibu sendirian dengan kondisi ini, bagaimana kalau mau ke toilet, siapa yang membantu?" tanyaku melontarkan logika sederhana.
Dokter bersikukuh kalau ada petugas yang menjaga, tapi saya tak percaya dan tak mungkin ada 24 jam di sampingnya. Saya tetap memaksa.Â
"Tapi Anda berpotensi tertular jika ada corona" kata dokter.
"Saya siap dengan segala risiko, bahkan nyawa sekalipun".
Sikapku itu akhirnya melunakkan dokter dan mengizinkan saya menemani. Total ada 12 hari kami di ruang isolasi.
Sepekan pertama ibukku makin sehat, kami banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol. Sesekali kami saling menebarkan pandang ke jendela, karena itulah satu-satunya akses kami bisa melihat pemandangan di luar ruang isolasi.
Kegiatan di ruang isolasi, selepas salat ibu membaca alquran, sebuah kitab yang dikirim kakakku. Kami selalu jamaah dan saya adalah imamnya. Selama 17 tahun kuliah hingga merantau inilah pertama kalinya bisa lama dengan ibu, berdua saja.
Ibu mulai kangen rumah, ingin puasa di rumah, ingin ketemu bapak, ingin ketemu cucunya, ingin mengobrol dengan tetangga. Namun harapan itu harus dipendam dulu.
Sepekan di ruang isolasi, bulan Ramadhan menyapa, hari-hari paling indah di kampung halaman saat bulan puasa tak kami rasakan. Saya berusaha menikmati kondisi ini, sering saya suapi ibu untuk makan, cerita tentang masa kecil, kami tertawa bersama.
Dan... pada seperempat malam ibu membangunkanku untuk sahur. Namun hari itu tak biasa, ibu menggigil, saya memeluknya erat-erat, sangat erat. Bahkan Kasur ikut terguncang tak kuat menahan gigilan.
Setelah itu, kondisi terus menurun, sering dihabiskan dengan mengganti infus. Komunikasi mulai berkurang, ibu lebih sering tertidur bahkan sering tak sadar. Saat kondisi itu aku sering menguatkan ibu jika aku nanti akan sering mudik, dua minggu sekali menengok ibu. Aku juga sering bilang kita akan pulang dan merayakan bulan puasa di rumah.
Namun nihil, kondisinya terus menurun. Diam-diam aku sering mencium ibu, aku pijit, bahkan aku cium kakinya.
"sekarang kerjaku dekat, di Surabaya, tidak di Bali lagi, sehat ya, sehat, aku akan lebih sering pulang, aku masih butuh ibu, Sabda cucumu sudah mulai besar, tambah lucu, dia perlu neneknya," kata-kata itu sering aku bisikkan.
Doa tak pernah berhenti kuucap, hingga datang telepon dari dokter mengabarkan hasil swab dua kali negative dan ibu kena demam berdarah.
Saya lega karena tak ada corona atau lebih tepatnya diduga corona yang diucapkan paramedis. Tapi aku masih bertanya-tanya apa pengobatan untuk demam berdarah sudah dilakukan? Karena selama ini standar yang digunakan adalah pasien corona. Kenapa selama 12 hari aku juga tak ikut dites corona padahal ibu diduga corona? Kalau tidak corona kenapa diisolasi? Pertanyaan ini kelak membuat kepercayaanku pada rumah sakit ini berkurang.
Ibu akhirnya bisa pindah ruangan pada 26 April pagi. Namun ibu tak kunjung membaik. Waktu beranjak ke magrib, saya pamitan solat ke luar ruangan, dan ibu mengangguk. Saat saya Kembali kondisinya kritis.
Seperti tak ada tenaga, saya lemas melihat ini semua. Itulah pertama kali saya lihat bapak menangis. Kami tuntun ibu menyebut nama Sang Maha Kasih Sayang, dan ibu masih bisa mengikuti dengan fasih menyebut nama-Nya.
Beberapa kali saya peluk, saya cium seperti anak kecil, saya duduk di sampingnya memandangi wajahnya. Setelah berjuang, ternyata Sang Khaliq lebih sayang ibuku. Itulah wajah terakhir yang bisa saya pandang, saya peluk. Ibu yang bibirnya selalu basah dengan doa-doa untuk anaknya itu tak ada lagi, selamanya. Ia pamitan.
***
Empat bulan berlalu.....
Hari-hari tanpa ibu tentunya tak bisa dibayangkan terlebih bagi perantau, karena kebahagiaan terbesar seorang perantau adalah pulang dan bertemu dengan keluarga dan yang paling istimewa tentunya ibu.
Rumah tanpa ibu bagaimanapun kondisinya akan terasa hampa. Hanya tumpukan baju, dan sedikit foto yang bisa kulihat sekadar obat penawar dan bukan menyembuhkan kerinduan. Tak jarang saya selalu membuka lemarinya, dan pada sebuah waktu ku ambil baju hijau yang sering dipakainya.
Baju ini adalah baju terakhir saat menemui saya sebelum ibu sakit. Entah baju dari siapa, baju ini pula yang saya suka ketika ibu mengenakannya, saya merasa begitu dekat dengannya ketika melihat baju ini.
Saat saya rindu, saya melihatnya tanpa pernah sekalipun membuka lipatannya, hanya melihat. Hingga pada suatu siang saya ingin membuka lipatannya sekadar melihatnya. Saya baru tahu ternyata dalam lipatan ini ada sehelai rambut ibu yang tertinggal di sana. Â
Sehelai rambut yang mulai memutih mengingatkan semua...Â
Rindu itu pun akhirnya datang menyergap, dan malas untuk pergi, kilas balik masa kecil menyambut aku sepulang sekolah, melepas aku untuk kuliah, hingga mencium tangannya saat pamitan kerja muncul tiba-tiba. Indah membayangkan itu semua, namun hanya sebatas bayangan. Sehelai rambut yang tertinggal itu seolah membuat patah hati.
Benar kata para pujangga, patah hati terbesar adalah saat kita merindukan ibu dan dia sudah tiada.Â
Izikan saya menutup tulisan ini dengan penggalan puisi karya Zawawi Imron.
"kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan,
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu".
Selamat Hari Ibu untuk semua.....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI