Dan... pada seperempat malam ibu membangunkanku untuk sahur. Namun hari itu tak biasa, ibu menggigil, saya memeluknya erat-erat, sangat erat. Bahkan Kasur ikut terguncang tak kuat menahan gigilan.
Setelah itu, kondisi terus menurun, sering dihabiskan dengan mengganti infus. Komunikasi mulai berkurang, ibu lebih sering tertidur bahkan sering tak sadar. Saat kondisi itu aku sering menguatkan ibu jika aku nanti akan sering mudik, dua minggu sekali menengok ibu. Aku juga sering bilang kita akan pulang dan merayakan bulan puasa di rumah.
Namun nihil, kondisinya terus menurun. Diam-diam aku sering mencium ibu, aku pijit, bahkan aku cium kakinya.
"sekarang kerjaku dekat, di Surabaya, tidak di Bali lagi, sehat ya, sehat, aku akan lebih sering pulang, aku masih butuh ibu, Sabda cucumu sudah mulai besar, tambah lucu, dia perlu neneknya," kata-kata itu sering aku bisikkan.
Doa tak pernah berhenti kuucap, hingga datang telepon dari dokter mengabarkan hasil swab dua kali negative dan ibu kena demam berdarah.
Saya lega karena tak ada corona atau lebih tepatnya diduga corona yang diucapkan paramedis. Tapi aku masih bertanya-tanya apa pengobatan untuk demam berdarah sudah dilakukan? Karena selama ini standar yang digunakan adalah pasien corona. Kenapa selama 12 hari aku juga tak ikut dites corona padahal ibu diduga corona? Kalau tidak corona kenapa diisolasi? Pertanyaan ini kelak membuat kepercayaanku pada rumah sakit ini berkurang.
Ibu akhirnya bisa pindah ruangan pada 26 April pagi. Namun ibu tak kunjung membaik. Waktu beranjak ke magrib, saya pamitan solat ke luar ruangan, dan ibu mengangguk. Saat saya Kembali kondisinya kritis.
Seperti tak ada tenaga, saya lemas melihat ini semua. Itulah pertama kali saya lihat bapak menangis. Kami tuntun ibu menyebut nama Sang Maha Kasih Sayang, dan ibu masih bisa mengikuti dengan fasih menyebut nama-Nya.
Beberapa kali saya peluk, saya cium seperti anak kecil, saya duduk di sampingnya memandangi wajahnya. Setelah berjuang, ternyata Sang Khaliq lebih sayang ibuku. Itulah wajah terakhir yang bisa saya pandang, saya peluk. Ibu yang bibirnya selalu basah dengan doa-doa untuk anaknya itu tak ada lagi, selamanya. Ia pamitan.
***
Empat bulan berlalu.....