Hari-hari tanpa ibu tentunya tak bisa dibayangkan terlebih bagi perantau, karena kebahagiaan terbesar seorang perantau adalah pulang dan bertemu dengan keluarga dan yang paling istimewa tentunya ibu.
Rumah tanpa ibu bagaimanapun kondisinya akan terasa hampa. Hanya tumpukan baju, dan sedikit foto yang bisa kulihat sekadar obat penawar dan bukan menyembuhkan kerinduan. Tak jarang saya selalu membuka lemarinya, dan pada sebuah waktu ku ambil baju hijau yang sering dipakainya.
Baju ini adalah baju terakhir saat menemui saya sebelum ibu sakit. Entah baju dari siapa, baju ini pula yang saya suka ketika ibu mengenakannya, saya merasa begitu dekat dengannya ketika melihat baju ini.
Saat saya rindu, saya melihatnya tanpa pernah sekalipun membuka lipatannya, hanya melihat. Hingga pada suatu siang saya ingin membuka lipatannya sekadar melihatnya. Saya baru tahu ternyata dalam lipatan ini ada sehelai rambut ibu yang tertinggal di sana. Â
Sehelai rambut yang mulai memutih mengingatkan semua...Â
Rindu itu pun akhirnya datang menyergap, dan malas untuk pergi, kilas balik masa kecil menyambut aku sepulang sekolah, melepas aku untuk kuliah, hingga mencium tangannya saat pamitan kerja muncul tiba-tiba. Indah membayangkan itu semua, namun hanya sebatas bayangan. Sehelai rambut yang tertinggal itu seolah membuat patah hati.
Benar kata para pujangga, patah hati terbesar adalah saat kita merindukan ibu dan dia sudah tiada.Â
Izikan saya menutup tulisan ini dengan penggalan puisi karya Zawawi Imron.
"kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan,
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu".
Selamat Hari Ibu untuk semua.....