"Saya harus ikut nemani ibu" sergah saya.
"Pasien tidak boleh ditemani" bantah dokter.
"Saya tak mungkin tega membiarkan ibu sendirian dengan kondisi ini, bagaimana kalau mau ke toilet, siapa yang membantu?" tanyaku melontarkan logika sederhana.
Dokter bersikukuh kalau ada petugas yang menjaga, tapi saya tak percaya dan tak mungkin ada 24 jam di sampingnya. Saya tetap memaksa.Â
"Tapi Anda berpotensi tertular jika ada corona" kata dokter.
"Saya siap dengan segala risiko, bahkan nyawa sekalipun".
Sikapku itu akhirnya melunakkan dokter dan mengizinkan saya menemani. Total ada 12 hari kami di ruang isolasi.
Sepekan pertama ibukku makin sehat, kami banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol. Sesekali kami saling menebarkan pandang ke jendela, karena itulah satu-satunya akses kami bisa melihat pemandangan di luar ruang isolasi.
Kegiatan di ruang isolasi, selepas salat ibu membaca alquran, sebuah kitab yang dikirim kakakku. Kami selalu jamaah dan saya adalah imamnya. Selama 17 tahun kuliah hingga merantau inilah pertama kalinya bisa lama dengan ibu, berdua saja.
Ibu mulai kangen rumah, ingin puasa di rumah, ingin ketemu bapak, ingin ketemu cucunya, ingin mengobrol dengan tetangga. Namun harapan itu harus dipendam dulu.
Sepekan di ruang isolasi, bulan Ramadhan menyapa, hari-hari paling indah di kampung halaman saat bulan puasa tak kami rasakan. Saya berusaha menikmati kondisi ini, sering saya suapi ibu untuk makan, cerita tentang masa kecil, kami tertawa bersama.