"lho sudah datang" sapa ibuku dengan suara agak serak.Â
"Jam berapa dari Surabaya" tambahnya membuka obrolan.Â
Obrolan hangat saling bersahutan, hingga akhirnya ibu menyuruhku tidur di sampingnya. Dengan kondisi kasur yang sempit aku menandaskan malam itu dengan nyeyak, seperti seorang bayi yang ditunggui ibunya.
Hari kedua dokter mengabarkan jika kondisi kurang stabil. Dan tepat pukul Sembilan malam peristiwa paling sentimental aku alami untuk pertama kalinya.
"Hasil test rapid pasien reaktif, dari hasil lab bisa saja virus karena demam berdarah, atau corona, jadi harus diisolasi" pukulan mematikan menghantam pikiranku bertubi-tubi.
Saya mencoba melobi jika tak perlu isolasi, pertama tentu hasil tes rapid tak bisa dijadikan alasan isolasi. Terlebih banyak kabar jika rapid test tak akurat, bukan penentu isolasi. Kenapa tak ada swab.
"ya ini antisipasi saja"
tapi tak ada alternatif lain.
Debat kecil terjadi antara saya dan dokter. Ibu adalah ibu rumah tangga, tak pernah keluar ke mana. Dan bertahun-tahun sebelumnya juga punya riwayat asma. Dokter bersikukuh, dan memaksa harus isolasi.
Segala yang aku tahu kukerahkan, tapi yang namanya rumah sakit punya otoritas memaksa sebagaimana negara, tak peduli kamu setuju atau tidak, tak peduli bagaimana kondisi psikologi pasien. Aturan ya aturan, titik.
Saya akhirnya tunduk aturan medis itu, tak kuasa menolak, namun saya mengajukan syarat: