Ternyata memang benar,itu bukan semata-mata candaan yang aku anggap biasa saja. Mereka mengolok-olok aku setiap hari. Mereka mengatakan hal-hal buruk setiap hari. Aku berpikir bahwa orang tuaku saja tidak pernah berkata buruk atau bahkan kasar kepadaku. Bohong jika aku berkata aku baik-baik saja saat itu. Aku menangis setiap pagi, setiap aku datang ke sekolah, itu seolah menjadi makananku setiap hari.
"Na, yang sabar ya. Ini bukan salah kamu kok." Ucap nurul sambil mengusap punggungku
"Udah ya nangisnya,biarkan mereka mengolok sepuasnya sampe mereka cape." Ucap Syifa kepadaku.
Tidak banyak orang yang menemani aku saat di masa-masa sulit itu. Tidak sedikit juga orang yang turut mengolok-olok aku. Rumit rasanya. Aku dihantui dengan rasa takut,dihantui juga dengan pertanyaan "apakah aku salah saat itu?." Aku tidak bisa bertindak apa-apa, aku tidak bisa kemana-mana. Keadaan menuntutku untuk sabar dan tetap diam di keadaan itu.
"Na, kamu pasti bisa. Kamu jangan pindah sekolah ya,kamu harus betah disini." Ucap Nurul, Syifa, dan Nida.
  Aku hanya manusia biasa. Aku bisa lelah, bisa cape, bisa menyerah dengan masa sulit yang aku alami. Bohong juga jika aku berbicara bahwa sabar itu ada batasnya. Orang sabar tidak akan pernah bicara mengenai sampai mana batas sabarnya. Tapi aku ya aku, ini Ana. Anak kelas 7 SMP yang harus dibully habis-habisan. Aku tahan segalanya selama kurang lebih 1 tahun. Apa itu masih kurang atau sudah lebih dari cukup atau bahkan keterlaluan?
  Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada orang tuaku tepat sebelum pelaksanaan Ujian Tengah Semester dengan syarat tidak boleh melapor ke pihak sekolah karena aku sendiri merasa kasihan kalau teman-temanku harus berurusan dengan pihak sekolah. Aku tidak ceritakan rinci mengenai seperti apa yang terjadi sebenarnya. Perlahan,aku bicara mengenai apa yang terjadi di sekolah. Tanpa aku sadari air mata jatuh sendirinya ketika aku mulai berbicara. Orang tua mana yang menginginkan anaknya bersedih? Orang tua mana yang tidak marah ketika anaknya dilukai? Seorang ayah seperti apa yang rela putri kecilnya menangis tersedu-sedu dilukai orang lain?
  Ayah dan Ibu hanya bilang sabar dan tidak perlu ditanggapi lagi orang-orang seperti mereka. Mungkin mereka menyarankan seperti itu karena mereka tidak pernah tau kejadian rincinya. Namun, aku sendiri sudah tidak kuat dengan sikap-sikap mereka.
"Na,Ibu dan Ayah sangat paham. Kami memang tidak pernah melakukan hal yang teman-teman kamu lakukan di sekolah. Namun,untuk saat ini yang perlu kamu lakukan cuma 1,yaitu sabar dulu. Nanti mereka tidak akan melakukan hal-hal buruk lagi kok."
  Aku yang bersikeras meminta untuk pindah sekolah saja semakin menangis mendengar jawaban kedua orang tuaku. Aku tidak setuju kalau aku tetap ada di kelas itu. Hal tersebut hanya akan membuatku semakin terluka dan tertekan saja.
  Tidak satu atau dua kali aku berbicara untuk pindah sekolah, tapi orang tuaku tidak pernah menggubrisnya. Mungkin mereka bisa mengatakan bahwa ini hanya permasalahan biasa di kalangan remaja.