Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Keempat)
"Danu bilang sama Ibu?"
"Seminggu yang lalu dia memukul temannya karena temannya bercanda mengatakan dia 'bego'. Danu dan temannya sudah saya damaikan dan ketika saya tanyakan apa alasannya memukul, dia bilang disebut bego itu menyakitkan. Waktu saya tanyakan siapa yang pernah menyebutnya seperti itu, Danu menjawab 'Papa'."
"Iya, suami saya bicara seperti itu ketika dia sedang marah. Saya juga ikut marah saat itu. Saya betul-betul kesal dan malu melihat nilai-nilai Danu. Kedua kakaknya selalu mendapat nilai yang bagus, Bu Reva. Enggak ada yang seperti Danu. Jadi saya ikut kesal dan marah seperti papanya."
"Lalu?"
"Danu diam ketika saya ikut marah. Setelah itu dia masuk ke kamar dan nggak mau keluar saat waktunya makan. Saya makin kesal waktu ada surat dari sekolah dan saat itu saya sedang ada di luar kota. Kakaknya cerita betapa nakalnya Danu di sekolah. Saya betul-betul marah. Danu semakin menjauh dari saya, Bu. Dia makin jarang bicara. Danu nggak pernah ngomong sama saya kalo nggak saya tanya. Kemarin waktu papanya sakit, saya ngerasa sedih waktu ngeliat dia ketiduran di kursi karena nungguin papanya. Dia dulu begitu dekat dengan saya."
Aku bangkit dari kursi dan duduk di sebelah Bu Teguh. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Segera kuberikan selembar tissu dan duduk di sebelahnya. Tanganku menepuk tangannya perlahan.
"Ibu tahu rasa sakitnya? Saya merasa kehilangan Danu, Bu. Dia dekat, tapi jauh. Danu seperti dengan sengaja menjaga jarak dari saya. Apalagi sama papanya. Tapi, waktu papanya sakit dia mau nungguin di rumah sakit. Cuma, tetep nggak banyak ngomong."
"Ibu pernah bicara dari hati ke hati sama Danu?"
"Danu selalu menghindar kalau saya dekati, Bu. Dia lebih sering menggeleng atau mengangguk kalau saya ajak bicara."
"Pernahkah Ibu secara spontan memeluk Danu?"