Mohon tunggu...
Metta Pratiwi
Metta Pratiwi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Metta Pratiwi atau yang akrab disapa Metta adalah seorang Psikolog, kelahiran 10 September 1976, yang aktif dalam dunia Pendidikan Anak Usia Dini. Ibu dengan dua orang anak yang menginjak usia remaja ini menyukai dunia literasi semenjak kecil. Membaca buku adalah kegemaran utamanya. Kini keinginannya yang terpendam untuk berkelana lebih jauh dalam dunia literasi mulai terealisasi. Beberapa buku antologi puisi, cagar budaya, cerita anak, teenlit, dan romance serta dua buku solo berjudul Love dan Perjalanan Hati telah berhasil diselesaikannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Ketiga)

25 Oktober 2022   10:17 Diperbarui: 25 Oktober 2022   10:27 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Ketiga)

"Danu, Ibu tanya kamu. Kenapa mukul Erwin?"

"Karena dia ..., dia bilang saya bego. Saya nggak suka dibilang bego!"

Erwin menatap Danu dengan tatapan heran lalu dia tersenyum lebar. Tangannya memukul bahu Danu perlahan.

"Yaelah, Nu. Gue, kan bercanda tadi. Masak lo anggep serius, sih."

Danu membuang pandangannya, aku melihat matanya sedikit memerah.

"Lain kali, kalau mau bercanda jangan keterlaluan, ya, Win," ucapku tegas.

"Iya, Bu. Saya enggak bermaksud seperti yang Danu pikir."

Aku mengangguk, lalu menepuk bahu Danu perlahan. "Baikan, Nu. Erwin juga sudah kena pukulan kamu tadi. Lain kali, kalau ada masalah, bicarakan dulu baik-baik. Jangan gampang mukul. Itu enggak baik."

Danu menatapku sesaat lalu mengangguk. Tangannya diulurkan dan Erwin menerimanya.

"Erwin, kamu boleh kembali ke kelas. Danu, kamu duduk dulu. Ada yang ingin Ibu bicarakan."

Erwin mengangguk lalu setelah mengucapkan salam, ia meninggalkan ruanganku. Setelah Erwin menutup pintu ruangan, kupandang wajah Danu. Wajahnya masih terlihat keruh, tapi tatap matanya sudah tidak sepedih tadi.

"Danu, apa yang membuat kamu begitu marah mendengar candaan Erwin tadi?"

"Saya enggak suka dibilang bego. Itu nyakitin!"

"Ada yang pernah bilang seperti itu ke kamu sebelumnya, Nu?"

Danu menunduk. Tangannya mengepal. Aku bangkit dari kursi dan duduk di sebelahnya, lalu kembali kutepuk bahunya lembut.

"Ada yang pernah nyakitin kamu dengan kata-kata itu, Nu?"

"Papa!"

"Papa?"

"Papa selalu bilang begitu kalo lihat rapor saya, Bu."

Aku menarik napas panjang, rasanya aku mulai paham.

"Mungkin maksud papamu nggak seperti itu. Mungkin, Papa ingin kamu belajar lebih rajin supaya nilaimu lebih meningkat, Nu."

"Ibu sama kayak Papa. Sama kayak Mama. Sama seperti semua orang yang lain!"

"Maksudnya?" tanyaku perlahan.

Danu menatapku sekilas lalu menunduk lagi. Rasanya ingin menggaruk rambutku yang tidak gatal ini. Aku merasa sudah salah bicara.

"Apa yang sama, Nu?"

"Nganggep saya males belajar!"

Rasanya seperti ada yang memukul telak perasaanku. Duh, aku sudah salah langkah. Aku berdeham sejenak kemudian kembali menatap wajahnya.

"Maaf kalau perkataan Ibu tadi salah, Nu. Ibu nggak bermaksud begitu. Coba, sekarang Danu ceritakan apa sebenarnya yang Danu rasain."

Danu menggeleng. "Nggak apa-apa, Bu. Enggak bakalan ada yang ngerti."

"Nggak bakalan ada yang ngerti kalau kamu nggak ngomong, Nu."

Danu menggeleng lagi. "Saya boleh masuk kelas, Bu?" tanyanya lirih.

Aku menghela napas panjang lalu mengangguk. Percuma bila pembicaraan ini diteruskan. Danu belum bisa membagi apa yang dirasakannya denganku.

Setelah Danu keluar dari ruangan, aku mulai membuka buku perkembangan siswa. Kucari nama Danu dan memperhatikan semua nilai yang tertera di sana. Nilai Danu memang cukup banyak yang berada di bawah rata-rata kelas. Dengan nilai seperti ini ditambah kelakuannya yang sering bermasalah, rasanya memang tak salah kalau Bu Ratna menyebut Danu sebagai paket lengkap.

Ada satu hal yang menggelitik perasaanku. Danu marah ketika dikatakan dia kurang giat belajar bahkan sampai memukul Erwin karena merasa hatinya sakit mendengar candaan Erwin yang mengatakan kalau dirinya 'bego'.

Rasanya, aku tahu apa yang harus dilakukan. Seminggu kemudian aku memberikan tes psikologis lengkap dan hasilnya membuat hatiku tercekat. Ada rasa pedih di dalam hati. Aku mulai menemukan benang merah dari semua masalah Danu. Sumber utama dari perilakunya yang bermasalah.

Benang merah itu semakin terlihat ketika ibu Danu tiba-tiba datang ke sekolah. Wajahnya yang sekilas mirip dengan Danu itu diantar Bu Ratna ke ruanganku.

"Silakan, Bu Teguh. Ini Bu Reva, psikolog yang bertugas di sini. Semoga bisa membantu Ibu dalam menangani Danu."

"Terima kasih, Bu Ratna," ucap wanita yang berdiri di hadapanku ini sambil mengangguk lalu menjabat tangan Bu Ratna dengan erat.

"Saya tinggal ya, Bu. Silakan, Bu Reva," ujar Bu Ratna sambil tersenyum lalu meninggalkan ruanganku.

Aku tersenyum lalu mempersilakan Bu Teguh untuk duduk. Dia mengangguk dan dari sikapnya, aku merasa beliau agak canggung.

"Maaf, Bu Reva. Saya baru bisa datang ke sekolah. Kemarin itu, saya betul-betul repot."

"Iya, Bu Teguh. Terima kasih sudah datang ke sekolah. Ada banyak hal yang ingin saya bahas tentang Danu. Bolehkah saya tahu tentang proses kehamilan Ibu, saat mengandung Danu?"

"Danu itu anak ketiga kami dan dibanding kedua kakaknya, proses kehamilan Danu memang paling berat. Kesehatan saya terganggu sejak awal kehamilan. Apalagi saat melahirkan, saya sempat merasakan sesak napas. Danu juga enggak menangis waktu dilahirkan. Dia lahir premature."

"Lalu, bagaimana perkembangan Danu setelah dilahirkan?"

"Danu sempat mengalami kejang-kejang waktu bayi, Bu. Dua kali, tapi setelah itu kesehatannya membaik. Tumbuh seperti anak-anak yang lain. Waktu kecil, Danu itu lucu. Dia kesayangan suami saya, mungkin karena kedua kakaknya perempuan. Apa pun keinginan Danu pasti dituruti sama papanya. Keadaan mulai berubah sejak Danu kelas enam SD. Dia jadi bandel. Sering melawan kalau dibilangin. Saya pusing, Bu, kalau udah ngomongin Danu."

"Danu biasanya lebih terbuka sama bapak atau dengan Ibu?"

"Dulu dia dekat sama saya, Bu. Sering ngobrol. Tapi, sekarang dia lebih suka diem di kamar. Dia marah sama saya."

"Marah kenapa, Bu?"

Bu Teguh menghela napas panjang. "Saya yang salah, Bu Reva. Saya membuat dia merasa sendiri."

Bu Teguh lalu menarik napas panjang. Aku bisa melihat, penyesalan itu tergambar di ekspresi wajahnya. Aku menunggu beberapa saat untuk melanjutkan pembicaraan hingga Bu Teguh terlihat sudah dapat mengontrol emosinya.

"Maksudnya bagaimana, Bu?"

"Danu itu sebenarnya anak baik, Bu. Dia dulu senang membantu saya di rumah. Sejak masuk masa puber, dia mulai berubah. Sering membantah, marah kalau ditegur. Puncaknya, sewaktu nilai hasil ujiannya keluar. Nilainya rata-rata enam, Bu. Danu marah ketika papanya bilang dia males belajar."

"Yang Ibu lakukan?"

"Saya marahi Danu, Bu. Ya, saya rasa yang dibilang suami saya benar. Kalau Danu lebih giat belajar, nilainya pasti lebih bagus. Apalagi setelah masuk ke SMP. Nilainya semakin berantakan. Papanya marah sekali waktu ngelihat nilai rapornya semester kemarin."

"Apa papanya menyebut Danu 'bego'?"

Bu Teguh langsung menatapku. Matanya terlihat terkejut.

~ Bersambung ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun