"Lalu, bagaimana perkembangan Danu setelah dilahirkan?"
"Danu sempat mengalami kejang-kejang waktu bayi, Bu. Dua kali, tapi setelah itu kesehatannya membaik. Tumbuh seperti anak-anak yang lain. Waktu kecil, Danu itu lucu. Dia kesayangan suami saya, mungkin karena kedua kakaknya perempuan. Apa pun keinginan Danu pasti dituruti sama papanya. Keadaan mulai berubah sejak Danu kelas enam SD. Dia jadi bandel. Sering melawan kalau dibilangin. Saya pusing, Bu, kalau udah ngomongin Danu."
"Danu biasanya lebih terbuka sama bapak atau dengan Ibu?"
"Dulu dia dekat sama saya, Bu. Sering ngobrol. Tapi, sekarang dia lebih suka diem di kamar. Dia marah sama saya."
"Marah kenapa, Bu?"
Bu Teguh menghela napas panjang. "Saya yang salah, Bu Reva. Saya membuat dia merasa sendiri."
Bu Teguh lalu menarik napas panjang. Aku bisa melihat, penyesalan itu tergambar di ekspresi wajahnya. Aku menunggu beberapa saat untuk melanjutkan pembicaraan hingga Bu Teguh terlihat sudah dapat mengontrol emosinya.
"Maksudnya bagaimana, Bu?"
"Danu itu sebenarnya anak baik, Bu. Dia dulu senang membantu saya di rumah. Sejak masuk masa puber, dia mulai berubah. Sering membantah, marah kalau ditegur. Puncaknya, sewaktu nilai hasil ujiannya keluar. Nilainya rata-rata enam, Bu. Danu marah ketika papanya bilang dia males belajar."
"Yang Ibu lakukan?"
"Saya marahi Danu, Bu. Ya, saya rasa yang dibilang suami saya benar. Kalau Danu lebih giat belajar, nilainya pasti lebih bagus. Apalagi setelah masuk ke SMP. Nilainya semakin berantakan. Papanya marah sekali waktu ngelihat nilai rapornya semester kemarin."