Setelah Danu keluar dari ruangan, aku mulai membuka buku perkembangan siswa. Kucari nama Danu dan memperhatikan semua nilai yang tertera di sana. Nilai Danu memang cukup banyak yang berada di bawah rata-rata kelas. Dengan nilai seperti ini ditambah kelakuannya yang sering bermasalah, rasanya memang tak salah kalau Bu Ratna menyebut Danu sebagai paket lengkap.
Ada satu hal yang menggelitik perasaanku. Danu marah ketika dikatakan dia kurang giat belajar bahkan sampai memukul Erwin karena merasa hatinya sakit mendengar candaan Erwin yang mengatakan kalau dirinya 'bego'.
Rasanya, aku tahu apa yang harus dilakukan. Seminggu kemudian aku memberikan tes psikologis lengkap dan hasilnya membuat hatiku tercekat. Ada rasa pedih di dalam hati. Aku mulai menemukan benang merah dari semua masalah Danu. Sumber utama dari perilakunya yang bermasalah.
Benang merah itu semakin terlihat ketika ibu Danu tiba-tiba datang ke sekolah. Wajahnya yang sekilas mirip dengan Danu itu diantar Bu Ratna ke ruanganku.
"Silakan, Bu Teguh. Ini Bu Reva, psikolog yang bertugas di sini. Semoga bisa membantu Ibu dalam menangani Danu."
"Terima kasih, Bu Ratna," ucap wanita yang berdiri di hadapanku ini sambil mengangguk lalu menjabat tangan Bu Ratna dengan erat.
"Saya tinggal ya, Bu. Silakan, Bu Reva," ujar Bu Ratna sambil tersenyum lalu meninggalkan ruanganku.
Aku tersenyum lalu mempersilakan Bu Teguh untuk duduk. Dia mengangguk dan dari sikapnya, aku merasa beliau agak canggung.
"Maaf, Bu Reva. Saya baru bisa datang ke sekolah. Kemarin itu, saya betul-betul repot."
"Iya, Bu Teguh. Terima kasih sudah datang ke sekolah. Ada banyak hal yang ingin saya bahas tentang Danu. Bolehkah saya tahu tentang proses kehamilan Ibu, saat mengandung Danu?"
"Danu itu anak ketiga kami dan dibanding kedua kakaknya, proses kehamilan Danu memang paling berat. Kesehatan saya terganggu sejak awal kehamilan. Apalagi saat melahirkan, saya sempat merasakan sesak napas. Danu juga enggak menangis waktu dilahirkan. Dia lahir premature."