Bila sisa 1 artinya dewa alit. Yang dimaksud dewa alit yaitu dewa hyang (leluhur), dewan umah (dewanya rumah), dewa kembar (atma orang yang lahir kembar), dewa hyang alit; roh orang yang meninggal waktu kecil, termasuk juga yang keguguran namun sudah diupacarai.
Bila sisa 2 artinya Kala. Yang dimaksud Kala yaitu Kala dan Bhuta Kala. Kala juga bisa diartikan Kalan (kemarahan). Umpamanya Kalan Dewa Hyang (kemarahan leluhur), Kalan Sesuunan (kemarahan dewata), Kalan Sang Wengi (Kemarahan Jin), Kalan Memedi (kemarahan roh orang mati yang belum diaben), dlsb. Hal ini bisa diketahui berdasarkan simbol-simbol hari pasaran.
Bila sisa 3 artinya manusa. Yang dimaksud manusa yaitu manusia atau orang, memedi dan Sang Wengi. Memedi adalah roh orang mati yang belum diaben. Sesangkan Sang Wengi adalah mahkluk gaib yang tinggal di tempat keramat, sebangsa jin. Ada pula masyarakat menyebutnya jero gede, jero sedahan. Mahkluk gaib ini ada yang jahat, ada pula yang baik. Dalam ajaran Hindu Bali, sebenarnya Sang Wengi merupakan wujud saudara empat; kanda pat catur. Oleh karena itulah ada istilah Bhuta Ya, Dewa Ya. Kalau benar cara memperlakukannya maka beliau menjadi dewa, sama kedudukannya dengan atma atau roh kita. Sebaliknya bila salah memperlakukannya maka menjadi bhuta kala.
Bila sisa 4 artinya Dewa Agung. Yang dimaksud Dewa Agung yaitu Sesuunan (dewata) yang dipuja di pura, maupun di Kamulan ataupun di merajan agung. Juga termasuk Bhatara Kawitan maupun Bhatara Hyang Guru.
Sesudah mengetahui sisa penjumblahan hari pasaran, kita harus mengetahui simbol-simbol atau makna masing-masing hari pasaran panca wara, sad wara dan sapta wara. Cara menyimbolkan hari pasaran dengan memenggal huruf harinya atau dibuatkan makna dengan cocoklogi. Lebih jelasnya sebagai berikut:
Panca Wara
Umanis ngaran umah (rumah), uma (sawah), dlsb.
Pahing ngaran Paon (dapur), Pipa, dlsb.
Pon ngaran pondok (rumah), Pondasi, dslb.
Wage ngaran gumi (tanah), gedogan (kandang hewan), dlsb.
Kliwon ngaran karang (pekarangan rumah), kandang, dlsb.