Lunjan Sarou sedang duduk di kursi kayu tuanya, menatap layar ponsel dengan kening berkerut.
Sebuah pesan video di grup WhatsApp membuat darahnya mendidih. Salah seorang pemborong yang cukup terkenal, anggota grup mereka memposting seorang kaya raya memamerkan kekayaannya di TikTok sambil berkata penuh kesombongan:
"Orang miskin jangan lawan orang kaya. Rakyat biasa jangan lawan pejabat. Habis kamu nanti."
Jari-jari Lunjan bergerak cepat di atas keyboard virtualnya. Ia mengetik komentar sederhana namun penuh makna:
"Hidup jangan terlalu sombong. Harta itu hanya titipan Tuhan. Waktu mati nanti, tidak ada yang bisa kita bawa."
Komentarnya itu segera direspon oleh seorang anggota grup lain, yang sepertinya adalah pendukung fanatik pejabat daerah yang baru saja memenangkan Pilkada.
"Betul itu. Kalau kita lawan, nanti malah nggak ada yang mau kasih pekerjaan. Pejabat juga nggak akan bantu urusan kita," tulis orang itu, diakhiri dengan stiker tersenyum.
Lunjan memandang layar ponselnya dengan wajah masam. Ia tahu, orang ini hanyalah bagian dari barisan pendukung yang dibutakan oleh janji-janji politik. Namun, ia memilih menahan diri. Hanya emoji dua tangan terkatup yang dikirimkan sebagai balasan.
Keesokan harinya, Lunjan sedang duduk di warung kopi Pak Marto di pinggir desa. Hiruk pikuk orang-orang yang bercengkerama di warung itu membuat suasana sedikit riuh.
Beberapa pelanggan membahas isu Pilkada yang baru selesai, termasuk kemenangan sang pejabat kaya yang belakangan jadi bahan perbincangan.
"Aku dengar, jalanan di proyek kampung sebelah itu asal jadi. Katanya uangnya banyak yang 'diolah'," ujar Pak Marto dengan nada lirih.
"Ya namanya juga pejabat," timpal Pak Tarman, seorang petani tua, sambil mengaduk kopinya. "Duit dari proyek dipakai buat kampanye. Kalau nggak main begitu, mana bisa mereka menang Pilkada?"
Lunjan mendengarkan sambil sesekali menyeruput kopinya. Ia tak ingin ikut bicara terlalu banyak, meski hatinya penuh amarah.
Di dalam benaknya, ia memikirkan bagaimana banyak orang miskin seperti dirinya yang selalu jadi korban ketidakadilan. Uang yang seharusnya dipakai untuk membangun fasilitas desa malah dihabiskan untuk kemewahan pribadi para pejabat.
Saat sedang asyik melamun, ponsel Lunjan kembali berbunyi. Notifikasi dari grup WhatsApp itu muncul lagi. Kali ini, ada video TikTok baru yang dikirim oleh orang yang sama. Isinya tak kalah sombong.
Dalam video itu, si orang kaya berkata dengan angkuh, "Kami ini kelas atas. Kalau kalian miskin, ya jangan iri. Kerja keras dong, jangan cuma bisa nyinyir!"
Lunjan tak tahan lagi. Ia mengetik balasan panjang:
"Kerja keras? Banyak orang miskin di kampung ini kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap tidak kaya. Kenapa? Karena sistem sudah diatur untuk menguntungkan orang-orang kaya seperti kalian. Kami kerja keras, kalian yang menikmati hasilnya."
Namun, sebelum ia mengirimkan pesan itu, ia terdiam. Ia sadar, debat di grup WhatsApp tak akan mengubah apa pun. Dengan berat hati, ia menghapus pesan itu dan kembali mengirimkan emoji dua tangan terkatup.
Di sudut lain desa, seorang lelaki bernama Anto yang membaca diskusi itu mendatangi rumah Lunjan malam harinya. Anto adalah salah satu dari sedikit orang di desa yang cukup vokal menentang ketidakadilan. Ia mengetuk pintu rumah Lunjan dengan tergesa-gesa.
"Lunjan! Aku baca komentar di grup tadi. Kamu sepertinya nggak setuju sama mereka, ya?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Lunjan mengangguk. "Aku hanya muak melihat kesombongan mereka, To. Kaya memang kaya, tapi jangan merendahkan orang miskin. Apa mereka lupa kalau semua itu cuma titipan Tuhan?"
Anto mengangguk setuju. "Tapi masalahnya, orang-orang di grup itu banyak yang berpikiran seperti si pendukung pejabat tadi. Mereka takut melawan. Takut nggak diberi pekerjaan. Takut diancam. Padahal, kalau kita diam terus, mereka yang kaya dan pejabat itu makin semena-mena."
Lunjan menghela napas panjang. "Aku tahu. Tapi bagaimana caranya melawan? Kita ini cuma rakyat kecil. Bahkan ngomong di grup saja, aku ragu mereka dengar. Semua ini seperti tembok besar yang nggak bisa kita hancurkan."
Anto tersenyum tipis. "Mungkin kita nggak bisa menghancurkan tembok itu sekarang. Tapi kita bisa mulai dari hal kecil. Yang penting, jangan berhenti bicara soal keadilan."
Beberapa hari kemudian, sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Jalan desa yang baru saja selesai diperbaiki ambles setelah hujan deras semalam. Beberapa warga yang marah langsung mendatangi balai desa, menuntut penjelasan dari kepala desa. Anto termasuk salah satu orang yang paling keras bersuara.
"Ini jalan baru selesai sebulan lalu, kok sudah rusak begini? Uangnya ke mana?" teriak Anto di tengah kerumunan.
Kepala desa mencoba menenangkan warga. "Tenang dulu, semuanya. Ini hanya masalah teknis. Nanti akan kami perbaiki lagi."
Namun, jawaban itu tidak memuaskan. Anto mendesak, "Teknis apa? Kami tahu, proyek ini dikerjakan asal-asalan! Yang untung siapa? Kalian! Yang rugi siapa? Kami, warga desa!"
Keributan semakin memanas. Beberapa aparat keamanan desa datang untuk mengendalikan situasi. Lunjan yang berada di kerumunan hanya bisa menggelengkan kepala.
Ia tahu, masalah ini tidak akan selesai hanya dengan protes di balai desa. Ujung-ujungnya, pejabat akan memberikan janji manis, dan warga akan kembali diam.
Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kejadian itu direkam oleh salah satu warga dan diunggah ke media sosial. Video protes Anto dan warga desa viral.
Banyak orang yang memberikan dukungan, bahkan media lokal mulai meliput kejadian tersebut.
Seminggu kemudian, Anto mendatangi rumah Lunjan lagi. Wajahnya terlihat cerah, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.
"Lunjan, kamu lihat videonya viral, kan?" tanyanya.
Lunjan mengangguk. "Aku lihat. Tapi hati-hati, To. Pejabat itu nggak suka kalau ada yang mengusik kenyamanan mereka. Aku takut kamu nanti diancam."
Anto tertawa kecil. "Aku tahu risikonya. Tapi ini saatnya kita bicara. Kalau kita diam terus, mereka akan terus merampok hak kita."
Keesokan harinya, Anto diundang ke balai desa untuk bertemu langsung dengan kepala desa dan beberapa pejabat daerah. Lunjan memutuskan ikut mendampingi Anto, meskipun ia merasa gugup.
Di ruangan balai desa, suasana tegang. Kepala desa berbicara dengan nada tegas. "Anto, video yang kamu unggah itu sudah menyebar ke mana-mana. Apa maksudmu mempermalukan kami?"
Anto menjawab tanpa ragu, "Saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun. Saya hanya ingin keadilan. Warga berhak tahu ke mana uang proyek itu digunakan."
Kepala desa mendesah, tapi sebelum ia bisa membalas, salah satu pejabat daerah berbicara. "Kami akan meninjau ulang proyek ini dan memperbaiki jalan yang rusak. Tapi, kami harap, jangan lagi ada warga yang membuat keributan seperti ini."
Lunjan yang biasanya diam, tiba-tiba angkat bicara. "Pak, ini bukan keributan. Ini suara rakyat yang bosan dipermainkan. Kami hanya ingin keadilan."
Ruangan itu menjadi hening. Para pejabat saling pandang, seolah tidak menyangka rakyat kecil seperti Lunjan berani bersuara. Meskipun tidak ada solusi instan yang diberikan saat itu, Lunjan dan Anto merasa lega. Mereka tahu, langkah kecil ini adalah awal dari perjuangan panjang.
Sepulang dari balai desa, Anto menepuk bahu Lunjan. "Kamu tadi hebat, Lunjan. Suaramu didengar."
Lunjan tersenyum tipis. "Entahlah, To. Aku cuma berharap, suatu hari nanti, orang-orang kaya dan pejabat itu sadar kalau kekayaan dan kekuasaan bukan segalanya."
Anto mengangguk. "Ya, dan kita harus terus berjuang. Sebab kalau bukan kita, siapa lagi?"
Di bawah langit senja, Lunjan memandang jauh ke depan. Ia tahu, jalan menuju keadilan masih panjang. Tapi ia percaya, selama ada keberanian untuk bersuara, harapan itu akan tetap hidup.
Namun satu hal yang pasti, sekarang masyarakat tertolong dengan adanya teknologi maju, media sosial. Orang kaya dan para pejabat tidak bisa macam-macam, kalau tidak maka kelakuan busuk mereka akan viral.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H