Lunjan Sarou sedang duduk di kursi kayu tuanya, menatap layar ponsel dengan kening berkerut.
Sebuah pesan video di grup WhatsApp membuat darahnya mendidih. Salah seorang pemborong yang cukup terkenal, anggota grup mereka memposting seorang kaya raya memamerkan kekayaannya di TikTok sambil berkata penuh kesombongan:
"Orang miskin jangan lawan orang kaya. Rakyat biasa jangan lawan pejabat. Habis kamu nanti."
Jari-jari Lunjan bergerak cepat di atas keyboard virtualnya. Ia mengetik komentar sederhana namun penuh makna:
"Hidup jangan terlalu sombong. Harta itu hanya titipan Tuhan. Waktu mati nanti, tidak ada yang bisa kita bawa."
Komentarnya itu segera direspon oleh seorang anggota grup lain, yang sepertinya adalah pendukung fanatik pejabat daerah yang baru saja memenangkan Pilkada.
"Betul itu. Kalau kita lawan, nanti malah nggak ada yang mau kasih pekerjaan. Pejabat juga nggak akan bantu urusan kita," tulis orang itu, diakhiri dengan stiker tersenyum.
Lunjan memandang layar ponselnya dengan wajah masam. Ia tahu, orang ini hanyalah bagian dari barisan pendukung yang dibutakan oleh janji-janji politik. Namun, ia memilih menahan diri. Hanya emoji dua tangan terkatup yang dikirimkan sebagai balasan.
Keesokan harinya, Lunjan sedang duduk di warung kopi Pak Marto di pinggir desa. Hiruk pikuk orang-orang yang bercengkerama di warung itu membuat suasana sedikit riuh.
Beberapa pelanggan membahas isu Pilkada yang baru selesai, termasuk kemenangan sang pejabat kaya yang belakangan jadi bahan perbincangan.