Banyak orang yang memberikan dukungan, bahkan media lokal mulai meliput kejadian tersebut.
Seminggu kemudian, Anto mendatangi rumah Lunjan lagi. Wajahnya terlihat cerah, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.
"Lunjan, kamu lihat videonya viral, kan?" tanyanya.
Lunjan mengangguk. "Aku lihat. Tapi hati-hati, To. Pejabat itu nggak suka kalau ada yang mengusik kenyamanan mereka. Aku takut kamu nanti diancam."
Anto tertawa kecil. "Aku tahu risikonya. Tapi ini saatnya kita bicara. Kalau kita diam terus, mereka akan terus merampok hak kita."
Keesokan harinya, Anto diundang ke balai desa untuk bertemu langsung dengan kepala desa dan beberapa pejabat daerah. Lunjan memutuskan ikut mendampingi Anto, meskipun ia merasa gugup.
Di ruangan balai desa, suasana tegang. Kepala desa berbicara dengan nada tegas. "Anto, video yang kamu unggah itu sudah menyebar ke mana-mana. Apa maksudmu mempermalukan kami?"
Anto menjawab tanpa ragu, "Saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun. Saya hanya ingin keadilan. Warga berhak tahu ke mana uang proyek itu digunakan."
Kepala desa mendesah, tapi sebelum ia bisa membalas, salah satu pejabat daerah berbicara. "Kami akan meninjau ulang proyek ini dan memperbaiki jalan yang rusak. Tapi, kami harap, jangan lagi ada warga yang membuat keributan seperti ini."
Lunjan yang biasanya diam, tiba-tiba angkat bicara. "Pak, ini bukan keributan. Ini suara rakyat yang bosan dipermainkan. Kami hanya ingin keadilan."
Ruangan itu menjadi hening. Para pejabat saling pandang, seolah tidak menyangka rakyat kecil seperti Lunjan berani bersuara. Meskipun tidak ada solusi instan yang diberikan saat itu, Lunjan dan Anto merasa lega. Mereka tahu, langkah kecil ini adalah awal dari perjuangan panjang.