Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Layar Kekuasaan

16 Desember 2024   16:17 Diperbarui: 16 Desember 2024   16:17 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=Awr.34h6719neiIKh5RXNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3BpdnM-?p=Di+Balik+Layar+Kekuasaan

"Aku dengar, jalanan di proyek kampung sebelah itu asal jadi. Katanya uangnya banyak yang 'diolah'," ujar Pak Marto dengan nada lirih.

"Ya namanya juga pejabat," timpal Pak Tarman, seorang petani tua, sambil mengaduk kopinya. "Duit dari proyek dipakai buat kampanye. Kalau nggak main begitu, mana bisa mereka menang Pilkada?"

Lunjan mendengarkan sambil sesekali menyeruput kopinya. Ia tak ingin ikut bicara terlalu banyak, meski hatinya penuh amarah.

Di dalam benaknya, ia memikirkan bagaimana banyak orang miskin seperti dirinya yang selalu jadi korban ketidakadilan. Uang yang seharusnya dipakai untuk membangun fasilitas desa malah dihabiskan untuk kemewahan pribadi para pejabat.

Saat sedang asyik melamun, ponsel Lunjan kembali berbunyi. Notifikasi dari grup WhatsApp itu muncul lagi. Kali ini, ada video TikTok baru yang dikirim oleh orang yang sama. Isinya tak kalah sombong.

Dalam video itu, si orang kaya berkata dengan angkuh, "Kami ini kelas atas. Kalau kalian miskin, ya jangan iri. Kerja keras dong, jangan cuma bisa nyinyir!"

Lunjan tak tahan lagi. Ia mengetik balasan panjang:

"Kerja keras? Banyak orang miskin di kampung ini kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap tidak kaya. Kenapa? Karena sistem sudah diatur untuk menguntungkan orang-orang kaya seperti kalian. Kami kerja keras, kalian yang menikmati hasilnya."

Namun, sebelum ia mengirimkan pesan itu, ia terdiam. Ia sadar, debat di grup WhatsApp tak akan mengubah apa pun. Dengan berat hati, ia menghapus pesan itu dan kembali mengirimkan emoji dua tangan terkatup.

Di sudut lain desa, seorang lelaki bernama Anto yang membaca diskusi itu mendatangi rumah Lunjan malam harinya. Anto adalah salah satu dari sedikit orang di desa yang cukup vokal menentang ketidakadilan. Ia mengetuk pintu rumah Lunjan dengan tergesa-gesa.

"Lunjan! Aku baca komentar di grup tadi. Kamu sepertinya nggak setuju sama mereka, ya?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun