Beberapa bulan kemudian, calon bodoh resmi menjadi bupati. Desa Ngawur berubah, tapi bukan ke arah yang diharapkan.
Jalanan makin rusak, harga sembako naik, dan proyek-proyek pembangunan terbengkalai. Warga mulai mengeluh, termasuk Udin yang dulu begitu mendukung si bupati baru.
“Rad, kamu benar,” kata Udin suatu sore. “Bupati kita ini bodohnya kelewatan. Kemarin dia bilang mau bikin jembatan di atas sawah!”
Murad hanya tersenyum tipis. “Sudah kubilang. Tapi tenang saja, lima tahun lagi kita punya kesempatan memilih calon baru. Siapa tahu nanti muncul calon yang nggak bodoh dan nggak korup.”
“Kalau nggak ada juga?” tanya Udin dengan nada putus asa.
Murad mengambil gorengan terakhirnya. “Kalau begitu, kita bikin partai sendiri. Partai Gorengan Indonesia. Visi-misinya sederhana: kasih rakyat minyak panas dan tepung gratis.”
Udin tertawa terbahak-bahak. “Aku daftar jadi ketua dewan, ya!”
“Silakan,” jawab Murad. “Tapi ingat, partai kita harus anti korupsi. Kalau sampai ketahuan korupsi, hukumannya apa?”
Udin berpikir sejenak. “Disuruh makan gorengan gosong seumur hidup?”
“Setuju!” ujar Murad sambil mengacungkan jempol.
Mereka tertawa bersama, menyadari bahwa meski hidup di tengah absurdnya politik desa, setidaknya mereka masih punya humor untuk bertahan.