“Tiga puluh milyar, Marni. Itu duit segitu banyaknya buat apa, ya?”
Marni berbalik menghadap Murad. “Buat kampanye lah. Beli sembako, bayar penyanyi dangdut, pasang spanduk, bikin iklan di TV.”
Murad menggeleng. “Tapi katanya partai itu bersih. Mereka selalu bilang nggak akan terima duit dari calon. Kalau benar begitu, kenapa calon-calon ini tetap bisa maju?”
“Ya mungkin ketuanya nggak tahu,” jawab Marni sambil menguap. “Atau pura-pura nggak tahu. Kamu kok mikirin ini banget, sih? Besok juga kamu masih makan gorengan seperti biasa.”
Murad menghela napas panjang. “Aku mikir, Marni. Kalau kita ini nggak bisa percaya partai, terus mau percaya siapa?”
“Percaya aku aja,” jawab Marni santai sambil memejamkan mata. “Aku nggak korupsi kok.”
Keesokan paginya, Murad kembali ke warung kopi. Kali ini, dia ingin menggali lebih dalam soal rumor itu. Di sana sudah ada Pak Bedul, Pak Komar, dan beberapa orang lainnya yang sedang asyik berdebat.
“Kalau memang benar partai itu menerima duit tiga puluh milyar, pertanyaannya: ketua partainya tahu atau nggak?” tanya Murad, langsung ikut bergabung dalam diskusi.
Pak Bedul menyodorkan secangkir kopi. “Kalau menurutku, ketuanya pasti tahu. Masa duit sebanyak itu bisa masuk tanpa sepengetahuan dia?”
“Tapi bisa juga cuma permainan anak buah di bawahnya,” sahut Komar. “Mereka kan sering cari kesempatan. Ketua mungkin nggak tahu apa-apa.”
“Ah, kamu terlalu naif, Komar,” sela Pak Bedul. “Partai itu seperti perusahaan besar. Duit segede tiga puluh milyar pasti lewat meja si bos.”