“Ini semua kerjaan KPPS!” gerutu Murad waktu itu.
Kini, kejadian itu membuatnya semakin muak. Dia tidak lagi percaya kepada siapa pun, bahkan kepada sistem pemilihan itu sendiri.
Dua hari sebelum Pilkada, desa Ngawur makin hiruk-pikuk. Kampanye berjalan tanpa aturan, bagaikan pasar malam dengan diskon besar-besaran.
Orang-orang yang dulu malas keluar rumah tiba-tiba menjadi aktivis dadakan. Semua karena calon baru mendatangkan penyanyi dangdut terkenal, Cinta Colok, untuk konser gratis.
“Cintaaa… Aduh, cantiknyaaa!” seru Udin yang menonton di depan panggung. “Rad, nggak mau nonton?”
“Enggak,” jawab Murad singkat dari teras rumahnya. “Aku nggak mau diracuni musik norak kayak gitu.”
Udin mendekat, kali ini membawa undangan resmi. “Dengar-dengar, kalau datang ke konser ini, dapet kupon undian motor.”
Murad melotot. “Motor? Gratis?”
“Ya enggak gratis, Rad! Harus daftar dulu. Tapi kalau menang, kan lumayan!”
Murad hanya menggeleng. “Daripada motor, aku lebih butuh otak baru buat calon-calon itu. Mungkin itu lebih bermanfaat.”
Pagi itu, Murad duduk di warung kopi milik Pak Bedul sambil mengamati orang-orang yang ramai membicarakan masalah Pilkada. Warga desa Ngawur, yang biasanya ribut soal panen atau harga pupuk, sekarang berubah jadi analis politik dadakan.