“Itu namanya prinsip!” Murad mengangkat gorengan dengan dramatis seperti seorang pahlawan mengangkat pedang. “Prinsip untuk tidak mendukung kebodohan maupun kejahatan!”
“Prinsip apaan? Orang-orang sekampung ini aja sudah pada pilih calon yang mereka yakini,” ujar Marni sambil melipat tangan di pinggang. “Masa Murad yang katanya pintar malah nyerah duluan?”
“Yang mereka yakini itu uang, bukan calonnya!” balas Murad sambil terkekeh. “Apa kamu nggak lihat? Minggu lalu si calon baru bagi-bagi sembako. Giliran ditanya visi-misi, jawabannya malah nyerempet ke harga minyak goreng!”
Marni mendengus, mengibaskan sapunya, lalu masuk ke dalam rumah. Murad melanjutkan makannya sambil menikmati angin siang. Namun, tiba-tiba datang tetangganya, Udin, dengan wajah semangat seperti habis menang undian.
“Rad, Rad!” Udin memanggil sambil mendekat. “Dapet sembako nggak dari calon baru?”
Murad tertawa terbahak-bahak. “Sembako apaan? Aku nggak mau disentuh bantuan tipu-tipu kayak gitu.”
Udin mendekatkan wajahnya. “Sembako itu isinya bukan cuma beras sama minyak, lho. Ada amplopnya juga!”
Murad terkejut. “Amplop?! Berapa?”
“Lima ratus ribu!” Udin menjawab dengan mata berbinar. “Buat apa pilih calon kalau bisa dapet duit tanpa milih!”
Murad tertawa sampai terbatuk. “Jadi ini, ya, pesta demokrasi versi kita. Calon bodoh kasih sembako, calon koruptor kasih janji palsu. Semua orang senang.”
Udin hanya mengangkat bahu, lalu berpamitan. Murad kembali termenung. Dia teringat cerita pemilu sebelumnya, ketika keluarganya memilih Monyong—si calon idola mereka yang entah kenapa tidak dapat satu suara pun di TPS tempat mereka mencoblos. Tiga puluh orang sekeluarga, tidak ada yang dihitung.