Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Sultan Jalanan

17 Oktober 2024   15:08 Diperbarui: 17 Oktober 2024   15:22 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sudut sebuah kota metropolitan yang penuh dengan hiruk-pikuk dan klakson mobil yang tak henti-hentinya memekakkan telinga, ada sebuah komunitas yang cukup menarik perhatian.

Mereka adalah para tukang taksi gelap---disebut "gelap" bukan karena mencekam atau menyeramkan, tetapi karena mereka beroperasi tanpa izin resmi. Yang lebih menarik lagi adalah, mobil mereka kebanyakan adalah mobil LGCC (Low-Cost Green Car), yang secara umum dikenal sebagai mobil murah dan ramah lingkungan.

Namun, bagi para sopir ini, LGCC mereka adalah simbol kejayaan. Seolah-olah, di balik jendela sempit dan jok yang agak sempit, mereka adalah raja-raja jalanan.

Setiap pagi, mereka berkumpul di sebuah warung kopi di pinggir jalan yang strategis, dekat stasiun kereta api. Warung kopi itu sudah menjadi semacam "markas besar" bagi para tukang taksi gelap.

Di situ, mereka membagi cerita, tertawa lepas, dan yang paling sering, membanggakan mobil mereka yang masih dalam masa kredit. Tapi soal kredit? Ah, itu dianggap angin lalu.

Bagi mereka, memiliki mobil, meskipun kecil dan terjangkau, sudah cukup untuk menaikkan harga diri mereka beberapa level di atas masyarakat biasa.

"Woy, Budi! Gimana tuh mobil barunya?" teriak Ucok, salah satu sopir yang dikenal paling sombong di komunitas itu.

Dengan tubuh kekar dan rambut disisir klimis ala mafia, dia merasa seperti bos besar di sana.

Budi, seorang pria berkacamata yang biasanya kalem, tiba-tiba mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi.

"Wih, udah pasti, Cok. Mobil gue sekarang paling irit, bro. Berkat gue pake yang varian tertinggi, yang ada head unit touchscreen. Beda lah sama mobil-mobil kalian. Kalo udah naik mobil gue, berasa kayak naik Alphard," jawab Budi dengan nada yang sengaja dibuat rendah dan dalam, seolah-olah sedang menggoda para lawan bicaranya untuk iri.

Ucok mengerutkan dahi, sedikit tersinggung. "Alphard? Lu serius, Bud? Cuma LGCC, tapi dibikin kayak Alphard? Halah, mobil gue aja lebih tinggi kelasnya. Joknya udah dilapisin kulit sintetis, bukan lagi kain. Lo bisa bilang apa soal itu?"

Budi terdiam sebentar, tapi matanya berkilat. "Kulit sintetis? Ckck, Cok, itu kan biar kelihatan aja. Mobil gue walaupun joknya masih kain, tapi AC-nya dingin sampai ujung tulang! Udah kayak pendingin ruangan hotel bintang lima!"

Mereka semua tertawa terbahak-bahak, seakan cerita yang mereka tukar adalah lelucon terbaik yang pernah diciptakan manusia. Namun, di balik tawa mereka, ada semacam kebanggaan yang samar.

Bukan hanya soal mobil mereka, tapi tentang bagaimana mereka melihat diri mereka lebih "hebat" daripada sopir-sopir biasa.

"Gini, ya," Ucok mulai lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Kita nih, orang yang terpilih, paham nggak? Dari sekian banyak orang yang cuma bisa naik angkot atau ojek online, kita yang punya kendaraan pribadi. Mau bayar kredit berapa pun, kita punya kebebasan, bos!"

Yang lain mengangguk setuju, walaupun dalam hati masing-masing, mungkin ada yang menjerit kecil ketika tanggal jatuh tempo cicilan mulai mendekat. Tapi bagi mereka, itu semua tidak penting selama bisa mengibarkan bendera kebanggaan mereka: bendera yang bertuliskan "Kami Orang Hebat."

Mereka yang duduk di warung itu adalah sosok-sosok dengan keangkuhan yang menempel erat pada tiap detak napas mereka. Seperti si Sardi, misalnya. Dengan badannya yang agak gempal, dia selalu memarkir mobil LGCC-nya paling depan, seakan-akan itu adalah Ferrari yang siap memamerkan kecepatan.

"Gue itu, ya," Sardi suatu kali berkata dengan penuh percaya diri, "kalau di jalan, semua orang kasih jalan. Ngeliat mobil gue, mereka langsung minggir. Aura gue beda, bos! Karisma gue yang bikin mereka hormat."

Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah karena Sardi sering mengendarai mobilnya dengan asal-asalan, mengambil jalur orang lain tanpa peduli aturan lalu lintas. Banyak pengendara lain yang sebenarnya kesal, tapi malas memperpanjang masalah dengan orang yang merasa dirinya raja jalanan.

Bahkan, dalam dunia kecil mereka, ada hierarki tak tertulis. Sopir yang mobilnya lebih baru atau aksesori tambahan lebih lengkap dianggap punya status lebih tinggi. Semakin "fancy" modifikasi mobilmu, semakin besar rasa hormat yang diberikan oleh teman-teman sopirmu.

Ada perasaan bahwa barang-barang kecil seperti pelapis jok, velg yang kinclong, dan aroma terapi yang mahal adalah lambang kekayaan. Sebenarnya? Semua itu dibeli dengan mencicil juga.

Suatu pagi, datanglah seseorang yang baru bergabung dengan komunitas mereka, seorang pemuda bernama Doni.

Mobilnya masih sangat baru, LGCC tipe terbaru dengan tambahan sedikit aksesoris yang membuatnya tampak lebih mahal daripada mobil-mobil lain di sana.

Doni ini orangnya sederhana, tidak banyak bicara, tapi justru itu membuatnya menjadi sasaran empuk ejekan dari Ucok dan gengnya.

"Mobil baru, ya, Don? Berapa cicilan lo per bulan? Atau lo beli cash?" tanya Ucok sambil menahan tawa kecil di ujung bibirnya.

Doni hanya tersenyum tipis. "Cicilan. Namanya juga usaha, kan?"

Ucok tertawa keras. "Usaha, usaha. Tapi jangan sampai terjebak cicilan terus, bro! Nanti mobil baru lo malah nggak sempet dinikmatin, udah diambil leasing duluan."

Semua tertawa lagi. Tapi kali ini, Doni hanya mengangkat bahu. Baginya, apa yang dikatakan orang lain bukan masalah besar. Toh, dia tahu betul apa yang dia kejar dalam hidup ini, bukan sekadar gengsi.

Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan taksi gelap ini ternyata tidak selalu berjalan mulus. Suatu hari, pihak berwajib mulai mengadakan razia besar-besaran terhadap para sopir taksi gelap. Dan di sinilah, kesombongan mereka diuji.

Suatu pagi, saat mereka berkumpul seperti biasa, terdengar suara sirine polisi mendekat. "Razia! Razia! Ayo, cabut!" teriak salah satu sopir dengan panik.

Para sopir yang biasanya berjalan penuh percaya diri di jalanan, mendadak kalang kabut. Mereka yang biasanya merasa diri seperti sultan, kini terlihat panik dan ketakutan.

Mobil-mobil LGCC mereka yang selama ini dianggap sebagai simbol kekayaan, justru menjadi beban. Karena selain takut ditilang, mereka juga khawatir mobil kesayangan mereka disita.

Ucok, yang biasanya paling lantang dan sombong, terlihat paling panik. Dia berusaha memasukkan mobilnya ke gang sempit untuk menghindari razia, tetapi malah terjebak.

"Aduh! Sial! Mobil gue ketahan di sini!" Ucok berteriak kesal, sementara keringat mengucur di dahinya.

Budi, yang juga panik, mencoba menenangkan diri. "Tenang, tenang, kita bisa bicara baik-baik sama polisi. Mobil gue masih baru, nggak mungkin mereka tilang."

Tapi kenyataannya, polisi tetap tegas. Mereka tidak peduli apakah mobilnya baru atau lama, LGCC atau tidak. Yang mereka lihat adalah pelanggaran aturan.

Beberapa sopir berhasil lolos, tapi sebagian lagi, termasuk Ucok dan Budi, tertangkap dan harus merelakan mobil mereka disita sementara waktu.

Saat duduk di pos polisi, wajah-wajah yang biasanya penuh kebanggaan itu kini merunduk lesu. Tidak ada lagi cerita tentang betapa hebatnya mobil mereka, tidak ada lagi bualan tentang "raja jalanan."

Yang ada hanya wajah-wajah penuh penyesalan dan kekhawatiran tentang bagaimana mereka bisa menebus mobil mereka kembali.

Di tengah suasana yang suram itu, Doni tiba-tiba muncul. Rupanya, dia tidak terkena razia karena sudah lebih dulu memilih untuk berhenti beroperasi hari itu. Dengan langkah tenang, dia mendekati Ucok dan Budi yang tertunduk lesu.

"Kalian baik-baik aja?" tanya Doni, tulus.

Ucok mendongak, matanya sedikit berair. "Mobil gue, Don... Mereka bawa pergi mobil gue..."

Doni tersenyum tipis. "Ya namanya juga risiko, kan? Tenang aja, mungkin ini saatnya kita introspeksi. Mobil itu cuma alat, bos. Jangan sampai bikin kita lupa diri."

Ucok, yang biasanya paling angkuh, kali ini hanya bisa mengangguk pelan. Kesombongannya telah runtuh bersama dengan kepergian mobilnya. Mereka semua akhirnya menyadari bahwa dalam kehidupan ini, tidak ada yang abadi, terutama kesombongan.

Hari itu, pelajaran berharga mereka dapatkan. Mungkin mobil mereka masih kredit, mungkin status mereka di mata masyarakat tidak seberapa. Tapi yang lebih penting, mereka mulai belajar untuk tidak lagi menganggap diri terlalu tinggi hanya karena memiliki sesuatu yang bisa hilang dalam sekejap.

Doni menepuk bahu Ucok sambil tersenyum. "Ayo, kita makan dulu. Tenang aja, gue yang traktir kali ini."

Ucok dan Budi, yang biasanya tidak pernah mau ditraktir, kali ini mengangguk pelan. Mereka berjalan menuju warung kopi bersama Doni, kali ini tanpa rasa sombong sedikitpun di dada mereka.

Dan di situ, untuk pertama kalinya, mereka semua berbicara seperti manusia biasa, tanpa keangkuhan, tanpa kesombongan, hanya orang-orang yang sedang berusaha bertahan hidup di tengah kerasnya kota.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun