Beberapa negara memiliki undang-undang yang sangat ketat tentang penghinaan terhadap agama, sementara yang lain lebih longgar dalam melindungi kebebasan berekspresi, termasuk kritik terhadap agama.
Sebagai contoh, di Indonesia, kasus penistaan agama melalui media sosial sering kali diseret ke pengadilan, dengan individu yang terlibat diadili berdasarkan undang-undang penistaan agama atau UU ITE.
Namun, di negara-negara Barat yang mengutamakan kebebasan berekspresi, kasus serupa mungkin tidak dianggap sebagai tindak pidana.
Dalam kasus penistaan agama, jejak digital bisa menjadi bukti yang kuat dalam proses hukum. Meskipun sebuah konten dihapus, data tersebut bisa diambil kembali oleh penyidik melalui berbagai cara, seperti meminta akses kepada penyedia layanan digital.
Sebagai contoh, dalam kasus yang melibatkan platform media sosial, pihak berwenang sering kali meminta data dari penyedia platform untuk menyelidiki dan mengamankan bukti digital.
5. Sudut Pandang Etika dan Privasi
Dari perspektif etika, jejak digital menghadirkan dilema antara hak atas kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap hak-hak kelompok agama.
Kebebasan berekspresi di dunia digital sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan penistaan agama, yang pada akhirnya dapat memicu kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu.
Namun, ada juga argumen yang mendukung kebebasan berekspresi di internet, dengan menyatakan bahwa sensor berlebihan terhadap konten digital, termasuk penistaan agama, dapat mengancam kebebasan individu untuk menyampaikan pandangan mereka.
Dalam kasus-kasus tertentu, apa yang dianggap sebagai penistaan agama di satu negara, mungkin tidak dianggap demikian di negara lain, terutama yang memiliki standar hukum dan budaya yang berbeda.
Sementara itu, dari sudut pandang privasi, masalah muncul ketika jejak digital seseorang digunakan sebagai alat untuk menyerang atau menghakimi individu di ruang publik.