Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasi Bungkus

18 Februari 2021   08:33 Diperbarui: 19 Februari 2021   10:56 1418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jurnaba.co/

Pagi itu Baltasar, kawan tetangga kost Sangen minta tolong diantarkan ke kampus Universitas Tanjungpura atau biasa disingkat Untan saja. Baltasar mau konsultasi Bab IV dengan dosen pembimbingnya, karena sedang berupaya menyelesaikan skripsinya.

Sangen membonceng Baltasar dan menyinggahkannya terlebih dulu di kampus Fakultas Hukum baru dia melanjutkan perjalanannya ke kampus FKIP. Sangen berjanji menjemput Baltasar nantinya ketika urusannya sendiri di kampus FKIP selesai.

"Apakah sudah ada jawaban dari mereka, Bu?" Tanya Sangen ketika sudah berdiri di depan loket untuk mendapatkan informasi di bagian Akademik. Hampir semua ruangan di sekretariat FKIP itu mempunyai sebuah loket di sebelah luar, untuk memudahkan para mahasiswa dalam berurusan dengan pihak akademik, sehingga mereka tidak perlu masuk ke dalam.

"Kamu ditolak mengajar di SMA itu." Kata petugas bagian akademiknya ketika Sangen bertanya tentang jawaban sekolah untuk tempatnya PPL.

"Mengapa, Bu?" Tanya Sangen terkejut. "Apakah sudah biasa ada penolakan seperti itu, Bu?"

"Mereka tidak mau guru yang praktek di sana agamanya berbeda dengan mereka. Pengurus Yayasan yang mengelola sekolah itu dan juga semua muridnya pun wajib beragama sama." Jelas bagian kademik. "Belum pernah sih ada penolakan seperti ini."

"Oh. Hiyalah, Bu. Tak apa-apa kalau memang mereka tidak mau." Sahut Sangen. Lucu juga sih di jaman now masih terjadi hal seperti itu. Tetapi dia bisa memahami jika sekolah itu mempertahan segala sesuatunya demi keberlangsungan ajaran yang mereka anut. "Jadi sekarang solusinya, bagaimana Ibu?"

"Kami telah pikirkan, lebih baik kamu mencari sekolah negeri saja."

"Bolehlah, Bu. Saya selalu siap." Jawab Sangen sama sekali tidak sakit hati. Karena penolakan itu hak prerogratif mereka.

"Kami kemarin sudah diskusi dengan bagian pelaksanaan pengalaman lapangan. Khusus kasusmu, solusinya memang harus praktek disekolah negeri saja."

"Jadi kesimpulannya untuk kasus saya ini, diarahkan ke sekolah negeri yang mana ya, Bu?" Tanya Sangen lagi ingin mendengar solusinya.

 "Kamu disarankan untuk mengajar di SMEA II saja." Kata Ibu itu sambil menatap Sangen.

"Tidak masalah, Bu." Jawab Sangen dengan yakin. "Saya selalu siap, yang penting bisa PPL."

"Tetapi ada sedikit kendala nih." Kata Ibu itu sepertinya ragu-ragu.

"Apa itu, Bu?" Tanya Sangen penasaran.

"Karena waktunya sudah sangat mepet, maka kamu sendirilah yang harus mengantarkan surat ini ke sana." Kata Ibu bagian akademik itu. "Kami tidak sempat untuk pergi ke sana. Kami sudah telpon sih, mereka sudah setuju dan hanya menunggu surat resmi ini saja sebagai tanda hitam diatas putihnya."

Lalu ibu bagian akademik itu mencari surat dari atas tumpukan berkas surat yang menggunung di meja di sampingnya, sepertinya memang sudah disiapkan dan sudah ditanda tangani oleh dekan FKIP.

"Nih, suratnya." Desisnya sambnil menyerahkan sepucuk surat yang sudah dimasukan ke dalam amplop kepada Sangen.

"Baik, Bu. Terima kasih banyak." Tukas Sangen. "Maaf, sepertinya saya terlalu merepotkan.

Sangen menerimanya dan setelah mengucapkan terima kasih diapun kembali ke tempat Baltasar di Fakultas Hukum.

"Sudah selesai urusannya?" Sapa Sangen ketika melihat kawan tetangga kostnya ini sudah duduk-duduk santai menunggu di bangku luar Fakultas.

"Sip. Tinggal lanjutkan analisisnya saja." Jawab Baltasar. "Kalau tidak ada halangan, beberapa bulan lagi kayaknya bisa kelar."

"Syukurlah kalau begitu." Tukas Sangen. "Sebentar lagi kamu akan menyandang gelar SH, yang bisa merupakan singkatan Senang Hidup ataupun Susah Hidup."

"Bagaimana? Apakah kita cari makan dulu?" Tanya Baltasar tidak memperdulikan gurauan rekannya itu.

"Eh, kamu lupa ya jika tadi pagi kawan kita si Acun berjanji mau membelikan kita nasi bungkus hari ini. Karena dia sudah lulus ujian skripsinya." Kata Sangen. Dia teringat janji Acun, kawan mereka yang sangat dermawan. Orang tuanya merupakan pedagang yang cukup sukses di daerah mereka.

"Ayolah kalau begitu, kita come on." Seru Baltasar sambil memasang tas kainnya yang berisi berkas Bab IV Skripsinya di bahunya.

"Tapi kita antar surat ini dulu ke SMEA Negeri II." Tukas Sangen sambil menepuk-nepuk tas gendongnya.

"Mana kata taukelah. Kan situ bossnya, mana mungkin saya loncat dari motor." Gurau Baltasar sambil tertawa.

Keduanya lalu kembali berboncengan pulang, Cuma terlebih dahulu menuju ke SMEAN II yang terletak di jalan Ahmad Yani, untuk mengantarkan surat permohonan tempat PPL. Setelah suratnya disampaikan yang disertai dengan tanda terima, mereka langsung ke tempat kost. Rupanya tanpa terasa hari sudah cukup siang.

"Kemana kalian, Sar?" Tanya Acun ketika melihat mereka sudah datang.

"Tadi ke kampus. Konsultasi Skripsi."

"Bagaimana?"

"Lolos. Hanya perbaikan sedikit di bab IV saja."

"Baguslah. Eh, kamu belikan kita nasi bungkus dulu, ya. Bisa, kan?"

"Bisa." Jawab Baltasar santai. Dia tidak pernah menolak di minta tolong apa saja sejauh dia masih mampu melakukannya. "Berapa banyak?"

"Hitung kita tiga rumah kost inilah." Kata Acun. Karena mereka yang tinggal di tiga buah rumah kost itu berasal dari satu daerah yang sama dan rata-rata masih punya hubungan kelurga, meskipun sudah jauh.

"12, ya?"

"Ya."

"Uangnya?"

Si Acun meraih dompetnya dan mengeluarkan uang dengan nominal seratus ribu sebanyak tiga lembar."

"Nasi, kan?" Tanya Baltasar lagi untuk lebih meyakinkan perintahnya tidak salah dengar.

"Ya." Jawab Acun tanpa curiga. "Nasi 12 bungkus."

"Baik. Aku berangkat." Kata Baltasar pergi ke warung Padang sekitar 800 meter dari rumah kost mereka.

Penghuni tiga buah rumah kost itu sudah berkumpul di rumah kost tempat Acun, mereka semua siap untuk makan siang bersama. Hanya dua orang saja yang sedang berangkat kuliah, tetapi nantinya akan di simpan saja untuk mereka. Sambil menunggu yang perempuan menyiapkan teh es untuk persiapan minuman mereka. Tehnya mereka buat sendiri, sementara esnya mereka beli dari Bu Warung di dekat mereka.

Kurang lebih empat puluh menit, Baltasar pun pulang dengan menenteng nasi bungkus di kiri dan kanan tangannya. Dia langsung mengembalikan sisa uangnya kepada Acun sebanyak seratus delapan puluh ribu.

"Banyak orang antri, jadi agak lama."Jelas Baltasar.

"Kok murah sekali, Sar?" Tanya Acun agak bingung melihat uang kembaliannya.

"Entahlah. Dia kasihan melihat aku jalan kaki kali." Gurau Baltasar tanpa beban.

"Ya, sudahlah. Hayo, mari kita berkumpul." Kata si Acun. "Kita berdoa dulu. Siapa yang pimpin?" Katanya lagi ketika semua sudah duduk di ruangan tengah.

"Rukmini saja." Kata mereka ramai-ramai.

Meskipun mereka ini berasal dari satu daerah, tapi agamanya berbeda-beda dan Rukmini kebetulan adalah seorang Muslim sejak lahir, ayahnya yang mualaf ikut Ibunya. Semuanya setuju jika dia saja yang memimpin doa makan untuk mereka. Rukmini pun membawa mereka semua dalam doa, cukup panjang dengan berbagai kata-kata bahasa Arab yang mereka tidak paham. Mereka hanya mengucapkan amin saja di setiap akhir jeda doanya.

"Sikat...!" Kata Acun langsung meraih nasi bungkusnya begitu doa makan selesai.

"Sikaaat..." Kata yang lain juga mengikuti teladan Acun. Mereka segera membuka nasi bungkusnya, karena masakan Padang terkenal menggugah selera, sehingga belum makan saja air liur mereka meleleh membayangkan betapa nikmatnya Nasi Padang yang pedas.

"Lho?" Celetuk Acun bingung melihat nasi bungkusnya.

"Wah, kok begini?" Susul yang lainnya.

"Aah, masya begini?"

"Yang benar saja...?" Celetuk yang lainnya lagi.

"Ini model baru, ya?" Omel cewek-cewek yang pada lapar.

"Kok tidak ada sayurnya, Sar?" Tanya Acun penasaran.

"Tadi kan katanya hanya nasi bungkus." Jawab Baltasar tanpa merasa bersalah. Dia malahan sudah makan nasi tanpa sayur itu dengan tenangnya sambil berusaha menelan nasinya yang agak tersangkut di tenggrorokannya karena tidak ada kuah sayurnya.

"Memang nasi bungkus, tapikan biasanya ada sayurnya. Nah, yang ini juga nasi bungkus, tapi tidak ada sayurnya."

"Ku pikir kamu memang sengaja mau menghidangkan kami dengan nasi bungkus saja, tanpa sayur."

"Baltasar. Baltasar." Kata Acun sambil geleng-geleng kepala. "Yang namanya nasi bungkus itu pastilah dengan sayurnya. Kalau mau gurau itu ya sedang sedang juga kali, kami semua sudah pada lapar nih." Omel Acun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

"Tadi memang dia mau memberikan ku sayuran. Ku bilang memang nasi saja, sehingga sepertinya penjulnya itu keheranan." Jelas Baltasar lagi sambil tersenyum. "Kan kamu juga menggiyakan ketika kutanyakan kembali tadi apakah nasi bungkus tadi." Kata Baltasar mengingatkan Acun sama sekali tanpa rasa bersalah.

"Aku sungguh tidak menyangka perspeftif kamu beda." Kata Acun. "Kebiasaan orang kalau bilang nasi bungkus atau nasi kotak itu ya dengan sayurnya, tidak perlu dijelaskan lagi."

"Makanya memerintah itu harus jelas, jangan buat aku ragu."

"Sudah. Sudah. Kamu beli sayurnya lagi, mau kan?" Tanya Acun.

"Boleh." Jawab Baltasar lagi tetap tanpa beban.

"Tidak apa-apa, kan?" Tanya Acun lagi meyakinkan dirinya jika nkawannya ini tidak marah di suruh bolak-balik beli nasi dengan berjalan kaki di bawah terik matahari.

"Ndak apa-apa. Santai saja sih." Sahut Baltasar sama sekali tidak terlihat marah ataupun terpaksa. "Mana duitnya?"

Acun kembali memberikan Baltasar uang. Dia dan kawan kawanya terpaksa menunda makan siangnya, menunggu Baltasar kembali lagi dari membeli sayuran. Apakah Baltasarnya yang persfektifnya salah ataukah kita yang salah tanpa kita sadari?

Ataukah para ahli bahasa Indonesia perlu mencari dan menemukan satu istilah baru atau sebuah nama baru yang bisa menggambarkan sebuah nasi bungkus atau nasi kotak yang sekali di sebut sudah menggambarkan bahwa nasi itu sudah lengkap dengan sayurnya dan bukan hanya sebuah nasi tok? Misalnya dengan istilah atau nama Nasiyur? Yang artinya nasi sudah lengkap dengan sayurnya? Hanya para ahli bahasa yang bisa menjawabnya.

Mungkin ada baiknya meniru kebiasaan di kalangan suku Dayak Dohoi Uut Danum, mereka menyebut kanyap untuk sayur yang belum di masak tetapi menyebut konah untuk sayur yang sudah di masak dan siap di makan. Jadi perbedaannya jelas dan menyebut namanya saja orang tidak akan salah paham.

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun