Mohon tunggu...
Meliana JunitaAzhari
Meliana JunitaAzhari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teruslah Berkarya

Allah as always number one

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sepenggal Kisah di Jenjang Pendidikan

12 November 2020   07:00 Diperbarui: 12 November 2020   08:36 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Mentari pagi itu menyelinap masuk di celah jendela kamarku. Dengan aku yang masih terbaring di atas kasur empuk milikku. Sesekali terdengar teriakan nyaring oleh indera pendengaranku. Teriakan Bunda yang sedang berada di dapur membangunkan tidur nyenyakku. Aku terbangun dan berjalan mantap menuju kamar mandi.

            Pagi hari yang indah disambut oleh hangatnya keluarga. Kami memulai hari dengan sarapan bersama. Di atas meja makan terdapat banyak sekali hidangan. Kami sarapan sambil berbincang-bincang sedikit tentang ujian yang akan dilakukan diriku hari ini.

"Yuna hari ini kamu Ujian Nasional kan nak?" Tanya Bunda yang dibalas anggukan mantap olehku.

"Ayah kasih tahu ya, sebelum ujian itu kamu harus berdoa dulu, jangan terburu-buru saat mengerjakan ujian. Yang paling penting kamu isi yang gampang terlebih dahulu, kalau ada yang sulit lewat saja dulu nanti keburu waktunya habis kalau kamu memikirkan soal yang sulit itu."

"Iya Ayah, Yuna mengerti."

"Yasudah sana berangkat sekolah, ntar telat loh."

"Yuna minta doa-nya Ayah, Bunda."

"Iya Bunda dan Ayah pasti mendoakanmu." Balas Bunda dengan senyuman yang terukir di bibirnya.

            Aku memantapkan langkahku menuju sekolah. Jarak antara rumahku dan sekolah hanya 500 meter. Debaran di dadaku menganggu konsentrasiku. Diriku sangat gugup saat ini. Aku memasuki ruangan yang dipakai ujian dan mencocokkan nomor ujianku dengan tempat dudukku.

            Semua murid kelas 6 SD di sekolah yang aku naungi sebagai tempat belajarku di sini dipanggil oleh wali kelas kami. Kami diberikan kata-kata motivasi dan semangat oleh wali kelas kami. Waktu ujian dimulai sebentar lagi, kami semua masuk ke ruang kelas masing-masing.

            Saat bel sekolah berbunyi, para pengawas pun memasuki ruang kelas. Debaran di dadaku semakin cepat dengan ritme yang tidak beraturan. Aku gugup saat ini. Padahal diriku sudah belajar sebelumnya. Hari pertama ujian Bahasa Indonesia, hari kedua Matematika dan hari ketiga IPA.

            Lembar jawaban dan soal pun diberikan kepada kami. Waktu pengerjaan 120 menit. Diriku langsung mengerjakan soal-soal yang sudah diberikan. Aku duduk di barisan paling depan, pengawas terus memperhatikan gerak-gerik kami semua.

            Setelah selesai mengerjakan, muka kami kusut seperti baju yang belum disetrika. Ternyata Ujian Nasional tidak semudah yang kami pikir. Padahal kami semua telah belajar dengan sungguh-sungguh.

            Sudah lewat tiga hari dan Ujian Nasional pun sudah selesai. Kami semua ditanya akan melanjutkan pendidikan ke sekolah mana. Aku ingin sekali masuk sekolah favorit yang ada di daerahku. SMPN 1 PADALARANG.

            Tiba saatnya di mana kami semua diberi tahu Nilai Ujian Nasional yang sudah dilaksanakan. Nilaiku tidak cukup untuk daftar ke sekolah favorit tersebut dan berakhir daftar ke SMPN 1 CIKALONGWETAN.

            Sesak di dadaku terasa begitu menyakitkan. Hatiku hancur saat mengetahui nilaiku tak sesuai harapan. Apa yang akan dikatakan Ayah dan Bunda jika mereka tahu nilaiku tidak terlalu tinggi. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. 

            Aku pulang dengan dada yang sesak, tidak tahu bagaimana memberi tahu orang tuaku akan kabar yang mengecewakan mereka ini. Aku sudah sampai di depan rumah dan masuk dengan gerakan yang mengendap-endap agar tidak diketahui oleh Bunda. Karena jika dia tahu, aku takut akan dibanjiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku kembali mengingat kejadian tadi.

Bunda sedang berada di dapur dan aku mengendap-endap masuk ke kamar. Setelah masuk aku lupa malah menutup pintu terlalu kencang sehingga menimbulkan suara nyaring yang lumayan keras. Bunda langsung berteriak dari arah dapur.

"Yuna sudah pulang ya?" Teriakan Bunda dari arah dapur.

"Iya Bunda aku sudah pulang." Jawabku sekenanya.

"Nanti malam, makan bersama ya nak."

"Iya Bunda."

            Aku sangat takut membicarakan nilaiku kepada Bunda. Takut mereka malah menghakimiku dan memarahiku tanpa mau mendengar penjelasanku lebih dulu. Mengingat bagaimana cerita Ayah dan Bunda dulu sekolah di sekolah yang lumayan favorit sedangkan aku memiliki nilai yang tinggi saja masih tidak bisa.

            Langit pun mulai gelap menandakan bahwa hari ini sudah malam. Ayah sudah pulang dan kami sedang berkumpul di ruang tengah dengan televisi yang menampilkan serial film remaja. Aku begitu gugup saat ini.

"Hei, bagaimana nilaimu?" Tanya Ayah kepadaku.

"Emm...." Aku sulit untuk mengungkapkannya. Ayah dan Bunda menatapku dengan tatapan menyelidik.

"Bilang aja sayang, gaakan kami marahin." Bunda berkata dengan begitu lembutnya.

Aku mengumpulkan keberanian untuk mengatakan nilai ujianku.

"Maaf Ayah, Bunda nilaiku tidak terlalu tinggi jadi aku daftar ke sekolah Negeri yang peluangku lebih banyak untuk sekolah di sekolahan itu." Jelasku kepada Ayah dan Bunda.

"Ah, iya tidak apa-apa. Semoga kamu keterima di sekolah itu ya. Bunda dan Ayah akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu." Bunda berujar dengan penuh ketenangan. Dan aku langsung menghambur ke pelukan hangatnya. Memeluknya dengan begitu erat.

Butuh beberapa hari untuk menunggu hasil penerimaan siswa baru. Aku yang menanti hasil itu sangat gugup. Apakah aku diterima di sekolah itu? Hanya 3 orang dari sekolahku yang mendaftar ke sekolah itu.

Hari dimana aku mendapatkan hasil penerimaan itu membuatku bertambah gugup. Wali kelasku menyuruh temanku untuk memberi tahu bahwa aku harus ke sekolah bersama orang tuaku.

"Yuna, kata bu Sulgi kamu ke sekolahnya sama Bunda kamu ya!" Perintah Ara kepadaku.

"Oh iya." Aku menjeda ucapanku, "Bunda kata bu Sulgi bunda disuruh ikut aku." Teriakku dari luar rumah.

            Sesampainya di sekolah sudah banyak sekali temanku. Mereka diterima di sekolah yang jaraknya lumayan dekat dari rumah. Wali kelasku berbincang dengan Bunda. Aku dinyatakan tidak diterima di sekolah yang aku ingin. Aku diam. Mukaku pucat seperti mayat. Kabar apa yang aku dapat? Setelah  nilaiku yang tidak bagus, kini aku tidak diterima di sekolah yang aku inginkan. Aku seperti jatuh lalu tertimpa tangga kembali.

            Aku menatap Bunda, dia menatapku dengan tatapan hangat dan mencoba mengerti keadaanku. Aku juga menatap teman-temanku, mereka menatapku dengan wajah datar dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku bingung, aku tidak tau harus daftar ke sekolah mana. Pendaftaran sekolah negeri sudah ditutup. Wali kelasku mencoba menenangkan.

"Yuna, mau daftar kemana sayang?" Tanya bu Sulgi dengan lembut.

            Aku bingung harus menjawab kemana aku akan sekolah sekarang, rasanya seperti mimpi. Aku menatap Bunda. Dari raut wajahnya Bunda membebaskanku memilih kemana aku sekolah. Lalu aku menatap teman-temanku. Mereka mengatakan sekolah yang akan mereka naungi sekarang.

"Yuna, masuk sekolahku." Ucap salah satu temanku. Teman-teman yang lain menunjuk-nunjuk dirinya sendiri seakan menunjukkan sekolah yang telah menerima mereka.

            Bunda mengajakku pulang terlebih dahulu untuk mengobrol denganku. Guruku merekomendasikan untuk aku masuk sekolah swasta yang lumayan elit. Aku mengikuti Bundaku pulang dan berdiskusi dengannya.

"Ayo Yuna mau masuk sekolah mana?" Tanya Bunda dengan nada datar.

"Gatau bunda." Jawabku lemas, aku benar-benar putus asa sekarang.

"Gini deh, kamu masuk SMP Krida Utama dulu ya? Yang direkomendasiin bu Sulgi tadi, gapapa swasta. Bagus ko."  Jelas Bunda membujukku.

            Aku benar-benar sudah putus asa, bingung harus masuk sekolah mana. Akhirnya aku mengiyakan kata-kata Bunda. Aku dan bunda kembali lagi ke sekolah untuk membayar uang pendaftaran, aku juga diajak guruku ikut mendaftar ke sana.

            Saat aku telah sampai di sekolah yang dituju, aku langsung masuk ke ruang pendaftaran bersama guruku. Di sana sudah sepi hanya tinggal beberapa orang saja. Guruku langsung menemui salah satu penyelenggara pendaftaran di sana. Namun fakta yang diketahui selanjutnya adalah pendaftarannya sudah ditutup. Guruku terus bernegoisasi dengan salah satu guru di SMP itu.

"Bu, satu lagi aja bu ini."

"Gabisa bu udah penuh."

"Bu satu ini aja ya bu?" Guruku terus memohon disini.

            Akhirnya aku diterima di sekolah tersebut. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Akhirnya aku hanya diam setelah menyelesaikan pendaftaran.

            Aku dan guruku langsung pulang. Di perjalanan beliau menceritakan bahwa sekolah itu cukup bagus. Saudaranya ada yang mendapat juara umum di sana dan beliau berharap aku juga sama sepertinya.

"Yuna, ibu suruh sekolah kesana itu bagus. Sekolahnya juga lumayan elit loh. Kalau kamu ke sekolah yang lain, sayang prestasi kamu." Ucap bu Sulgi kepadaku.

"Iya bu, makasih." Jawabku diiringi dengan anggukan pelan.

            Aku masuk ke rumah dan memberikan kertas penerimaan siswa baru kepada Bundaku. Di sana tertulis tanggal untuk daftar ulang. Aku harus menunggu dua hari untuk melakukan daftar ulang tersebut.

            Keesokan harinya aku kembali berbincang dengan Bunda tentang sekolah itu. Bundaku terus membujukku agar mau sekolah di sekolah itu. Namun aku selalu kesal, marah aku tidak mau sekolah di sana. Aku tidak mempunyai teman saat tahu aku daftar di sana. Setidaknya hanya untuk berangkat bersama.

            Sore hari saat aku sedang menonton TV tiba-tiba Bunda menghampiriku. Sekali lagi dia membujukku agar mau sekolah di sana. Aku sangat bebal waktu itu. Sehingga aku selalu murung dan marah jika ditanya sekolah di mana oleh teman-temanku. Karena hanya sebagian kecil yang tahu aku masuk sekolah swasta.

"Yuna, besok daftar ulang kan ya?" Tanya Bunda membuka suara.

"Iya." Jawabku malas.

            Aku benar-benar malas jika ditanya tentang sekolahan sekarang. Hatiku masih tidak bisa menerima aku ditolak di sekolah sebelumnya.

"Hei, kenapa?" Bunda lagi-lagi membuyarkan lamunanku.

"Bun, nggak bisa apa aku sekolah di SMPN 1 Cikalongwetan itu?" Tanyaku kepada Bunda yang dibalas gelengan kepala olehnya.

"Nggak bisa sayang, udah ya? Gapapa kok masuk swasta."

"Tapi Bun, temen aku ada loh yang masuk SMP favorit yang ada di Padalarang itu. Padahal nilaiku lebih tinggi darinya." Jelasku pada Bunda agar Bunda bisa berubah pikiran.

            Bukannya menanggapiku Bunda malah beranjak dari duduknya dengan wajah yang masam. Melihat peubahan ekspresi Bunda aku merasa bersalah. Aku berniat meminta maaf kepadanya.

"Bun-" Belum selesai menyelesaikan kalimat yang akan aku ucapkan, Bunda lebih dulu memotong perkataanku.

"Nih dengerin ya! Kamu ngaji kan? Kamu belajarkan nyuap itu dosa? Lewat jalur belakang itu dosa? Temanmu bisa saja melakukan itu. Tapi Bunda tidak mau. Bunda mengajarkan anak Bunda untuk jujur. Tidak apa-apa anak Bunda masuk swasta asal tetap belajar, asal tetap bisa sekolah. Atau kamu mau tahun depan aja sekolahnya? Bareng sama Yeri? Kalau mau seperti itu, Bunda besok tidak harus pergi ke sekolah barumu untuk daftar ulang. Biar saja kamu sekolah tahun depan." Ucap Bunda meluapkan emosinya yang sudah ditahan sejak tadi.

            Akupun kesal mendengar jawaban Bunda seperti itu. Aku langsung memasuki kamar dan membanting pintu lalu duduk termenung di atas kasur seraya memikirkan ucapan Bunda.

            Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB itu artinya Ayah sudah pulang. Tapi aku belum keluar kamar sejak Bunda menceramahiku. Aku masih kesal. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk.

Tok tok tok

"Yuna, bukain pintunya ya. Ayah mau bicara sama kamu." Ucap ayah di balik pintu.

"Kalo Ayah mau ceramahin aku juga mending gausah deh." Jawabku ketus.

"Engga. Ayah janji deh gaakan ceramahin kamu."

            Setelah Ayah berbicara seperti itu, aku pun langsung membuka pintu. Terlihat sesosok lelaki gagah dengan wajah bersinarnya di sana. Aku pun mematung di ambang pintu melihat wajah tegasnya dengan senyum yang terukir di bibirnya.

"Heh malah ngelamun, ngobrol yu di dalem." Ucap Ayah membuyarkan lamunanku.

"Ayo."

            Aku membuntuti Ayah yang berjalan lebih dulu memasuki kamarku lalu duduk di tepi kasur.

"Tadi Bunda bilang apa sama kamu? Sampe anak Ayah yang cantik ini ngambek. Jelek tahu kamu ngambek." Ucap Ayah sambil mencolek hidungku.

"Ih aku ngambek masih cantik ya." Jawabku dengan menjulurkan lidahku.

"Hm malah ganti topik, jadi gimana?" Tanya Ayah kepadaku.

"Ya gitu tadi Bunda ceramahin aku." Ucapku malas.

"Iya ceramahin apa kan Ayah gatau."

"Tadi aku minta Bunda buat bisa sekolah di sekolah negeri, yang ituloh yang aku daftar tapi nggak diterima. Tapi Bunda bilang sama aku, aku nggak boleh nyuap, nggak boleh masuk lewat jalur belakang. Terus Bunda juga bilang kalo aku nggak mau sekolah di sekolah swasta, aku sekolahnya tahun depan aja." Jelasku kepada Ayah.

Ayah mengangguk lalu tersenyum, "Yang dibilang Bundamu udah bener ko. Ayah pengen anak Ayah jujur, nggak bohong. Kalo kamu lewat jalur belakang tandanya kamu udah nggak jujur. Ayah sama Bunda nggak suka. Allah juga nggak suka. Jadi gapapa ya masuk swasta? Kamu masih bisa masuk sekolah negeri pas SMA loh."

"Ayah bener juga, makasih ya Ayah." Aku langsung menghambur ke pelukan Ayah.  

            Tanpa aku sadari, daritadi ada yang memperhatikan aku dengan Ayah. Di ambang pintu terlihat Bunda yang berjalan menghampiri kami lalu bergabung dengan pelukan hangat ini.

"Jadi Bunda besok ke sekolahmu jangan?" Goda Bunda kepadaku.

"Iyalah Bun, kan aku mau sekolah juga." Jawabku dengan muka yang ditekuk karena kesal setelah digoda Bunda.

            Bunda dan Ayah meninggalkanku di kamar. Aku langsung bergegas tidur karena tidak sabar besok akan bertemu teman baru.

            Keesokan harinya aku bangun tanpa dibangunkan oleh Bunda. Menyeret kakiku menuju dapur dan menemukan Bunda di sana dengan alat masaknya. Bunda tidak menyadari kehadiranku yang sedang memperhatikannya memasak.

"Yuna bangun, udah pagi." Teriak Bunda.

"Iya Bunda, Yuna udah bangun nih." Jawabku tak kalah semangat.

            Bunda terkejut mendengar teriakanku yang berada tepat di sampingnya. Melihatku dengan tatapan mengintimidasi lalu kembali fokus dengan masakannya.

"Ngagetin aja, gimana kalo Bunda jantungan?" Ucap Bunda tanpa melihatku.

            Aku hanya tersenyum imut agar tidak dimarahi lagi olehnya. Takut. Bunda galak. Lalu aku berjalan menuju meja makan menunggu makanan untuk disantap pagi ini.

            Seperti biasa kami sarapan pagi bersama. Kata Bunda sarapan pagi itu penting. Aku menurut saja, toh itu juga untuk kebaikanku. Hanya terdengar dentingan alat makan, suara sendok dan garpu yang bertabrakan. Sesekali diiringi dengan canda tawa dan lelucon garing yang keluar dari mulut Ayah.

"Cie yang jadi sekolah nih." Ledek Ayah kepadaku.

"Iyalah, aku gamau ya nunggu setahun." Jawabku ketus diiringi oleh putaran bola mataku.

"Pinter." Jawab Ayah sambil mengacungkan dua jempolnya.

Bunda tertawa melihatku dengan Ayah yang sering adu pendapat di pagi hari.

"Bunda kasih tahu nih ya, kamu nggak keterima di sekolah negeri itu udah takdir. Mau bagaimanapun usaha kamu, kalau Allah nggak ngizinin ya nggak bakalan dapet. Sekarang kamu sekolah di swasta juga udah takdir dari Allah. Mungkin kamu bisa jadi lebih baik kalau masuk swasta daripada masuk negeri. Yuk berangkat sekarang, ntar kamu telat loh kan nggak lucu baru masuk udah telat." Ajak Bunda kepadaku.

"Semangat anak Ayah." Ucap Ayah sambil mengecup keningku.

            Aku dan Bunda bergegas pergi menuju sekolah baruku. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 10 KM dari rumah. Tapi aku tidak keberatan. Karena mencari ilmu itu wajib hukumnya.

            Benar kata Bunda, semua kejadian pasti ada hikmahnya. Aku bersyukur bisa masuk sekolah ini. Selama sekolah di sini aku dijadikan salah satu pengurus OSIS dan ekstrakulikuler yang aku geluti.  

            Aku juga bersyukur mempunyai Ayah dan Bunda yang pengertian. Mereka selalu memberiku semangat. Tidak pernah meninggalkanku saat aku jatuh. Sejatinya orang tua akan menyayangi anaknya sendiri. Walau kelihatannya mereka cuek. Tapi hanya penyampaiannya saja yang berbeda. Sebenarnya mereka sangat menyayangi anaknya. Bunda seperti malaikat tak bersayap dan Ayah seperti pahlawan tanpa batas.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun