"Oh, enggak, Bu. Wati sehat kok," sangkal Wati.
"Tapi suaramu kok beda, Nak?" tanya ibunya penasaran. Suara Wati terdengar seperti orang yang sedang pilek.
"Wati hanya pilek, Bu," balas Wati untuk menutupi rasa sedihnya. Dia menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya dan mencoba untuk menahan tangisnya dari hadapan wanita yang paling dia sayangi.
"Syukurlah kalau begitu. Kamu harus banyak makan buah, ya, Nak," ucap ibunya, disusul balasan 'iya' dari mulut Wati.
"Kapan kamu main ke sini, Nak? Apa enggak kangen sama Ibu? Sudah lama loh kamu dan suamimu enggak ke sini. Ajaklah dia tidur di sini," cecar wanita itu.
Wati diam sesaat. Sepertinya, hati ibunya dan Wati sudah terkoneksi dengan baik dengan dirinya. Baru beberapa menit yang lalu Wati menyatakan keinginannya kepada Dani untuk pergi ke rumah ibunya, ibunya sudah menelepon.
"Kata mas Dani, kami ke sana waktu libur, Bu. Wati juga kangen Ibu," jawab Wati singkat.
"Udah ada tanda-tanda belum, Nak?" tanya ibunya.
Nyes! Hati Wati terasa teriris, sakit sekali. Wati tahu arah pertanyaan ibunya itu.
"Belum, Bu. Doakan, ya, Bu," jawab Wati. Dia memaksakan untuk bersikap tegar. Untung saja ibu meneleponnya tanpa melihat wajah. Jadi, beliau tidak akan tahu raut wajah Wati saat menjawab pertanyaan tadi.
"Banyak-banyak makan kecambah, istirahat yang cukup, dan banyak berdoa. Yang memberikan keturunan itu Allah, kita hanya diminta berusaha semaksimal mungkin. Meskipun Ibu pengen menimang cucu, Allah Maha Tahu dan Maha Mengatur perihal anak ini."