Setelah mendengarkan nasihat Vita, Wati mulai menimbang apakah harus dia teruskan atau dipendam saja anjuran sahabatnya itu. Setelah mempertimbangkan dengan saksama, akhirnya Wati memutuskan untuk membiarkannya saja. Dia tidak akan bertanya lagi kepada Dani soal keinginannya memiliki anak. Cukup sekali saja dia melakukan hal itu.
***
"Boleh aku refreshing ke tempat Ibu, Mas?" tanya Wati ketika menemani Dani sarapan di suatu pagi. Sesaat tangan Dani berhenti dari menyuap nasi goreng ke mulutnya. Beberapa detik matanya melirik ke arah Wati dengan tatapan bingung, lalu melanjutkan makannya.
"Kenapa? Kamu bosan?" tanyanya datar tanpa menatap Wati.
"Kita sudah lama enggak ke tempat Ibu, Mas. Aku kangen Ibu dan Ayah," jawab Wati lirih.
"Nantilah. Kalau soal kangen, kamu bisa video call, 'kan?" tolak Dani, lalu meneguk air minum dan bangkit dari kursi. Wati terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa jika Dani sudah memutuskan.
"Kalau kamu mau ke tempat ibumu, tunggu aku libur," ucap Dani sambil menenteng tas kantornya menuju pintu depan. Wati masih belum beranjak dari meja makan. Pikirannya kosong, entahlah apa yang dipikirkannya.
Krek! Bunyi pintu yang ditutup dengan kasar tidak menghentikan lamunan kosong Wati. Wajahnya datar melihat meja makan kayu yang ada di depannya. Jemari tangannya ditangkup dan digerakkan dengan cepat tanpa arah.
Rumah yang ditempati Wati dan Dani telah menjadi saksi bisu perjalanan bahtera rumah tangga mereka. Meskipun rumah itu tampak megah setelah direnovasi oleh Wati saat bekerja dulu, kebahagiaan dan keceriaan tidak lagi dirasakan penghuninya. Jiwa Wati seakan mati.
Lamunan Wati buyar saat dering telepon menyapa telinganya. Wati segera mengambil ponsel itu dari atas rak buku. Tanpa melihat nomor yang masuk, Wati langsung mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Wati dengan lirih.
"Wa alaikum salam, kenapa kamu, Nak? Kamu sakit, ya?" tanya suara yang membuat Wati tiba-tiba menitikan air mata. Rasa kangennya kepada sang ibu membuat air matanya seketika mengalir.