"Bagaimana bukunya?"
"Bukunya bagus dan pengalamannya baik."
"Terus ...."
"Ya, aku masih tidak mengerti alasanmu berubah?"
"Oh, itu. Entahlah, aku rasa itu adalah hidayah."
"Hidayah? Apa itu?"
"Petunjuk agar aku menjadi lebih baik. Karena aku tidak tahu kapan ajal menjemputku, maka aku bertekad harus segera berubah menjadi baik."
"Aku...."
"Ya sudah. Istirahatlah dulu. Nanti kita ngobrol lagi ya."
Dia menutup teleponnya dengan ucapan salam. Meskipun tomboi, Ifa tidak pernah terlihat tersentuh oleh tangan laki-laki. Sikapnya yang ceplas-ceplos sangat berbeda dengan kesukaannya membaca buku. Baginya membaca itu penting dan menjadi supel juga penting.
Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang panjang bagiku. Aku akan membaca kembali buku si Abang dengan penuh perasaan. Mungkin aku akan mendapatkan hidayah seperti yang dikatakan oleh Ifa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H