"Tunggu, Mbak. Ini bonus untuk Mbak."
"Wah, terima kasih ya, Bang."
Dia tersenyum, pulang ke rumah. Sebelum menaiki motornya, dia melirik buku yang menjadi bonus pembeliannya. Sebuah buku yang membuat dia tertegun sesaat. Buku fiksi berjudul Hijrah itu telah membuat Ifa ingin segera membacanya.
***
Kehidupan keluarganya yang kaya tidak membuat Ifa malu bersahabat denganku. Sebagai seorang sahabat akulah yang harusnya minder berteman dengannya.
"Fa, hari ini tidak beli buku ya?"
"Ih, kamu ini. Masa' beli buku setiap hari sih. Uang jajanku sudah habis. Aku tidak mau minta lagi sama Mama dan Papa. Malu," katanya.
"Terus, kapan kamu mau ke lapak buku itu lagi?"
"Nantilah. Ini saja belum sempat aku baca. Aku mau baca bonus yang dikasih si Abang dulu."
"Wah, boleh aku baca, Fa?"
"Tunggu antrianlah. Kalau aku sudah, aku kasih kamu deh."
"Iya, tetapi isinya apa sih?"
"Ya, tentang perubahan pada seseorang, tetapi diceritakan dengan narasi yang baik. Nanti aku ceritakan ya."
"Tidak mau ah! Aku mau baca sendiri. Tidak seru kalau diceritakan."
Seminggu sudah dia melahap habis buku yang dibelinya itu. Bonusnya pun sudah dibaca pula. Untuk ukuran seorang pembaca buku, dia termasuk hebat. Bukunya sudah menumpuk di kamar dan semuanya sudah selesai dibaca. Kamar kecilnya sudah berubah menjadi perpustakaan mini.