Mohon tunggu...
Melia Putri Purnama Sari
Melia Putri Purnama Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sistem Pembagian Warisan Menurut Burgerlijk Wetboek dan Faraidl Dilengkapi Contoh Penghitungannya

29 Oktober 2023   18:59 Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:12 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan waris mungkin sudah tidak asing didengar, karena kerap kali menjadi topik hangat untuk diperbincangkan pada setiap keluarga. Apalagi di Indonesia yang memiliki beragam suku, budaya dan agama sebagaimana semboyan "Bhineka Tunggal Ika", mengakibatkan persoalan pembagian waris ini dapat dilihat dari berbagai kerangka hukum. Sehubungan dengan itu, saat ini terdapat 3 sistem pembagian waris yang berlaku di Indonesia, meliputi Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata), Hukum Islam, dan Hukum Adat.

Dari ketiga sistem pembagian waris tersebut, yang membedakannya dapat kita ketahui pertama untuk yang beragama Islam, maka dilakukan pembagian waris menggunakan ajaran hukum islam atau yang sering disebut sebagai ilmu faraidh. Kedua, bagi yang beragama non muslim seperti halnya yang menganut agama Hindu, Budha, Kristen, dan sebagainya, dapat menggunakan ketentuan pembagian waris berdasarkan BW atau KUHPerdata. Sementara, ketiga yaitu ketentuan waris yang berdasarkan hukum adat atau dapat dikenal hukum waris adat ini diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia yang memiliki budaya atau suku adat dan kepercayaan pada leluhurnya sangat kental, dengan kata lain pada umumnya hukum waris adat terdapat pada setiap Masyarakat Hukum Adat. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa persoalan waris ini tidak serta merta langsung saja untuk di bagikan, tetapi harus sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku di mana didasarkan pada sistem pembagian yang mereka ambil.

Untuk selanjutnya, pembahasan kali ini hanya akan menjelaskan lebih lanjut mengenai hukum waris berdasarkan BW dan Hukum Islam saja.

Hukum Waris Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata)

Umumya yang kita ketahui mengenai Hukum waris pasti berkaitan dengan harta kekayaan yang dibagikan kepada ahli waris. Sementara itu, menurut pakar hukum yaitu Pitlo mengemukakan hukum waris adalah suatu rangkaian dari berbagai ketentuan yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang, serta macam-macam akibat dalam kebendaan yang diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungan antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.

Kemudian, terdapat ciri-ciri dari adanya sejumlah warisan yang dapat kita ketahui dari beberapa unsur waris berikut:

  • Ada subjek hukum waris yaitu : pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk berdasarkan wasiat.
  • Peristiwa hukum yaitu : meninggalnya pewaris
  • Hubungan hukum waris yaitu : hak dan kewajiban ahli waris
  • Objek hukum waris yaitu : harta warisan atau peninggalan

Dari unsur-unsur di atas mengantarkan kita kepada pertanyaan apa yang menjadi dasar hukum dari persoalan tersebut dan untuk siapa sajakah yang berhak menerima warisan itu?

Ketentuan Hukum waris sejatinya telah diatur dalam buku II KUHPerdata yang kemudian menjadi legalitas dari pengaturan pembagian waris. Di dalam KUHPerdata warisan dapat diperoleh karena 2 cara, yaitu: ahli waris menurut undang-undang (Ab Intestato) dan ahli waris yang ditunjuk oleh keterangan wasiat (testamenter). Kedua hal tersebut telah menunjukkan bahwa merekalah yang berhak mendapatkan warisan atau ahli waris yang sah.

Adapun 4 (Empat) Golongan Ahli Waris Menurut Undang-undang (Ab Intestato)  menurut Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata, terdapat 4 golongan yang terdiri dari:

  • Golongan I    : Anak-anak beserta turunan dalam garis ke bawah dan isteri, termasuk isteri kedua. (Pasal 852 juncto Pasal 852a BW)
  • Golongan II   : Orang tua dan saudara sekandung, seayah, seibu. (Pasal 854 juncto Pasal 857 BW)
  • Golongan III : Nenek, kakek/leluhur/ keluarga dalam garis lurus ke atas. (Pasal 853 BW)
  • Golongan IV : Keluarga sedarah ke samping hingga tingkat keenam. Mereka ini ialah saudara sepupu baik dari pihak ayah ataupun ibu. (Pasal 861 juncto Pasal 858 BW)

Keempat golongan di atas dapat mewaris karena kedudukan sendiri (Uiteigen hoofed) serta bisa juga karena penggantian tempat (Bij Plaatsvervulling). Keempat golongan ini pun dapat mewaris berdasarkan asas perderajatan, artinya keluarga yang lebih dekat menutup peluang keluarga yang lebih jauh. Akan tetapi terdapat pengecualian yaitu apabila golongan III dan golongan IV bersama-sama menjadi ahli waris sehingga dapat terjadi pembagiannya pada keluarga yang lebih jauh.

Di samping itu, warisan juga bisa dimiliki oleh negara apabila timbul persoalan keempat golongan ahli waris ab intestato ini tidak terdapat ahli waris yang mengakibatkan harta warisan tersebut akan jatuh ke tangan negara sebagai pemilik warisan bukan sebagai ahli waris. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 832 ayat (2) juncto Pasal 520 KUHPerdata. Namun, fenomena demikian naasnya sangat tidak mungkin terjadi karena pasti akan selalu ada ahli waris lain jika tidak terdapat wahli waris utama. Lebi jauh persoalan ini memang jarang ditemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun