Dengan adanya keleluasaan yang terlalu besar, praktik pengambilan keputusan menjadi sangat subyektif dan rentan terhadap potensi penyalahgunaan.Â
Dalam banyak kasus, pengambilan keputusan yang tidak diawasi dengan ketat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan yang akhirnya dapat mengarah pada korupsi. Kekuasaan tanpa kontrol yang efektif adalah faktor utama yang memicu terjadinya praktik-praktik tidak etis dalam pemerintahan dan organisasi.
3. Kurangnya Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas mengacu pada kewajiban bagi pengambil keputusan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka kepada publik atau otoritas yang lebih tinggi. Ketika akuntabilitas rendah, pengambil keputusan merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakannya kepada siapa pun, yang membuka peluang bagi mereka untuk melakukan korupsi tanpa takut dihukum.Â
Dalam sistem yang kurang transparan, pejabat tidak merasa terikat untuk menjaga integritas dalam pengelolaan anggaran atau kebijakan publik. Ini memperburuk situasi karena tidak ada mekanisme yang efektif untuk mengaudit atau mengevaluasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat. Akuntabilitas yang rendah menyebabkan tidak adanya tindak lanjut terhadap penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Why: Mengapa Teori Ini Relevan untuk Kasus di Indonesia?
Teori CDMA sangat relevan dengan kondisi Indonesia, di mana birokrasi yang rumit dan sistem pemerintahan yang penuh dengan celah memberikan peluang besar bagi terjadinya korupsi. Indonesia, sebagai negara yang memiliki berbagai sektor yang dikelola oleh pemerintah, menghadapi tantangan besar dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam pengelolaan anggaran dan proyek-proyek publik.
1. Monopoli Kekuasaan:Â Di Indonesia, terdapat sektor-sektor tertentu di mana hanya segelintir pihak yang memiliki wewenang untuk mengelola keputusan penting. Misalnya, dalam proyek-proyek besar di sektor infrastruktur atau administrasi publik, keputusan-keputusan penting sering kali hanya dikuasai oleh beberapa pejabat atau individu yang memiliki kedudukan tertentu.Â
Hal ini membuat tidak ada pihak lain yang dapat mengawasi atau mengimbangi pengambilan keputusan, yang pada gilirannya mempermudah terjadinya praktik-praktik korupsi. Situasi ini menciptakan ketidakadilan karena banyak pihak yang seharusnya ikut terlibat dalam pengambilan keputusan tidak diberikan akses yang sama.
2. Keleluasaan dalam Pengambilan Keputusan:Â Banyak pejabat di Indonesia memiliki keleluasaan besar dalam pengambilan keputusan, misalnya dalam menetapkan anggaran untuk proyek-proyek pemerintah atau dalam memilih rekanan proyek. Keleluasaan ini membuka peluang bagi pejabat untuk melakukan penyelewengan atau pemilihan rekanan proyek yang tidak profesional hanya karena adanya hubungan pribadi atau keuntungan bersama.Â
Kebebasan ini memungkinkan mereka untuk menetapkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar yang seharusnya, yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakat.
3. Rendahnya Akuntabilitas: Dalam banyak kasus, sistem akuntabilitas di Indonesia masih sangat lemah. Kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran publik serta keterbatasan dalam hal pelaporan dan audit menyebabkan pejabat merasa aman melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Sering kali proses hukum berjalan lambat, atau bahkan terhambat, yang memberikan kesempatan bagi pelaku korupsi untuk menghindari hukuman yang seharusnya dijatuhkan.
How: Analisis Kasus Korupsi e-KTP Menggunakan Teori Klitgaard
Kasus korupsi proyek e-KTP adalah contoh nyata bagaimana teori Klitgaard dapat diterapkan di Indonesia. Proyek ini, yang awalnya dimaksudkan untuk memperbaharui sistem administrasi kependudukan di Indonesia, berakhir menjadi salah satu kasus korupsi terbesar di negara ini.