Silat merupakan bela diri tradisional Nusantara yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2019. Seni bela diri yang memiliki ciri khas gerakan seperti tarian namun mematikan ini merupakan simbol bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan kearifan lokal sekaligus menjadi simbol bangsa petarung yang telah dilestarikan selama berabad-abad.
PencakNamun, saat ini seni bela diri ini menghadapi tantangan serius. Alih-alih dikenal sebagai simbol persaudaraan dan kearifan lokal, pencak silat justru kerap dikaitkan dengan konflik antar-pesilat yang berujung pada tawuran. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat banyak kasus kekerasan yang melibatkan oknum kelompok pencak silat. Sepanjang tahun 2024 saja, sudah terjadi beberapa kasus tawuran yang melibatkan anggota perguruan silat. Dilansir dari BeritaSatu, terjadi tawuran yang melibatkan ratusan pesilat di Lamongan pada Februari 2024. Kemudian, menurut Kompas Regional, pada Oktober 2024, kasus serupa juga terjadi di Tulungagung.
Dampak Tawuran Pencak Silat
1. Korban Jiwa dan Konflik Berkelanjutan
Seperti kasus tawuran yang sudah terjadi sebelumnya, insiden tawuran tentu akan menimbulkan korban jiwa. Jika terus dibiarkan tanpa tindakan yang serius, maka akan berpotensi menimbulkan konflik balas dendam berkelanjutan, yang mana juga akan berpotensi menimbulkan korban jiwa lebih banyak.
2. Kerusakan Material
Rumah warga, tempat latihan, tugu perguruan dan fasilitas umum kerap menjadi sasaran luapan amarah Ketika terjadi tawuran, tentunya hal ini dapat menyebabkan kerugian material dari berbagai pihak.
3. Stigma dan Persepsi Negatif
Tawuran bukanlah perbuatan positif. Masyarakat akan memberikan stigma dan persepsi negatif terhadap pencak silat, sehingga akan merusak citra serta marwah pencak silat. Masyarakat juga akan merasa takut dan tidak aman jika berdekatan dengan anggota perguruan silat.
4. Menurunnya Minat Masyarakat
Jika citra pencak silat sudah buruk di mata masyarakat, tidak menutup kemungkinan masyarakat akan enggan mengikuti latihan silat. Hal ini dapat mengancam eksistensi pencak silat di masa depan jika pelestarinya semakin berkurang.
Ancaman Pidana Bagi Pelaku Tawuran
1. Perusakan Fasilitas
Tindakan tawuran yang menyebabkan kerusakan pada fasilitas umum atau milik pribadi dapat dijerat dengan Pasal 406 KUHP tentang perusakan. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
2. Pengeroyokan
Jika tawuran melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama melakukan kekerasan, maka dapat dikenakan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 5 tahun 4 bulan.
3. Penganiayaan
Tindakan kekerasan fisik selama tawuran dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
4. Mengakibatkan Luka Berat
Apabila dalam tawuran ada pihak yang menderita luka berat, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 358 KUHP tentang menyebabkan luka berat. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 7 tahun.
5. Pembunuhan
Jika tawuran mengakibatkan korban jiwa, pelaku dapat dikenakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Ancaman hukumannya adalah penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
Faktor-Faktor Penyebab Tawuran Pencak Silat
Menurut beberapa artikel ilmiah yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, fenomena tawuran antar-pesilat memiliki berbagai penyebab, antara lain:
1. Fanatisme dan Provokasi di Dunia Nyata dan Media Sosial
Fanatisme berlebihan terhadap perguruan silat yang telah mengakar sering kali menimbulkan provokasi. Oknum pesilat yang merasa perguruan silatnya lebih superior kerap memprovokasi perguruan lain yang dianggapnya kurang superior. Provokasi ini dapat berupa konvoi, pembubaran tempat latihan, perebutan atribut perguruan silat lain secara paksa, dan tindakan serupa. Provokasi tidak hanya terjadi di dunia nyata, beberapa oknum juga sering melakukan ejekan dan tantangan melalui media sosial seperti Facebook dan TikTok, yang kemudian berujung pada tawuran di dunia nyata.
2. Balas Dendam dan Kompetisi Eksistensi
Konflik sering dipicu oleh balas dendam akibat permasalahan sebelumnya, seperti insiden kekerasan atau hinaan antar-anggota perguruan. Selain itu, sifat kompetitif antar-perguruan untuk menunjukkan siapa yang "lebih kuat" atau lebih berpengaruh di masyarakat juga memperburuk situasi. Perguruan yang merasa tersaingi sering kali terlibat dalam tindakan agresif demi mempertahankan eksistensi mereka.
3. Perbedaan Latar Belakang dan Ajaran
Perguruan yang memiliki perbedaan pandangan atau ajaran tertentu sering kali gagal menemukan titik temu, yang akhirnya memicu perselisihan. Misalnya, metode pelatihan atau filosofi bela diri yang berbeda dapat menjadi bahan perdebatan dan ejekan, yang berujung pada konflik. Ketidakmampuan untuk saling menghormati perbedaan ini semakin memperburuk hubungan antar-perguruan.
4. Persaingan dalam Ajang Kejuaraan
Ajang kompetisi yang seharusnya menjadi arena persaudaraan terkadang justru menjadi medan rivalitas yang tidak sehat. Ketegangan sering muncul ketika salah satu perguruan merasa dirugikan oleh keputusan wasit atau hasil pertandingan. Hal ini kemudian memicu konflik antar-pesilat maupun antar-pendukung yang dapat berlanjut menjadi tawuran di luar arena kompetisi.
5. Emosi Labil dan Kenakalan Remaja
Sebagian besar anggota perguruan silat berusia remaja. Remaja yang umumnya memiliki emosi labil sering kali mudah terpancing. Tawuran pencak silat kemudian menjadi ajang bagi mereka untuk melampiaskan kenakalan dan emosi yang tidak terkendali.
6. Kurang Memahami Ajaran Perguruan Silat
Pada dasarnya, semua perguruan silat mengajarkan bela diri untuk tujuan kebaikan. Setiap perguruan memiliki falsafah masing-masing yang mengajarkan para pendekarnya untuk berbudi luhur. Namun, oknum pesilat yang terlibat tawuran sudah pasti lupa atau bahkan kurang memahami ajaran dan falsafah perguruannya.
Solusi dan Tindakan Pencegahan Tawuran Pencak Silat
1. Pengetatan Pengawasan oleh Aparat dan Developer Media Sosial
Pengawasan dari pihak kepolisian sudah menunjukkan hasil yang baik, tetapi masih perlu ditingkatkan. Langkah preventif seperti melarang penggunaan atribut atau kaos bermuatan provokatif harus ditegakkan secara konsisten. Aparat juga perlu memastikan bahwa tindakan kecil yang berpotensi menjadi pemicu konflik, seperti konvoi provokatif atau pembubaran tempat latihan secara ilegal, dapat dicegah sejak dini.
Di sisi lain, peran developer media sosial seperti TikTok dan Facebook juga sangat penting. Mereka harus proaktif menindak konten provokatif dengan melakukan takedown video atau unggahan yang mengandung ejekan, tantangan, atau propaganda bermuatan konflik. Kolaborasi antara aparat dan platform media sosial akan menjadi benteng utama dalam mencegah konflik di dunia nyata.
2. Sanksi Tegas dari Pengurus Perguruan
Perguruan silat memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anggotanya. Sanksi tegas harus diberikan kepada anggota yang menunjukkan perilaku provokatif, baik di dalam maupun di luar komunitas. Teguran langsung atau bahkan pengeluaran dari perguruan adalah langkah yang harus ditempuh untuk memberikan efek jera. Pengurus perguruan juga harus tegas menolak memberikan perlindungan kepada anggota yang terlibat tawuran atau tindakan kriminal lainnya. Pendekatan ini akan menciptakan disiplin internal yang kuat sekaligus menjaga nama baik perguruan.
3. Forum Komunikasi Antar-Perguruan
Pihak kepolisian dan pengurus perguruan perlu secara rutin mengadakan forum komunikasi terbuka. Forum ini dapat menjadi wadah untuk membangun dialog, mengenalkan filosofi masing-masing perguruan, dan menjalin hubungan yang lebih harmonis antar-perguruan. Dengan adanya komunikasi yang intensif, kesalahpahaman yang selama ini menjadi pemicu konflik dapat diminimalisasi. Forum semacam ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat kesepakatan bersama tentang kode etik yang berlaku lintas-perguruan.
4. Seleksi Pelatih Berkualitas
Pelatih memiliki peran vital dalam membentuk sikap dan pemahaman pesilat. Oleh karena itu, proses seleksi pelatih harus lebih ketat untuk memastikan bahwa hanya pelatih yang memiliki kompetensi, integritas, dan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai luhur pencak silat yang diizinkan melatih. Beberapa kasus menunjukkan adanya pelatih yang menggunakan metode latihan keras, berunsur perpeloncoan, dan kekerasan semata. Hal ini hanya akan menanamkan mentalitas agresif pada murid. Pelatih yang berkualitas akan mampu memberikan pengajaran yang tidak hanya berfokus pada teknik bela diri, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika, persaudaraan, dan penghormatan terhadap sesama.
Terlepas dari kasus kekerasannya, pencak silat adalah warisan budaya yang perlu dilestarikan oleh masyarakat. Dengan melakukan tindakan preventif dan korektif, tawuran perguruan silat dapat diminimalkan, dan esensi sejati dari pencak silat sebagai olahraga dan seni bela diri yang mengajarkan kedisiplinan, kehormatan, serta penghargaan terhadap sesama bisa tetap terjaga. Tindakan preventif seperti edukasi, pembinaan karakter, dan dialog antar-perguruan akan memperkuat pemahaman yang benar tentang nilai-nilai pencak silat. Sementara itu, tindakan korektif akan membantu menanggulangi dampak negatif yang mungkin timbul serta memperbaiki perilaku anggota perguruan yang terlibat dalam kekerasan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, perguruan silat, dan masyarakat, diharapkan pencak silat dapat tetap berkembang dengan baik dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa tanpa mengorbankan keselamatan atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H