Dear Ahok,
Apa kabar lo hari ini?
Jadi kemarin lo meluncurkan buku "Kebijakan Ahok". That's cool, man. Selamat!
Anyway, gw menulis surat ini, bukan karena buku lo. Tapi karena berita lo ingin jadi tim sukses salah satu Capres, sekeluar lo dari penjara nanti.
Sebelumnya monmaap Hok, gw termasuk yang agak sinis saat foto tulisan tangan lo yang meminta Ahoker mendukung salah satu Capres, viral di medsos. Perlu kiranya gw jelaskan pada lo, bahwa sebagian orang yang mendukung lo adalah mereka yang konsisten menjunjung dan memperjuangkan nilai-nilai moderat-progresif-pluralis. Jadi mereka setia pada NILAI, bukan pada FIGUR. Seperti sudah gw tegaskan di Surat Ungu jilid 1:
"Hok. Lo jangan ge-er. Gw tidak sedang membela elo. Sesungguhnya gw sedang membela kebenaran, keadilan dan memperjuangkan kembalinya akal sehat ke republik ini. Dan kita sama-sama berjuang, agar NKRI tak dicaplok oleh sekelompok kecil umat yang bercita-cita mengganti dasar negara Pancasila."
Ketika figur Capres yang lo dukung justru mengambil langkah blunder yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka yakini, maka "surat perintah" dari lo itu tak akan mampu menggiring dukungan mereka. Bahkan, asal lo tau aja, mereka tak sudi dipanggil Ahoker. Mereka lebih suka mengklasifikasikan diri sebagai warga negara yang senantiasa menjaga kewarasan dengan siap sedia mengapresiasi maupun mengkritisi secara terukur tokoh publik yang mereka dukung.
Dan, blunder itu adalah figur sang Cawapres.
Secara pribadi, Capres yang lo dukung, sebutlah namanya Pak Dilan, sebenarnya telah memilih figur calon pendamping berkarakter moderat-progresif-pluralis sesuai kriteria yang disuarakan basis pendukungnya. Dialah calon yang diminta menunggu di restoran sekitar Plataran Menteng hingga 1 jam sebelum deklarasi Cawapres Pak Dilan. Sampai the last hour, Pak Dilan masih coba mem-push gol-nya calon tersebut. Segala instrumen telah diberdayakan termasuk pengaruh Yenny Wahid. Apa daya para putra-putri mahkota parpol koalisi yang entitled untuk pertarungan 2024 mendadak menarik dukungan lalu menyorongkan calon masing-masing. Semua mentah di the last hour.
Begitulah kelakuan putra-putri mahkota itu. Tak ada dalam agenda mereka memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. NIHIL!Â
Satu hal yang menjadi pelajaran pahit bagi kita semua dari drama penentuan cawapres kemarin adalah, JANGAN TETAPKAN CAWAPRES DI LAST MINUTE PENUTUPAN PENDAFTARAN! Sekeras apapun jurus ngeles Romahurmuziy-Imin and the gank, publik waras tak bisa dibohongi bahwa cawapres final Pak Dilan bukanlah pilihan optimal, melainkan pilihan under-pressure.Â
Hok,
Gw yakin lo tau. Ada dua hal yang menjadi sumber keberatan sebagian konstituen Pak Dilan terhadap sosok Cawapresnya. Pertama, sang Cawapres jelas figur penganut nilai-nilai konservatif dan sektarian yang bertolak-belakang dengan platform mereka. Dengan menjadikan beliau Cawapres, nilai-nilai tersebut tak terhindarkan akan makin mengemuka menjadi narasi publik di 2019-2024, andai Pak Dilan menang. Di tahun 2024, akan sulit membalikkan tren politiknya; ini ancaman serius bagi keberlangsungan konsolidasi demokrasi Indonesia.Â
Menurut para pejuang HAM, fatwa-fatwa yang dibidani sang Cawapres --kesesatan Ahmadiyah dan Syiah, keharaman Pluralisme, Sekularisme, Liberalisme---turut berkontribusi melahirkan tindak-tindak anarkis dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan. Â
Setara: Ma'ruf Amin Aktor Kunci Fatwa Intoleran MUI
Ma'ruf Amin Jadi Cawapres Jokowi: Akan Seperti Apa Nasib Minoritas di Indonesia?
Bahkan, fatwa keharaman bunga bank yang juga dibidani beliau sempat dikhawatirkan menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional. Â Â
KH Ma'ruf Amin dan Kontroversi Fatwa Bunga Bank Haram
Yang tak kalah ajaib tentunya fatwa keharaman layanan BPJS kesehatan, yang lagi-lagi dibidani oleh beliau.
Fatwa MUI tentang BPJS picu polemik
Kedua, masalah kasus investasi bodong GTIS yang memakan ribuan korban dengan jumlah kerugian trilyunan rupiah.
Dua Petinggi MUI Terseret Investasi Bodong GTIS.
Masih ingat kasus penipuan jamaah umrah First Travel? Kenapa banyak orang memilih First Travel diantara begitu banyak travel haji/umrah bonafid? Karena murah. Kenapa orang berbondong-bondong berinvestasi di GTIS diantara begitu banyak produk investasi bonafid? Karena ada stempel halal dari MUI, yang lagi-lagi dibidani Sang Cawapres.Â
Beliau bahkan secara aktif berkeliling presentasi meng-endorse GTIS. Ketika pemilik GTIS kabur menggondol uang nasabah trilyunan rupiah, tentu saja ribuan nasabah tersebut menuntut pertanggungjawaban MUI sebagai pemberi stempel halal sekaligus sebagai pendiri dan pemilik 10% saham GTIS. Bayangkan, ribuan orang terzalimi dengan nilai fantastis. Kalau dipikir-pikir, ini efeknya lebih dahsyat dari kasus korupsi.
Dari sisi korban GTIS, jelas penyelesaian yang adil cuma dua: kerugian mereka diganti, atau pihak-pihak yang dianggap "menjerumuskan" mereka harus diadili secara hukum, sebagaimana telah diputuskan secara hukum untuk pemilik First Travel.
Penyelesaian kasus ini masih menggantung sampai sekarang.
Lalu apa respon nampol team Pak Dilan atas kedua concern tersebut?
Pertama, mengkoleksi 100 orang jubir kampanye, termasuk Farhat Abbas dan Sunan Kalijaga. Kedua, Sang Cawapres akan menemui dedengkot preman berjubah yang sudah setahun lebih kabur dari tanah air.
Tidakkah kita merasa pening, lalu mencari petasan untuk dikunyah-kunyah? Mau sampai titik mana nalar kita ini di-challenge?
Para pendukung militan Pak Dilan sering berkilah ini semua demi realita politik. Kesampingkan segala  idealisme, etika dan moral politik. Yang penting 2019 menang!
Baiklah, kalau begitu mari kita hitung-hitungan dengan basis realita politik.
Di 2014, Pak Dilan hanya menang tipis, 6% dari lawannya. Banyak analis yang menilai angka 6% tersebut disumbangkan oleh swing voter dan "golput turun gunung". Â Siapa swing voter dan golput turun gunung tersebut? Ya mereka yang sedari tadi gw deskripsikan di atas.Â
Mereka yang konsisten menjunjung nilai-nilai moderat-progresif-pluralis. Mereka yang tak mudah dipuaskan hanya dengan prestasi pembangunan infrastruktur.Â
Mereka yang memberi bobot tinggi pada jaminan konsolidasi dan masa depan demokrasi Indonesia. Mereka yang ogah tersandera petuah "choose the lesser evil". Mereka yang dituduh baperan bin labil padahal sesungguhnya sedang menjalankan fungsi kontrol warga negara terhadap rezim yang sedang berkuasa.
Secara jumlah, mungkin pendukung militan Pak Dilan lebih banyak dari golputer dan swing voter. Tapi, jangan lupa, jumlah pendukung militan Pak Dilan bisa jadi seimbang pula dengan jumlah pendukung militan lawannya.
Jadi? Yup. Penentu kemenangan adalah golputer dan swing voter.
Maka, kalau mau menang, kembalilah pada jalan yang diridhoi para golputer. Jalan moderat-progresif-pluralis.
Realita kedua. Pilihan Cawapres Pak Dilan jelas menggarami luka para korban GTIS kembali. Efek negatifnya terhadap elektabilitas Pak Dilan tidak bisa dianggap remeh mengingat ribuan korban ini punya keluarga, saudara, teman, kenalan, atasan, bawahan, pacar, WhatsApp Group, Instagram dan sebagainya.Â
Jumlah ribuan itu bisa mem-bola salju menjadi jutaan. Dan pemerintahan Pak Dilan harus siap terkena getah tuntutan penyelesaian hukum yang seadil-adilnya atas kasus investasi bodong GTIS ini, gegara sang pemberi stempel halal malah di-Cawapres-kan.Â
Lalu gimana gimana gimana dong? Beliaunya sudah terlanjur dipilih Pak Dilan?
Gasah panik gaes. Semua ada solusinya.
Terkait track record sektarianisme dan produk-produk fatwa diskriminatif besutan Sang Cawapres, solusinya adalah beliau harus mampu meyakinkan konstituen Pak Dilan bahwa beliau sudah berubah menjadi penganut nilai-nilai moderat-progresif-pluralis. Bahwa beliau akan memperjuangkan nasib kaum minoritas keagamaan di negeri ini.Â
Setidaknya, konstituen punya harapan bahwa konservatisme dan sektarianisme tidak mendominasi narasi publik selama 2019-2024. Tahun 2024 dan seterusnya, mari kita berjuang lagi. Golputer itu gak neko-neko kok. Diberi harapan saja mereka bisa luluh. Lha kalau harapan saja nihil, bijimana mau nyoblos?
Terkait kasus GTIS, solusinya tentu sudah semestinya beliau meminta maaf secara terbuka pada para korban. Semoga saja para korban GTIS itu, SEMUANYA, cukup puas dengan kata MAAF.Â
Apalah artinya kerugian uang trilyunan dibanding sakit hati yang diulik-ulik dari perkataan legenda lo di pelosok Kepulauan Seribu sana tho? Tentulah mereka akan merelakan uang yang digondol pemilik GTIS pakai stempel halal MUI, kalau pemberi stempel sudah minta maaf.
Kalau pun mereka gak mau memaafkan, lalu demo berjilid-jilid, masih bisa minta bantuan Cawapres sebelah untuk mengirimkan kardus ganti rugi pada masing-masing korban tersebut. Yekan?
Lalu kenapa semua ini gw tuliskan untuk lo Hok? Kenapa? Apa maksud dari semua ini?
Simple.
Karena kita sama-sama masih menaruh harapan pada Dilan yang sama. Karena kita muak dengan ulah parpol-parpol koalisi pensabotase kepentingan Bangsa dan Negara. Tenggelamkan mereka semua di Pemilu Legislatif!
Karena emak-emak keren lagi pintar merasa mual saat Playboy ganteng tajir yang gemar meniduri beragam jenis perempuan non-muhrim, tak risih menenggak minumam haram dan makan di restoran mahal penyaji hidangan babi, pun bolak-balik namanya disebut KPK, ujug-ujug dibungkus pakai sticker santri cap cowok soleh. Soleh gundulmu!
Karena parpol produsen sticker cap soleh akan selalu mensabotase segala upaya mencerdaskan bangsa Indonesia. Karena pasangan kardus dan lip balm, adalah sebenar-benar NO HOPE!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H