Mohon tunggu...
Anjar Meiaw
Anjar Meiaw Mohon Tunggu... Editor -

Kadang nulis | Kadang ngedit | Kadang nyanyi | Kadang ngemsi | Kadang shopping |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meretas Batas

18 Desember 2015   12:54 Diperbarui: 18 Desember 2015   15:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lihatlah. Layung telah tergambar jelas di ujung sana. Mambang kuning yang memancarkan keelokan rupa lukisan maestro terhebat sedunia. Sepi, tak sepotong manusia pun di sini. Hanya aku dan bukit hijau di sisi barat kota kecil Yogyakarta. Di sini belahan bumi tempat aku berpijak beberapa tahun lamanya. Semenjak aku melihat pelaminan megah itu dan malamnya aku dibuang di sini.

Aku masih menikmati kepingan senjaku seorang diri. Bersama tapal asa dan cinta yang kian terpatri dalam hati. Perjalanan selama hampir tujuh tahun itu kian menjejaki pikiranku. Kadang aku bosan dibuatnya. Lelah juga. Namun justru dengan kebosanan dan kelelahan itu terciptalah cinta yang kian menghujam hatiku, memendarkannya ke aliran darahku.

Beberapa jenak aku tak tahu harus berbuat apa-apa ketika kudengar langkah kaki yang menghampiriku. Langkah yang kukenal betul. Langkah yang kunantikan tiap kali aku merindu. Dalam hati aku menjerit mengawang langit sambil berkomat-kamit berdoa untuk mengirimkan rasa nyaman di hatiku.

Tap...tap...tap

Ia seperti hendak menerkamku dari belakang. Aku membayangkan ia membawakanku sekuntum bunga mawar putih. Sama seperti tujuh tahun yang lalu ketika terakhir aku bertemu dengannya. Saat kita baru saja tiba di Jogja dan ia harus kembali lagi ke Solo. Ia mengenakan kemeja garis berwarna hitam, celana jeans dan sepatu cokelat yang elegan. Khas pemuda elit. Rambutnya yang hitam tertata rapi. Pokoknya dia yang terganteng!

 

Tap...tap...tap

Derap itu kian nyata di telingaku. Aku tak ingin menoleh sekarang! Aku ingin ia mendekapku dan menyalurkan sejuta kerinduan. Tujuh tahun bukan waktu sebentar dalam mempertahankan hubungan kami. Jatuh bangun, pasti. Cinta dan kepercayaanlah yang menguatkan kami. Aku yakin itu.

Ken adalah lelakiku. Dia asli Jakarta. Kami merajut tali kasih sejak kami sama-sama berkuliah di Solo, kota kelahiranku. Saking cintanya padaku, ia lalu pindah kependudukan menjadi warga Solo. Aku bahagia sekali. Itu artinya ia benar-benar serius kepadaku. Ah, pacarku.

Aku dan Ken saling mencintai. Tak ada hari tanpa kita lewati bersama. Berangkat kuliah, pulang kuliah, makan siang, mengerjakan tugas, berlibur, semuanya kami selalu bersama-sama. Orangtuaku sudah merestui hubungan kami. Dan Ken merencanakan akan melanggengkan hubungan ini setelah lulus dan mendapat pekerjaan. Itu janji Ken yang lantang ia ikrarkan di depan Ibuku, orangtua satu-satuku. Dan aku percaya itu!

Tahun berganti tahun. Hubunganku dengan Ken semakin erat. Kami sudah lulus kuliah. Semenjak kelulusan itulah kami sering berpisah. Dia memilih menjadi seorang trainer nasional yang sering keluar kota. Dan aku menjadi seorang guru Kimia honorer di Solo. Bertemu dengannya hanya seminggu sekali, pas weekend. Lalu sebulan sekali, tiga bulan sekali dan akhirnya kami hanya bertemu setahun sekali. Sampai akhirnya tujuh tahun yang lalulah terakhir kami bertemu.

Hubunganku dengan Ken bertahan lewat sebatang ponsel saja. Kami setiap hari memupuk cinta lewat SMS, telepon dan akun twitter. Itu saja. Tapi nyatanya kami tetap menjaga kesetiaan hingga kini.

“Kapan jadinya Ken melamarmu, Ra?” Ibu bertanya entah kali keberapa.

“Ken masih sangat sibuk, Bu. Saya belum berani menanyakannya.”

Helaan nafas berat yang kudengar dari Ibu. Aku tahu, Ibu mulai tak tenang melihat aku belum juga dilamar oleh Ken padahal kami sudah bekerja. Tapi tenang, Bu. Aira pasti menikah dengan Ken!

Ken kembali ke Solo setelah agak luang. Aku bahagia sekali. Ku kira ia datang bersama serta orangtuanya. Tapi nyatanya ia datang sendiri membawa kabar dan sepotong kertas glossy berwarna biru muda. Kertasnya harum. Ada banyak kerlip yang bertaburan di atasnya. Kupandangi kertas bertangkup itu dengan menahan sebak. Tercetak jelas nama Ken Widodo, S.Kom dan Nadia Laila Pua, Amd. Keb. Seketika tubuhku menyuruk dan menenggelamkannya ke pelukan Ken. Aku menangis sepuasnya di sana.

“Maafkan aku, Ra.” Bisik Ken meminta ampunan.

Ternyata sebelum kuliah di Solo dahulu, Ken sudah mengikat janji dengan seorang wanita teman SMA-nya dulu. Mereka akan menikah setelah Ken lulus kuliah.

“Aku tak sanggup mengingkarinya, Ra. Nadia wanita yang baik. Aku banyak berhutang budi padanya. Dia sudah menungguku selama empat tahun lebih. Sejak aku ke Solo. Sepulangku dari Solo, ternyata ia sudah mempersiapkan segalanya. Undangan, katering, gedung, semua. Aku tak bisa menolak itu, Ra.” Ceracaunya membuatku ingin membunuhnya lekas-lekas! Mengerkah tulang-tulangnya! Mencabik-cabik dagingnya dan menelannya mentah-mentah! Lalu kau pikir aku tidak menunggumu, hah?! Kau pikir aku bukan wanita baik? Kau pikir kau tidak hutang sama aku? Kau sudah mendapatkan semuanya dari aku, Ken! Semuanya!!

Aku masih sesenggukkan.

“Setelah ini, aku akan bawa Nadia tinggal di Solo. Aku ingin dia dekat sama kamu dan akan merestui engkau untukku, Ra.” Ia masih berkata semakin sinting yang nyaris tak ingin kudengar lagi.

“Aku yakin Nadia akan memahami cinta kita, Ra. Aku yakin.” Ken mencoba menghiburku.

“Aku tak yakin.” Kilahku. “Tidak semudah itu hati perempuan, Ken!” aku menahan geram yang meruyak di hatiku.

“Tapi tolong percayalah padaku, Ra. Aku benar-benar akan datang untukmu ketika sudah tiba waktu yang tepat.”

“Aku sudah sering percaya padamu, Ken. Yang aku butuhkan saat ini bukan janji lagi, tapi pembuktian.” Aku menggelinjang oleh tangannya yang tiba-tiba menerkamku.

“Jadi kau mau menungguku lagi?” Ken berharap. Digenggamnya erat bahu-bahuku.  Tatapan matanya membuat jantungku berdenyar kacau.

***

Setelah menggelar resepsi di Jakarta, seminggu kemudian Ken dan Nadia menggelar resepsi di kediaman Ken di Solo. Aku datang. Sebelumnya banyak sekali kawan-kawan kampusku yang mengirimiku SMS, mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Mereka pikir Ken menikah denganku. Aku sudah menjelaskan tapi mereka tak percaya. Mereka masih ngotot bahwa akulah yang menikah dengan Ken. Terserah! Mereka baru percaya setelah melihat undangan dari Ken dan tidak ada nama Aira Arofa, S.Pd di sana.

Kutangkupkan doa di hadapan Ken dan Nadia. Wajah Ken muram dan menatapku penuh duka. Ia seperti tidak rela –atau pura-pura tidak rela- melepaskan aku. Entahlah. Aku sudah tidak peduli.

Saat kubagikan pelukan dan ciuman hangat di pipi Nadia, aku menggoreskan titik bening dari sudut mataku. Nadia tahu itu. Ia menahan sebentar ciuman pipiku yang menempel di pipinya. Ia berbisik, “Awas saja kau, pelacur!”

Aku tersentak. Pun demikian Ken yang rupanya mendengar kata-kata Nadia yang bernada ancaman itu. Gegas kutinggalkan pelaminan dengan hati yang carut marut. Sedemikian rupa masygul yang menyeruak dalam dadaku.

Malam harinya, tiba-tiba Ken mengetuk jendela kamarku. Hah! Ada pengantin kabur! Aku menjengukkan kepalaku keluar jendela. Ken sudah siap dengan mobilnya. Ia memintaku untuk lekas berkemas.

“Bawa semua barang-barangmu. Ijazah juga jangan sampai ketinggalan. Aku akan ke depan berpamitan pada Ibu.” Singkatnya.

Aku langsung melakukan apa yang Ken pinta. Aku pikir Ken akan melakukan hal terbaik untukku. Kumasukkan semua pakaianku ke dalam koper. Kumasukkan pula buku dan berkas-berkas ke dalam tas ransel. Tanpa menunggu hitungan detik aku melesat ke ruang tamu dan melihat Ken sedang berbincang pada Ibu.

“Sudah?” tanya Ken. Aku memberi anggukan bertubi-tubi.

“Hati-hati ya, Nak.” Demikian kata Ibu yang membuatku semakin bingung. Apa yang telah Ken katakan pada Ibu sehingga Ibu tanpa bertanya lagi dan tidak berupaya mencegahku?

Mobil Ken menderu dan cepat meninggalkan Solo menuju Jogja. Malam ini aku dibuang dari kota kelahiranku sendiri. Tak banyak waktu untuk mencapai kota Jogja. Hanya sekitar dua jam dari Solo dengan kecepatan mobil seperti ini. Malam yang telah larut membuat jalanan ramai oleh truk yang akan mengangkut pasir dari Gunung Merapi. Kami harus bersalip-salipan dengan mereka.

“Ini tidak seperti yang aku duga, Ra.” Ken mengawali pembicaraan setelah sangat lama terdiam. “Ternyata Nadia sudah sangat mengerti detail kisah asmara kita berdua. Dan tidak seperti yang aku kira juga bahwa ternyata ia tidak mau merestui aku menikahimu.”

Aku tergugu. Mencoba mencerna baik-baik ucapannya barusan. Secepat itu Ken meminta izin untuk kawin lagi? Bodoh!

“Ia mengancamku untuk bercerai kalau aku berani menikahimu, Ra. Dia akan meninggalkanku dan membawa bayi di kandungannya tanpa pemberitahuan kepadaku.”

“Nadia hamil?” kejutku.

“Iya, sudah dua bulan. Tapi aku janji akan terus berusaha agar ia mau menerimamu, Ra. Aku akan...bla...bla...bla...”

Kuhirup lagi penggalan-penggalan nafas yang kian terputus. Kubiarkan Ken menceracau sendirian. Aku enggan untuk mendengarnya. Kutatap bulir air hujan yang jatuh di kaca mobil. Kuikuti setiap alirannya. Bulir itu berwarna keemasan oleh pantulan lampu kota Jogja yang temaram. Yah, kami telah memasuki kota Jogja.

Jalanan kota Jogja telah sepi. Kulirik jam di ponselku, ah, sudah jauh lewat tengah malam. Pantas sudah tidak ada aktivitas berarti di jalanan. Selter bus Trans Jogja sudah tutup. Becak pun sudah tidak ada. Andong apalagi.

“Kau lapar, Ra?” tanya Ken menoleh ke arahku. “Kita nyari makan ya? Aku cukup sering singgah di Jogja untuk mengisi training. Jadi aku tahu di mana tempat yang masih menyajikan makanan jam segini.”

“Tidak usah, Ken.” Tepisku. “Aku ingin segera tiba di rumah yang kau janjikan akan kutempati itu. Aku ingin tidur. Kata orang, tidur bisa melupakan sejenak permasalahan yang ada.”

“Ra...” desisnya dengan nada bersalah.

“Mohon kali ini kau turuti aku, Ken!”

Dan ternyata rasa cintaku yang teramat besar mengalahkan segalanya. Ken berhasil menguatkan aku lagi untuk bertahan. Ia akan datang padaku setelah semuanya beres. Ya, setelah semua beres! Entah kapan itu.

Tak terasa waktu bergulir alangkah cepatnya. Hingga terhitung sudah tujuh tahun sejak Ken mengantarkanku ke Jogja. Sampai aku sudah sedemikian lupa dengan kota kelahiranku. Aku tak pernah pulang ke Solo sejak malam itu. Mengunjungi siapa? Keluargaku hanya Ibu, dan Ibu menyusulku ke Jogja di malam berikutnya. Kami pun tinggal berdua di sini.

Aku meneruskan kerjaanku sebagai guru Kimia honorer dengan gaji yang relatif lebih sedikit di banding dulu. Tapi tetap cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku dan Ibuku karena biaya hidup di Jogja sangat rendah. Di samping itu, Ken selalu mengirimkan jatah uang ke rekeningku. Ia juga menanggung biaya sewa rumah yang aku dan Ibuku tempati. Jadi, untuk masalah keuangan memang tidak ada masalah sama sekali.

Hari-hari kulewati begitu sepi tanpa Ken. Hidupku monoton. Berangkat pagi, pulang siang, masak, istirahat sebentar, beres-beres rumah, sore mengajar privat, malam menyempatkan berteleponan dengan Ken. Tidak lama-lama karena jika lebih dari lima menit, akan ada suara wanita yang marah-marah dan mengancam akan menggugat ke pengadilan. Aku memilih untuk memutus sambungan telepon kalau sudah seperti itu.

Ah, aku seperti sudah semakin lelah. Ken semakin sulit dihubungi. Ken semakin sulit menepati janjinya. Apalagi sejak Mega lahir, disusul Bintang. Ken selalu beralasan, “ngantar Mega sekolah.” “Sebentar, aku sedang nyuapin Bintang.” “Aku lagi menemani Mega belajar.” Dan lain-lain yang membuatku muak.

Semua mimpiku semakin tak berdaya. Tapi ketidakberdayaanku berkelindan dengan rasa cintaku yang semakin kuat. Aku sulit menerangkan tentang semua ini, bahkan kepada diriku sendiri. Mengapa aku sedemikian bertahan oleh cinta yang dibatasi ruang dan waktu ini? Bahkan ketika ia sudah memudar tidak seperti dulu lagi?

***

Tap...tap...tap.

Langkahnya berhenti tepat di belakangku. Aku bersiap menerima pelukan hangat darinya. Pelukan yang tujuh tahun tidak kurasakan itu. Pelukan disertai dengan belaian di rambutku. Pelukan tulus seseorang kepada kekasihnya.

Aku merasakan ia menyentuhkan ujung jarinya ke pundak kiriku. Aku terpejam, menikmati sentuhannya. Aku menyapa duluan, atau membiarkan ia menyapaku duluan? Aku mendadak tergamang. Satu. Dua. Tiga. Kuhitung namun ia tak juga melanjutkan aksinya. Akhirnya aku mengalah untuk menoleh ke belakang. Aku tertegak di hadapan Roy. Lelaki itu lagi. Hei, mana Ken?

“Halusinasi berlebihan. Memang ia tak akan pernah ke sini.” Sesalku kemudian.

“Kau masih mengharapkan Ken rupanya?” ada nada mengejek di sana. “Hubungan terkutuk yang kalian jalani itu, kapan akan bermuara?”

“Mau apa kau kemari?”

“Aku tahu engkau selalu ke tempat ini jika senja. Menikmati siraman jingga dan mengenyam kembali mimpimu yang kian berantakan.” Ia yang pernah –dan sering- melamarku, mendadak menuduh sembarangan.

“Kau tidak akan bertemu lagi dengan Ken, Ra.” Ujarnya seperti tahu kegelisahanku. “Ken sudah pergi.”

“Kau tahu apa!” dengusku tidak suka. “Ken masih setia padaku. Hanya memang belum ada waktu yang tepat untuk menjemputku.” Aku membela diri –membela Ken lebih tepatnya-.

“Coba saja kau hubungi Ken sekarang. Dan kau tagih janjinya, pasti ia tidak akan ada jawaban pasti.”

Aku tergerak memencet sederet nomor yang kuhafal betul. Sambungan terhubung, tak ada jawaban. Baru sambungan keempat terdengar sahutan dari seberang sana.

“Halo, Ra? Maaf, Ra, aku lagi nganter Nadia belanja. Nanti kutelepon lagi ya?” lalu sambungan diputus secara sepihak. Jawaban seperti itu yang sudah kudengar beberapa belakangan ini. Tapi nyatanya Ken tak jadi menelepon balik.

“Ia lagi sibuk. Mengantar Nadia.” Kataku pada Roy yang mengikuti aku duduk.

“Tuhan, baru kali ini ada seorang wanita yang setia kepada pasangannya meski terpisah jarak dan waktu serta status.” Ia memberi penekanan kepada akhir kalimatnya. Aku terhenyak. Status?

“Mungkin kebetulan saja ia lagi sibuk dengan Nadia.” Kilahku.

“Kebetulan tapi setiap hari?” Roy masih dengan nada mengejek. “Sudah berapa lama kalian pacaran, Ra?” tanya Roy mengalihkan pembicaraan, tapi masih perihal yang sama.

 “Empat ditambah setahun, ditambah lagi tujuh tahun. Silakan kau tambahkan sendiri berapa jumlahnya.”

“Kau mau minta ditambah berapa tahun lagi?” Ia menceku lenganku dan tertawa penuh kemenangan. “Dia sudah bahagia dengan istri dan anak-anaknya, Ra.”

“Begitu?” aku menanggapi.

“Aku melihat demikian. Bayangkan saja, setiap kali kau hubungi dia, dia selalu bilang kalau sedang bersama Nadia, atau Mega, atau Bintang. Ia mengindikasikan bahwa ia sudah tidak akan menjemputmu, Ra.” Kata-kata Roy membeliakkan mataku. “Kalau kau tak percaya, silakan teruskan hubunganmu dengan Ken. Setelah kau percaya bahwa Ken tidak akan memenuhi janjinya, terimalah lamaranku.”

“Jadi kau ke sini hanya ingin menyatakan lamaranmu itu lagi?” sengitku.

“Terserah. Tapi aku tulus. Aku pun tidak ingin berkata apa-apa kepadamu, karena aku takut kamu akan trauma mendengar sebuah janji. Aku hanya akan membuktikan semua tuduhanku tadi benar. Ah.”

Ya, nyaris benar, Roy. Ken memang tidak akan ke Jogja untuk menjemputku. Ia sudah tinggal nyaman di Solo –kota kelahiranku- bersama istri dan kedua anaknya. Istri dan kedua anaknya. Aku mengeja kalimatku sendiri. Benar, Ken sudah memiliki mereka. Jadi selama tujuh tahun ini aku berpacaran dengan suami wanita itu? Meski hanya lewat sebatang ponsel? Oh!

Aku melirik Roy. Hanya sekilas. Selebihnya kuedarkan pandanganku ke sarung  langit yang kian menghitam. Layung indah yang tadi terlukis, hilang sudah. Secepat itu keindahan hilang ditelan legamnya kepahitan. Aku terguguk tanpa air mata. Sudahlah. Umurku sudah tidak muda lagi untuk menerima orang lain pengganti Ken.

***

 

(Anjar Meiaw)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun