“Kau lapar, Ra?” tanya Ken menoleh ke arahku. “Kita nyari makan ya? Aku cukup sering singgah di Jogja untuk mengisi training. Jadi aku tahu di mana tempat yang masih menyajikan makanan jam segini.”
“Tidak usah, Ken.” Tepisku. “Aku ingin segera tiba di rumah yang kau janjikan akan kutempati itu. Aku ingin tidur. Kata orang, tidur bisa melupakan sejenak permasalahan yang ada.”
“Ra...” desisnya dengan nada bersalah.
“Mohon kali ini kau turuti aku, Ken!”
Dan ternyata rasa cintaku yang teramat besar mengalahkan segalanya. Ken berhasil menguatkan aku lagi untuk bertahan. Ia akan datang padaku setelah semuanya beres. Ya, setelah semua beres! Entah kapan itu.
Tak terasa waktu bergulir alangkah cepatnya. Hingga terhitung sudah tujuh tahun sejak Ken mengantarkanku ke Jogja. Sampai aku sudah sedemikian lupa dengan kota kelahiranku. Aku tak pernah pulang ke Solo sejak malam itu. Mengunjungi siapa? Keluargaku hanya Ibu, dan Ibu menyusulku ke Jogja di malam berikutnya. Kami pun tinggal berdua di sini.
Aku meneruskan kerjaanku sebagai guru Kimia honorer dengan gaji yang relatif lebih sedikit di banding dulu. Tapi tetap cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku dan Ibuku karena biaya hidup di Jogja sangat rendah. Di samping itu, Ken selalu mengirimkan jatah uang ke rekeningku. Ia juga menanggung biaya sewa rumah yang aku dan Ibuku tempati. Jadi, untuk masalah keuangan memang tidak ada masalah sama sekali.
Hari-hari kulewati begitu sepi tanpa Ken. Hidupku monoton. Berangkat pagi, pulang siang, masak, istirahat sebentar, beres-beres rumah, sore mengajar privat, malam menyempatkan berteleponan dengan Ken. Tidak lama-lama karena jika lebih dari lima menit, akan ada suara wanita yang marah-marah dan mengancam akan menggugat ke pengadilan. Aku memilih untuk memutus sambungan telepon kalau sudah seperti itu.
Ah, aku seperti sudah semakin lelah. Ken semakin sulit dihubungi. Ken semakin sulit menepati janjinya. Apalagi sejak Mega lahir, disusul Bintang. Ken selalu beralasan, “ngantar Mega sekolah.” “Sebentar, aku sedang nyuapin Bintang.” “Aku lagi menemani Mega belajar.” Dan lain-lain yang membuatku muak.
Semua mimpiku semakin tak berdaya. Tapi ketidakberdayaanku berkelindan dengan rasa cintaku yang semakin kuat. Aku sulit menerangkan tentang semua ini, bahkan kepada diriku sendiri. Mengapa aku sedemikian bertahan oleh cinta yang dibatasi ruang dan waktu ini? Bahkan ketika ia sudah memudar tidak seperti dulu lagi?
***